Puluhan detik Tatiana tertegun. Dia berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Apa maksudnya Rei membatalkan rencana mereka secara tiba-tiba? Apa yang salah? Apa Rei tersinggung oleh kata-kata atau sikapnya?“Rei, maksudnya gimana? Ada apa? Kenapa nggak jadi?” Tatiana bertanya heran sembari menerka-nerka sendiri di dalam hati.“Nggak apa-apa, Tia, aku cuma nggak mau ngerepotin kamu,” jawab Rei beralasan.“Nggak repot kok, lagian bahan-bahannya juga udah dibeli. Sayang kan?” balas Tatiana. Baginya alasan Rei terkesan mengada-ngada. “Ada apa sih sebenarnya?” tatap Tatiana penuh selidik. Tidak mungkin tidak ada apa-apa sampai Rei membatalkannya begitu saja.“Nggak ada apa-apa, Tia, aku cuma nggak mau kamu kelelahan terus sakit.” Rei mengemukakan alasan lain yang lebih logis. Semoga Tatiana percaya dan tidak bertanya lebih banyak lagi.“Kamu ada-ada aja. Masa cuma ngadon kue bisa lelah. Udah deh, Rei, jangan aneh-aneh. Bisa lebih cepat lagi nggak?” pinta Tatiana karena dia rasa R
Tatiana menuang adonan dengan cepat ke dalam loyang, kemudian memasukkannya ke dalam oven. Masih banyak yang harus dilakukannya. Setelah ini dia masih harus menghias kue yang diyakininya waktunya tidak sebentar. Sedangkan Bian sudah menunggu di depan dengan tidak sabar.Rei mengambil inisiatif untuk ke depan duluan dan meninggalkan Tatiana sendirian di belakang. Sekilas Rei lihat dari raut wajahnya tadi, Bian sepertinya marah atau mungkin kesal. Apa pun itu, intinya Bian tidak suka melihat kebersamaannya dengan Tatiana.Karena tidak menemukan Bian di beranda rumah, Rei pun yakin kalau saat ini kakaknya berada di dalam mobil. Rei menghampiri Bian lalu mengetuk kaca mobil.Bian berdecak kesal saat ketenangannya kembali diganggu. Terpaksa diturunkannya kaca.“Ada apa?” tanyanya dingin.“Bi, ngapain sendiri di sini? Turun yuk!”“Aku ngantuk, mau tidur,” tolak Bian. Sungguh dia sedang malas dan tidak ingin bicara dengan siapa pun saat ini apalagi dengan Rei.“Kayaknya Tia masih lama, kala
Keduanya pun pulang dari rumah Rei.Baru saja menyalakan mesin mobil Bian sudah langsung mencecar Tatiana. “Tadi aku lihat dia pegang-pegang tangan kamu. Dia manfaatin banget kayaknya dekat-dekat sama kamu.”“Pegang tangan? Kapan, Bi?”“Waktu di belakang.”“Oh, itu. Lengan baju aku kan panjang, jadi tadi aku ngerasa kurang nyaman, makanya aku minta tolong sama Rei.”“Jadi dipegang-pegang gitu ya yang bikin kamu nyaman?” tuding Bian semakin emosi. Mata elangnya berkilat seperti ingin murka.“Bukan gitu, Bi, tapi tangan aku yang lainnya lagi megang mixer, jadi gimana dong caranya kalau nggak minta tolong sama Rei?” “Bukannya ada mixer yang nggak perlu dipegang? Apa itu namanya? Standing mixer ya?”“Iya, Bi, tapi--““Tapi dia nggak punya, gitu kan? Aku nggak ngerti kenapa Rei kelakuannya kayak orang tipis. Blablabla…” Bian terus mengoceh sedangkan Tatiana diam mendengarkan sambil menahan napas.Tatiana mulai menggunakan logikanya. Dia harus bisa menenangkan dan menaklukkan Bian. Pere
“Rei, tunggu!” seru Tatiana memanggil Rei begitu turun dari mobil.Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini Bian mengantar Tatiana ke kantornya.“Sayang banget si Reza dianggurin, Pak,” komentar Mario saat di mobil tadi.“Nanti dia saya rolling saja ke divisi keamanan, gantian sama Arya.” Begitu jawaban Bian saat Mario memprotes karena Reza hanya makan gaji buta.Rei yang sedang berjalan melintasi lobi berhenti begitu mendengar suara Tatiana. Rei menoleh ke belakang, menunggu Tatiana yang berjalan menyongsongnya. Rei lantas tersenyum melihat wajah manis Tatiana yang segar pagi itu.“Rei, kamu nggak jadi ke sekolah Lala?” tanya Tatiana heran. Bukankah acara ulang tahun si gadis kecil itu dilaksanakan pagi ini?“Jadi, sebentar lagi aku pergi,” jawab Rei kembali berjalan setelah Tatiana menyejajarkan langkah dengannya.“Tapi beneran nggak apa-apa kan, kalau aku nggak jadi ikut?” tanya Tatiana lagi. Tadi malam dirinya sempat berdebat dengan Bian. Tatiana curiga kalau Bianlah dalang dib
