Alya dan Sandra sudah pulang dengan diantar Mario. Sekarang hanya tinggal Bian dan Tatiana. Keduanya sama-sama terdiam merenungi peristiwa tadi. Tatiana tidak mengerti kenapa semudah itu bagi Wiryawan untuk meminta maaf padanya. Menghilang puluhan tahun, datang-datang hanya untuk meminta maaf? Situ sehat?“Aku nggak ngerti, Bi, kenapa dia gampang banget minta maaf, perasaannya di mana sih? Atau jangan-jangan dia nggak punya perasaan?”Bian yang berbaring di sebelah Tatiana di atas ranjang rumah sakit mengusap halus pipi istrinya itu, lantas mengecupnya lembut. “Sudahlah, maafin aja ya. Nggak ada gunanya menyimpan dendam. Ingat, Tia, kamu lagi hamil. Jangan biarkan hal sekecil apa pun mengganggu pikiran kamu. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa. Kamu paham maksudku kan?”“Apa? Maafin? Nggak semudah itu, Bi. Kamu nggak akan ngerti apa yang aku dan mamaku rasain. Kamu nggak akan paham gimana pahitnya masa kecil aku dulu. Kamu salah kalau bilang aku dendam. Aku hanya belum bis
Ada taman kecil di area rumah sakit. Berada tepat di sisi utara gedung. Rei dan Tatiana duduk di sana. Tidak hanya mereka berdua tapi juga ada beberapa orang lainnya yang duduk di bangku-bangku panjang di bawah pohon rindang. Di salah satu bangku itu Rei dan Tatiana mengambil tempat. Tempat ini asri sekali. Dengan rumpu-rumput hijau yang menyegarkan mata juga tanaman-tanaman yang sangat terawat. Sudah sekian menit keduanya berada di sini. Tanpa kata dan suara. Rei tahu, dengan Tatiana mengajaknya keluar tadi, pasti ada yang ingin disampaikannya. Mungkin Tatiana ingin bercerita banyak padanya, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Rei membiarkan saja dulu. Dia tahu pasti Tatiana butuh waktu untuk membuang sesak.Pandangan keduanya sama-sama tertuju pada suster yang mendorong kursi roda. Di atasnya terduduk lemah seorang lelaki tua yang tampaknya tidak berdaya bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Tiba-tiba Tatiana langsung ingat Wiryawan. Bagaimana kalau seandainya Wiryawan y
Rei kemudian menjadi heran dan berpikir sendiri. Bagaimana bisa Tatiana berubah pikiran? Padahal tadi Tatiana terlihat emosi saat menceritakan betapa Wiryawan datang menemuinya untuk meminta maaf dengan begitu enteng. Seolah baginya bagaikan semudah membalikkan telapak tangan.“Tia, kalau boleh aku tahu kenapa kamu mau memaafkan dia?” Rei mengungkit pelan-pelan isi hati Tatiana.Tatiana tidak segera menjawab. Demi tuhan sebenarnya tidak akan semudah itu baginya memberi maaf pada orang yang sudah membuat hidupnya tidak lagi indah. “Aku nggak tahu. Mungkin biar kepalaku agak ringan aja,” ujar Tatiana asal. Dia tidak mungkin mengatakan pada Rei pikiran lain yang melintas di kepalanya. Tidak. Tatiana tidak akan mengatakannya. Biarlah. Lebih baik hanya dirinya sendiri yang tahu alasannya.“Bagus, Tia. Aku suka cara kamu. Memang nggak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Paling nggak setelah ini kamu akan merasa jauh lebih lega.”“Iya." Tatiana tersenyum tipis.“Oh iya, aku la
Hari mulai gelap. Dan mereka juga baru menempuh setengah perjalanan. Mario yang mengemudi pelan justru membuat Tatiana merasa mual. “Yo, bisa lebih kencang lagi? Rasanya saya mual,” pinta Tatiana karena sudah tidak tahan. Yang dia yakini, berada di dalam mobil yang beringsut seperti siput ini lama-lama dia tidak akan mampu bertahan. Tatiana tidak menjamin tidak akan muntah sepuluh menit lagi kalau cara mengemudi Mario terus seperti ini.“Maaf, Bu Tia, saya pikir karena Bu Tia lagi hamil makanya saya pelan-pelan,” jawab Mario beralasan.“Yo, minggir di depan,” suruh Bian agar Mario menepi.“Di depan, Pak? Kita mau ngapain?”“Nggak usah banyak tanya, Yo, berhenti!” perintah Bian lebih tegas.“Baik, Pak.” Mario akhirnya menepikan mobil dan berhenti di pinggir jalan, sesuai dengan keinginan Bian.“Sekarang kamu turun,” perintah Bian berikutnya. “Maksudnya, Pak?” Mario masih belum paham kenapa Bian menyuruhnya turun di pinggir jalan seperti ini.“Kamu pulang pakai taksi.”“Tapi, Pak--““
