Situasi tidak nyaman itu pun berakhir setelah sesi wawancara selesai. Dan sekarang hanya tinggal mereka bertiga menyisakan kecanggungan baru. Bian memandang pada Gladys yang berdiri di sisi kirinya. Perempuan itu balas menatap Bian dengan penuh arti. Hanya sesaat, karena kemudian Gladys pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun.Bian tahu, pasti Gladys sedih karena tidak dianggap seperti tadi. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena hatinya sudah bulat untuk memilihTatiana, bukan Gladys.“Kamu nggak jadi ngomong sama pacar kamu?” tanya Tatiana. Tatiana masih ingat janji Bian yang akan berbicara serius dengan Gladys dan mengakhiri hubungan mereka.“Tia, jangan bilang kayak gitu, dia bukan pacarku,” sangkal Bian. Dia tidak suka mendengar sebutan Tatiana untuk Gladys.‘’Selama kamu belum putus sama dia, itu artinya kalian masih punya hubungan,” balas Tatiana berargumen.“Iya, kamu sabar ya, nanti setelah selesai acara kita ngomong bertiga.” Bian berjanji lagi.Tatiana mengganggu
Tatiana berjalan mengikuti arah yang tadi Wiryawan tunjukkan. Dia sedikit memacu langkahnya sebelum terlambat dan memuntahkannya di jalan. Saat berhasil menemukannya dia segera masuk. Ada dua bilik di dalam toilet tersebut.Tatiana tidak masuk ke dalamnya, melainkan langsung muntah di wastafel. Meskipun sering disebut morning sickness, tapi Tatiana mengalaminya tidak hanya saat pagi, melainkan sepanjang hari. Tatiana tidak tahu berapa lama lagi akan menjalani all day sickness seperti ini. Tapi Tatiana sedikit pun tidak akan mengeluh. Dia menikmati setiap prosesnya karena Tatiana yakin apa yang dia alami dalam perjalanan hidupnya sekarang merupakan hal yang akan dirindukannya pada suatu hari nanti.Tatiana mengatur napas sambil menatap refleksi dirinya sendiri di kaca wastafel. Mukanya sedikit pucat. Dan sekarang dia merasa kesusahan menahan ngantuk. Mungkin karena dia kurang tidur akibat Bian yang memaksanya lembur. Ingat itu semua, Tatiana tersenyum getir. Baru
Bian dan Tatiana kembali ke tempat acara diadakan. Sudah menunggu sejak tadi tapi acara masih belum dimulai. Duduk di samping Bian, mata Tatiana menjelajah mengitari seisi ruangan untuk mencari sosok Rei. Dari tadi Tatiana tidak melihat sosok lelaki itu. Lebih tepatnya sejak mereka datang ke sini dan Bian menariknya dari sisi Rei. Akhirnya Tatiana menemukan Rei sedang duduk di kursi belakang paling kanan. Saat Tatiana memandang padanya ternyata Rei juga sedang menatapnya. Tatiana melambaikan tangan pada Rei dan memberi isyarat agar pindah duduk ke kursi disebelahnya yang kebetulan memang kosong. Tapi Rei hanya diam sambil memandangnya dengan tatapan sendu. Rei kenapa ya? Dia kelihatan sedih. Auranya juga tampak berbeda. Apa dia sedang ada masalah?“Mbak Tia, di depan ada Ibu Alya, katanya mau ketemu sebentar.” Pegawai Wiryawan yang mengurus konsumsi datang memberitahu Tatiana.“Iya, Mbak, makasih, saya akan ke sana sekarang.” Tatiana segera ber
Saat membuka mata, yang pertama kali dilihat Tatiana adalah Bian yang sedang duduk di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya. Hal lain yang tertangkap oleh netranya adalah ruangan tempatnya berada yang didominasi oleh warna putih. Tanpa perlu dijelaskan, Tatiana sudah tahu tempatnya berada sekarang. Terlebih ketika menghirup bau obat-obatan, antiseptik, karbol, atau apa pun namanya. Pasti saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa? Apa yang sudah terjadi? “Kamu sudah bangun?” Bian menyadari hal itu ketika merasakan gerakan tangan Tatiana dalam genggamannya. “Bi, aku kenapa?” lirih suara Tatiana. Dia ingin segera tahu apa yang sudah terjadi. Atau jangan-jangan tadi dia pingsan?“Tia, tadi kamu pingsan.” Bian menjawab sambil mengusap halus kepala Tatiana.Oh, ternyata benar dugaannya. Tatiana mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan kesadaran diri. Wajah lembut Alya yang pertama kali terbayang olehnya. Selanjutnya raut tegas Wiryawan serta muka cant
