Tatiana mematut diri di depan kaca. Little black dress yang membalut kulit kuning cenderung pekatnya bagaikan kekuatan magic yang membetot mata siapapun untuk memandang padanya. Belum lagi pemulas bibir berwarna merah terang seperti sebuah kekuatan yang membuatnya menjadi lebih percaya diri.“Cantik banget, sebelas dua belas sama Audrey Hepburn.” Suara Bian terdengar seperti bisikan lembut di telinganya. Saat ini Bian sedang memeluk Tatiana dari belakang.Tawa tatiana pecah mendengar pujian Bian yang terkesan berlebihan baginya.Keduanya lantas sama-sama memandang melalui cermin meja rias. Pujian Bian segera berganti menjadi kecupan di pundak, lantas merayap ke leher Tatiana.“Bi, kita harus pergi sekarang.” Tatiana segera mengingatkan saat bibir Bian mulai turun ke dadanya.Bian menghela napas, lantas menjauhkan muka dari dada istrinya itu.'Sabar, Bi, masih banyak waktu.’ Bian mengingatkan dirinya sendiri. Nanti setelah dinner dia akan segera mengeksekusi Tatiana, tentu saja di ruma
Melihat Gladys masih berdiri di tempatnya, Tatiana pun berdiri."Kamu apa kabar? Sehat kan?” Dalam sekejap keduanya sudah berpelukan. Gladys masih berusaha mencerna kata-kata Tatiana ketika tiba-tiba saja Tatiana mengecup pipinya kanan kiri layaknya dua saudara yang saling menyayangi dan mengasihi.Bian yang menyaksikan itu semua tercekat oleh salivanya sendiri. Apa-apaan ini? Apa yang dilakukan Tatiana? Kenapa mereka terlihat begitu akrab?Wiryawan yang melihat itu semua pada awalnya kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin mereka bisa seakrab itu? Namun kemudian senyumnya merekah sempurna. Lelaki itu jadi takjub sendiri melihat kedua putri beda tempat penyemaian itu tampak akur seperti sekarang. Mereka baru tahu kalau bersaudara, itu pun hanya saudara tiri, tapi sudah sedekat ini. Ah, indahnya.“Eh, tapi kamu nggak lagi sakit kan, Dys? Aku ngeliat kamu kayak yang pucat gitu. Atau jangan-jangan karena kamu kangen sama Bian ya?” celetuk Tatiana setelah melepas pelukan dan mengamati
Setelah memapah Gladys menaiki tangga menuju lantai dua, Tatiana membantu membaringkan Gladys di tempat tidur. Gladys yang masih meringis membuat Tatiana berpikiran kalau kakak tirinya itu benar-benar sakit. Tatiana menepis pikiran buruk bahwa saat ini Gladys sedang berpura-pura.Tatiana bingung apa yang harus dia lakukan. Perempuan itu lantas berpikir pertolongan pertama apa yang harus dia berikan. Saat matanya beradu dengan dispenser, Tatiana langsung bergerak. Mungkin Gladys butuh segelas air putih.“Dys, minum dulu yuk!”Tidak membantah, Gladys pun duduk seraya menyandarkan kepala ke headboard.“Ambilin obat aku di sana,” katanya kemudian sambil menunjuk kotak obat di atas meja.Ingin membantu, Tatiana melangkah mendekati meja. Banyak sekali obat-obatan Gladys tersimpan di sana, Tatiana mengambil semuanya.Melihat muka Gladys yang pucat, serta keringat yang menyembul di dahinya, Tatiana menjadi kasihan. Ini artinya Gladys benar-benar sakit.