Tatiana baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah saat Bian menghadang di depannya.“Aww…!” Pekikan kecil meluncur bebas dari mulutnya ketika tiba-tiba saja Bian menarik tali bathrobe yang dia gunakan.Bian tersenyum jahil melihat tubuh setengah polos istrinya itu akibat keusilannya sendiri. Bian merasa masih menginginkannya dan menyambung kembali romansa mereka di mobil tadi. Bian tidak mengerti, semakin intense interaksinya dengan Tatiana, perasaan sayangnya pun kian menguat.“Bi, udahlah…,” larang Tatiana saat Bian terus memegang tali bathrobe dan tidak ada tanda-tanda akan melepaskannya.Bian menunjuk pipinya, memberi isyarat agar Tatiana mengecupnya.Tatiana menghela napas. Meski awalnya merasa keberatan tapi kemudian Tatiana memenuhinya juga. Sedikit berjingkat, Tatiana menempelkan bibirnya di pipi Bian.Bian tersenyum senang lantas melepaskan tali bathrobe. “Kalau gini kan bagus, nggak perlu lagi pake tarik-tarikan.”Tatiana tersenyum sekilas l
Rei yang tidak tahu apa-apa tentu saja kaget saat tiba-tiba Bian menyerangnya melalui telepon. Tadi sebenarnya dia hampir saja tidur, tapi handphonenya yang berbunyi membuat kantuknya langsung terusir. Bahkan Rei merasa nyawanya masih berada di awang-awang, belum kembali seutuhnya padanya.“Bi, coba tenang dulu, bisa kan ngomong baik-baik?” ujar Rei sambil mengusap muka dan menutup mulutnya yang menguap.“Baik-baik gimana lagi, Rei? Apa kata-kataku kurang jelas? Tia udah bilang semuanya kalau kamu minta buatin kue ulang tahun buat Lala sama menemani ke sekolah. Kenapa harus Tia? Kenapa harus istriku? Memangnya nggak ada yang lain?”“Bi, aku--“Tut…tut…tut… Bian sudah mematikan telepon sebelum Rei sempat menjawab dan memberi penjelasan. Bian meletakkan gawainya dengan kasar di atas nakas. Tatiana yang memerhatikannya sejak tadi hanya bisa diam sambil menilai di dalam hati. Di antara banyak sifat Bian yang berubah menjadi lebih baik, satu-satunya yang tidak bisa dia ubah hanya karakte
Irisan wortel berwarna orange yang sudah Tatiana potong-potong terlihat hampir memenuhi wadah kecil. Di sampingnya ada wadah lain berisi potongan baby corn yang sudah dia belah menjadi beberapa bagian. Gerakan tangan Tatiana cukup terasah karena sudah terbiasa. Dulu dapur adalah tempat favoritnya selain kamar. “Bu Tia, Ibu ngapain di sini?”Perlahan, Tatiana menoleh ke kiri. Lina sudah berdiri di sampingnya. Rambut pendeknya yang selalu diikat kini digerai bebas dan terlihat masih basah. Perempuan separuh baya itu sepertinya baru saja selesai mandi.“Bi, saya mau masak capcay, tiba-tiba aja kepengen,” ujar Tatiana mengatakan alasan keberadaannya di dapur pagi itu. Kalau dulu Tatiana sama sekali tidak bisa masuk ke dapur apalagi menghirup aneka bumbu masak yang membuatnya mual, sekarang berangsur-angsur tubuhnya sudah bisa mentoleransi hal itu.“Biar saya saja, Bu Tia, Ibu istirahat saja ya,” ucap Lina yang bersiap-siap mengambil alih pekerjaan Tatiana.“Duh, Bi… Istirahat apa lagi s
Puluhan detik Tatiana tertegun. Dia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Apa maksudnya Rei membatalkan rencana mereka secara tiba-tiba? Apa yang salah? Apa Rei tersinggung oleh kata-kata atau sikapnya?“Rei, maksudnya gimana? Ada apa? Kenapa nggak jadi?” Tatiana bertanya heran sembari menerka-nerka sendiri di dalam hati.“Nggak apa-apa, Tia, aku cuma nggak mau ngerepotin kamu,” jawab Rei beralasan.“Nggak repot kok, lagian bahan-bahannya juga udah dibeli. Sayang kan?” balas Tatiana. Baginya alasan Rei terkesan mengada-ngada. “Ada apa sih sebenarnya?” tatap Tatiana penuh selidik. Tidak mungkin tidak ada apa-apa sampai Rei membatalkannya begitu saja.“Nggak ada apa-apa, Tia, aku cuma nggak mau kamu kelelahan terus sakit.” Rei mengemukakan alasan lain yang lebih logis. Semoga Tatiana percaya dan tidak bertanya lebih banyak lagi.“Kamu ada-ada aja. Masa cuma ngadon kue bisa lelah. Udah deh, Rei, jangan aneh-aneh. Bisa lebih cepat lagi nggak?” pinta Tatiana karena dia rasa R