Diamonds are women’s best friend.Bian sangat hafal filosofi itu dari dulu sampai sekarang. Dan Tatiana bukanlah satu-satunya wanita yang dia manjakan dengan kemewahan. Pernah ada perempuan lain yang mendapatkan perlakuan istimewa itu. Tapi Bian bertekad Tatiana adalah wanita terakhir yang akan dia manjakan dengan apa pun yang dia miliki.Atas alasan itu kini mereka di tempat ini. Bvlgari Boutique.Identitas Bvlgari sebagai brand high-end terlalu kentara untuk menjadi nyata melalui eksterior dan interior bergaya kontemporer nan mewah. Di sini, filosofi desain klasik Veneziana berpadu dengan unsur modern dalam material dan garis desain yang kekinian.Jendela display bergaya Condotti di depan butik mengingatkan akan wajah butik-butik mewah di Roma dan Venesia. Gaya Venesia juga terasa di dalam area butik yang interiornya menghadirkan nuansa palazzo, namun dalam sentuhan yang lebih minimalis. Memasuki butik, pengunjung akan disambut oleh meja display berbentuk lingkaran yang memamerkan
Tatiana mematut diri di depan kaca. Little black dress yang membalut kulit kuning cenderung pekatnya bagaikan kekuatan magic yang membetot mata siapapun untuk memandang padanya. Belum lagi pemulas bibir berwarna merah terang seperti sebuah kekuatan yang membuatnya menjadi lebih percaya diri.“Cantik banget, sebelas dua belas sama Audrey Hepburn.” Suara Bian terdengar seperti bisikan lembut di telinganya. Saat ini Bian sedang memeluk Tatiana dari belakang.Tawa tatiana pecah mendengar pujian Bian yang terkesan berlebihan baginya.Keduanya lantas sama-sama memandang melalui cermin meja rias. Pujian Bian segera berganti menjadi kecupan di pundak, lantas merayap ke leher Tatiana.“Bi, kita harus pergi sekarang.” Tatiana segera mengingatkan saat bibir Bian mulai turun ke dadanya.Bian menghela napas, lantas menjauhkan muka dari dada istrinya itu.'Sabar, Bi, masih banyak waktu.’ Bian mengingatkan dirinya sendiri. Nanti setelah dinner dia akan segera mengeksekusi Tatiana, tentu saja di ruma
Melihat Gladys masih berdiri di tempatnya, Tatiana pun berdiri."Kamu apa kabar? Sehat kan?” Dalam sekejap keduanya sudah berpelukan. Gladys masih berusaha mencerna kata-kata Tatiana ketika tiba-tiba saja Tatiana mengecup pipinya kanan kiri layaknya dua saudara yang saling menyayangi dan mengasihi.Bian yang menyaksikan itu semua tercekat oleh salivanya sendiri. Apa-apaan ini? Apa yang dilakukan Tatiana? Kenapa mereka terlihat begitu akrab?Wiryawan yang melihat itu semua pada awalnya kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin mereka bisa seakrab itu? Namun kemudian senyumnya merekah sempurna. Lelaki itu jadi takjub sendiri melihat kedua putri beda tempat penyemaian itu tampak akur seperti sekarang. Mereka baru tahu kalau bersaudara, itu pun hanya saudara tiri, tapi sudah sedekat ini. Ah, indahnya.“Eh, tapi kamu nggak lagi sakit kan, Dys? Aku ngeliat kamu kayak yang pucat gitu. Atau jangan-jangan karena kamu kangen sama Bian ya?” celetuk Tatiana setelah melepas pelukan dan mengamati
Setelah memapah Gladys menaiki tangga menuju lantai dua, Tatiana membantu membaringkan Gladys di tempat tidur. Gladys yang masih meringis membuat Tatiana berpikiran kalau kakak tirinya itu benar-benar sakit. Tatiana menepis pikiran buruk bahwa saat ini Gladys sedang berpura-pura.Tatiana bingung apa yang harus dia lakukan. Perempuan itu lantas berpikir pertolongan pertama apa yang harus dia berikan. Saat matanya beradu dengan dispenser, Tatiana langsung bergerak. Mungkin Gladys butuh segelas air putih.“Dys, minum dulu yuk!”Tidak membantah, Gladys pun duduk seraya menyandarkan kepala ke headboard.“Ambilin obat aku di sana,” katanya kemudian sambil menunjuk kotak obat di atas meja.Ingin membantu, Tatiana melangkah mendekati meja. Banyak sekali obat-obatan Gladys tersimpan di sana, Tatiana mengambil semuanya.Melihat muka Gladys yang pucat, serta keringat yang menyembul di dahinya, Tatiana menjadi kasihan. Ini artinya Gladys benar-benar sakit.