“Jadi ceritanya mama sama orang itu kawin lari?” celetukan lugas Sandra membuat semua yang ada di sana memandang padanya. Selama ini Alya selalu menutup rapat-rapat cerita tentang pernikahannya dengan Wiryawan dari siapa pun. Terlebih dari kedua anaknya. Bahkan Tatiana dan Sandra tidak tahu menahu asal keluarganya. Yang keduanya ketahui, mereka hanya memiliki Alya. Satu-satunya keluarga dan orang tua yang tersisa.“Ma, jawab, Ma, jangan tanggung-tanggung, ceritakan semuanya sekarang.” Kali ini Tatiana yang bicara.“Iya. Mama dan dia kawin lari karena orang tua mama atau kakek dan nenek kalian tidak memberi restu.”Tatiana dan Sandra saling bertatapan penuh tanda tanya. Selama ini Alya tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupannya. Setiap kali mereka bertanya di mana keluarga mereka yang lain atau minimal dimana keberadaan kakek dan nenek keduanya, Alya hanya menjawab kalau mereka sudah lama meninggal. Hanya informasi itu yang bisa mereka korek dari mulut Alya.“Maaf kalau aku l
Alya dan Sandra sudah pulang dengan diantar Mario. Sekarang hanya tinggal Bian dan Tatiana. Keduanya sama-sama terdiam merenungi peristiwa tadi. Tatiana tidak mengerti kenapa semudah itu bagi Wiryawan untuk meminta maaf padanya. Menghilang puluhan tahun, datang-datang hanya untuk meminta maaf? Situ sehat?“Aku nggak ngerti, Bi, kenapa dia gampang banget minta maaf, perasaannya di mana sih? Atau jangan-jangan dia nggak punya perasaan?”Bian yang berbaring di sebelah Tatiana di atas ranjang rumah sakit mengusap halus pipi istrinya itu, lantas mengecupnya lembut. “Sudahlah, maafin aja ya. Nggak ada gunanya menyimpan dendam. Ingat, Tia, kamu lagi hamil. Jangan biarkan hal sekecil apa pun mengganggu pikiran kamu. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa. Kamu paham maksudku kan?”“Apa? Maafin? Nggak semudah itu, Bi. Kamu nggak akan ngerti apa yang aku dan mamaku rasain. Kamu nggak akan paham gimana pahitnya masa kecil aku dulu. Kamu salah kalau bilang aku dendam. Aku hanya belum bis
Ada taman kecil di area rumah sakit. Berada tepat di sisi utara gedung. Rei dan Tatiana duduk di sana. Tidak hanya mereka berdua tapi juga ada beberapa orang lainnya yang duduk di bangku-bangku panjang di bawah pohon rindang. Di salah satu bangku itu Rei dan Tatiana mengambil tempat. Tempat ini asri sekali. Dengan rumpu-rumput hijau yang menyegarkan mata juga tanaman-tanaman yang sangat terawat. Sudah sekian menit keduanya berada di sini. Tanpa kata dan suara. Rei tahu, dengan Tatiana mengajaknya keluar tadi, pasti ada yang ingin disampaikannya. Mungkin Tatiana ingin bercerita banyak padanya, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Rei membiarkan saja dulu. Dia tahu pasti Tatiana butuh waktu untuk membuang sesak.Pandangan keduanya sama-sama tertuju pada suster yang mendorong kursi roda. Di atasnya terduduk lemah seorang lelaki tua yang tampaknya tidak berdaya bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Tiba-tiba Tatiana langsung ingat Wiryawan. Bagaimana kalau seandainya Wiryawan y
Rei kemudian menjadi heran dan berpikir sendiri. Bagaimana bisa Tatiana berubah pikiran? Padahal tadi Tatiana terlihat emosi saat menceritakan betapa Wiryawan datang menemuinya untuk meminta maaf dengan begitu enteng. Seolah baginya bagaikan semudah membalikkan telapak tangan.“Tia, kalau boleh aku tahu kenapa kamu mau memaafkan dia?” Rei mengungkit pelan-pelan isi hati Tatiana.Tatiana tidak segera menjawab. Demi tuhan sebenarnya tidak akan semudah itu baginya memberi maaf pada orang yang sudah membuat hidupnya tidak lagi indah. “Aku nggak tahu. Mungkin biar kepalaku agak ringan aja,” ujar Tatiana asal. Dia tidak mungkin mengatakan pada Rei pikiran lain yang melintas di kepalanya. Tidak. Tatiana tidak akan mengatakannya. Biarlah. Lebih baik hanya dirinya sendiri yang tahu alasannya.“Bagus, Tia. Aku suka cara kamu. Memang nggak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Paling nggak setelah ini kamu akan merasa jauh lebih lega.”“Iya." Tatiana tersenyum tipis.“Oh iya, aku la