Daun pintu pun terbuka. Gladys yang melihat kehadiran Bian langsung duduk, bangun dari tidurnya. Segaris senyum tipis terbit di bibirnya. Tapi tidak dengan Bian. Sejauh ini dia masih menahan langkah walaupun Tatiana menarik tangannya.Merasakan langkah Bian yang berat, Tatiana menoleh ke belakang. “Ayo, Bi, cuma sebentar kok.”Bian menatap istrinya itu lekat-lekat. Bian tidak mengerti dengan sikap Tatiana yang seperti ingin mendekatkannya dengan Gladys. Tidak mungkin tidak ada apa-apa meskipun Tatiana bilang seperti itu. Bian yakin Tatiana akan atau sedang merencanakan sesuatu, hanya saja tidak mau memberitahu entah karena alasan apa. Tapi Bian akan mengikuti permainan Tatiana. It’s okay. Apa pun itu Bian akan mengikutinya.“Dys, ini Bian.” Tatiana menarik pelan tangan Bian agar berdiri di sebelahnya. Sementara dirinya sendiri berangsur mundur ke belakang.Bian yang merasakan Tatiana pelan-pelan menjauh lekas mencekal lengannya agar tidak pergi dari sana. Lelaki itu lantas berbisik pa
Di luar, Tatiana sedang menerima telepon dan berbicara dengan Alya.“Kamu di mana, Tia?” Alya langsung bertanya saat Tatiana menyapanya.“Di rumah papa, Ma.”“Apa? Maksud kamu apa? Papa mana?” “Ehm, maaf, Ma, aku salah ngomong, maksudnya Pak Wiryawan.” Tatiana buru-buru meralat kata-katanya. Tapi rupanya Alya tidak menerima begitu saja. Tadi telinganya jelas-jelas mendengar Tatiana menyebut Wiryawan dengan sebutan papa.“Tia, Mama nggak ngerti deh. Bisa kamu bantu jelasin dengan lengkap?”“Ma, aku dan Bian sekarang sedang berada di rumah Pak Wiryawan. Dia mengundang kami makan malam, Ma.” Tatiana tidak tahu apa dampak kejujurannya pada Alya nanti, tapi dia sudah terlanjur keceplosan.“Jadi maksud kamu sudah menerima dia? Kamu sudah memaafkan dia?” Alya rasanya tidak terima kalau sampai hal itu terjadi. Penderitaan selama dua puluh tahun tidak akan pernah terbayar hanya dengan seuntai kata maaf.“Bukan begitu, Ma. Mama jangan salah paham dulu. Selamanya aku nggak akan pernah maafin di
Bian dan Tatiana langsung menjauhkan diri saat mendengar suara Mario. Tatiana terbatuk-batuk kecil, sedangkan Bian berdeham berkali-kali. “Kamu kenapa kalau ngomong selalu ngagetin?” sergah Bian pada Mario yang membuatnya dan Tatiana sama-sama terperanjat.“Maaf, Pak, saya nggak sengaja.” Mario rasa tadi dia sudah berbicara dengan pelan dan dengan nada biasa. “Sudah, Bi, ayo kita turun.” Tatiana mengusap pundak Bian, melunakkannya.Masih dengan muka kesal Bian keluar dari mobil sambil membanting pintu keras-keras. Mario hanya geleng-geleng kepala. Perasaan, dia tidak salah apa-apa, tapi kenapa Bian marah padanya?“Kamu kenapa marah sama Mario, Bi? Dia kan nggak salah apa-apa,” tegur Tatiana mengingatkan sikap Bian tadi.Bian menghela napas sambil mengunci pintu kamar. “Sudahlah, nggak usah dibahas,” ujarnya lantas merebahkan tubuh di pembaringan. Bian rasa butuh waktu untuk beristirahat, tapi dia harus menuntaskan dulu urusannya yang lain.Bian memiringkan tubuh mengarah pada Tati
Pagi itu Bian yang pertama kali membuka mata. Tatiana masih terlelap dalam dekapannya. Lelaki itu kemudian mengulas senyum tipis saat benaknya berhasil mengurai kepingan demi kepingan peristiwa yang terjadi tadi malam.Mendekatkan muka, Bian mengecup hangat kening Tatiana dengan bibirnya yang dingin. Hatinya kini terasa penuh. Oleh cinta, oleh rasa sayang, yang hanya dia berikan untuk Tatiana. Bian lalu membisikkan sesuatu di telinga Tatina.‘I still wake up every morning and the first thing i want to do is see your face.’Merasa kandung kemihnya sudah penuh, Bian bergerak turun dari tempat tidur, lantas melangkah dengan tubuh polos ke kamar mandi. Selesai buang air, Bian tidak langsung kembali ke kamar. Dia tertegun sejenak saat melihat bathtub. Dia merasa ingin membersihkan diri sekarang. Tapi sepertinya akan lebih menyenangkan berdua dengan Tatiana di dalam sana.Tatiana ternyata sudah bangun saat Bian kembali ke kamar. Perempuan itu menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang po
Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Tatiana masih ingat betul ungkapan itu. Berasal dari film Joker garapan sutradara Todd Phillips. Sisi kelam masa lalu Joker, dibungkus dengan akting memukau Joaquin Phoenix, menjadi salah satu kekuatan utama film ini. Namun terlepas dari itu, salah satu yang menarik adalah munculnya kalimat, 'Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti', dalam jagat maya. Tulisan ini banyak diunggah netizen setelah menonton film berdurasi 122 menit itu. Dan Tatiana adalah salah satunya yang ikut-ikutan mengunggah tulisan itu di media sosial miliknya.Kini, di depan cermin Tatiana bertanya pada dirinya sendiri. ‘Apakah aku bisa disebut orang jahat dengan menjalankan rencana ini? Apa benar aku orang baik yang tersakiti? Atau memang otakku sudah gesrek?’Tatiana kemudian memindahkan perhatian pada Bian yang sedang membuka lemari dan memilih sendiri bajunya. Dari belakang, Tatiana bisa melihat punggung Bian yang dihiasi tato bergambar sepasang sayap. Tidak
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa