Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Tatiana masih ingat betul ungkapan itu. Berasal dari film Joker garapan sutradara Todd Phillips. Sisi kelam masa lalu Joker, dibungkus dengan akting memukau Joaquin Phoenix, menjadi salah satu kekuatan utama film ini. Namun terlepas dari itu, salah satu yang menarik adalah munculnya kalimat, 'Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti', dalam jagat maya. Tulisan ini banyak diunggah netizen setelah menonton film berdurasi 122 menit itu. Dan Tatiana adalah salah satunya yang ikut-ikutan mengunggah tulisan itu di media sosial miliknya.Kini, di depan cermin Tatiana bertanya pada dirinya sendiri. ‘Apakah aku bisa disebut orang jahat dengan menjalankan rencana ini? Apa benar aku orang baik yang tersakiti? Atau memang otakku sudah gesrek?’Tatiana kemudian memindahkan perhatian pada Bian yang sedang membuka lemari dan memilih sendiri bajunya. Dari belakang, Tatiana bisa melihat punggung Bian yang dihiasi tato bergambar sepasang sayap. Tidak
Sedang apa Gladys di sini? Apa yang dia lakukan?Bian tahu kalau Gladys memang dekat dengan Camila dari dulu. Tapi Bian tidak tahu kalau ternyata Gladys masih berhubungan dengan Camila setelah hubungannya dengan perempuan itu berakhir. Bian pikir mungkin dia harus pulang sekarang. Mereka tidak perlu tahu kedatangan Bian ke sana.“Bian!”Bian baru saja memutar tubuh dan akan menarik langkah ketika mendengar namanya dipanggil. Astaga! Itu suara Gladys. Ternyata dia melihat Bian.Terpaksa Bian membalikkan badan. Gladys tersenyum manis padanya. Pun dengan Camila. Detik berikutnya Gladys berjalan menghampiri.“Ikut yoga bareng kita, yuk!” ajak Gladys sembari menggandeng tangan Bian.Bian menepis halus tangan Gladys. “Nggak usah, Dys, aku ke sini bukan untuk yoga.”Camila ikut mendekati Bian. “Ayolah, Bi, ikut kita sekalian. Kamu kan jarang olahraga.”“Tunggu sebentar ya, Mi, aku panggil Tia dulu.”“Dia ada di sini memangnya?” Camila tentu saja kaget mengetahui menantu yang tidak diingin
Ini tidak bisa dibiarkan. Camila harus tahu fakta sesungguhnya. Dia harus segera diberi pencerahan agar tidak berlarut-larut dalam kesalahpahaman.“Mi, Mami salah. Bukan mama Alya pelakornya, Mi, tapi tante Amel. Mami jangan percaya gitu aja sama Gladys. Dan satu lagi, nggak ada yang merebut aku dari siapa pun. Aku yang memilih Tia, Mi.”“Jadi menurut kamu Mami harus percaya sama siapa? Kamu? Begitu? Dengar ya, Bi, Gladys nggak mungkin mengarang cerita apalagi berbohong. Wiryawan sendiri yang cerita sama dia.” Camila rupanya belum mau kalah dan terus membela Gladys. Di matanya Gladys begitu terpuji.“Kalau begitu artinya Om Wiryawan yang berbohong.” Pasti tidak salah lagi. Wiryawan memutar balikkan fakta dan mencuci tangan. Semua rasa hormat, segan, juga simpati Bian pada pebisnis sukses itu luntur seketika mengetahui sikapnya yang tidak beretika.“Nggak mungkin dia bohong, Bi. Wiryawan bukan tipe orang seperti itu. Sudahlah, kamu terima saja kenyataan kalau istri kamu itu memang busu
Camila mendengkus kesal melihat pasangan muda di hadapannya. Entah apa maksud Bian memamerkan kemesraan dengan Tatiana padanya.Camila yang tidak terima terlihat resah dan terus saja mencari cara untuk mengingkari kenyataan bahwa sang menantu sedang mengandung calon cucunya.“Tia, sebelum sama Bian, kamu pernah berpacaran dengan siapa saja?” selidik Camila ala detektif. Matanya menyipit menyelidiki, mencari kebenaran di wajah Tatiana.Tatiana merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Camila. Apa maksudnya dia bertanya seperti itu? Tatiana lantas melirik Bian di sebelahnya. Mukanya menegang. Tatiana pun menjadi yakin kalau Bian juga tidak suka atau merasa risih oleh pertanyaan Camila. Tapi tidak apa-apa, Tatiana akan menjawabnya dengan jujur. Tatiana masih terus berpikir positif. Mungkin mertuanya hanya ingin mengetahui mengenai masa lalunya dan dengan siapa saja dia berhubungan.“Saya pernah berpacaran dengan Darren, Mi,” ucap Tatiana sejurus kemudian.Camila mengerutkan kening. Dia meras
“Bi, nggak bisa ya kalau nyetirnya pelan-pelan?” Baru saja mereka melintas di jalan raya Gladys sudah protes karena Bian mengemudi terlalu kencang.“Aku bisa mual kalau pelan-pelan,” sahut Bian menirukan ucapan Tatiana kala itu. Padahal Bian mengendara dengan cepat hanya agar ingin mereka cepat sampai.“Tapi kalau kamu kencang-kencang kayak gini aku bisa sport jantung,” balas Gladys. Lagian Bian kenapa seperti orang kesetanan begini?“Salah sendiri kenapa kamu minta antar sama aku,” sahut Bian ringan.“Jadi kamu nggak ikhlas?” Gladys memiringkan kepala, memandang Bian lekat-lekat sambil menyelidiki.“Kalau bukan karena Tia yang minta, aku nggak akan mau mengantar kamu.”Sahutan sinis Bian membuat Gladys bertambah kesal. Mana Bian yang dulu lembut dan selalu memanjakannya? Kenapa Bian jadi kasar seperti ini padanya? Pasti semua karena Tatiana. Perempuan itu memang membawa dampak negatif bagi Bian. Buktinya dia bisa membuat Bian berubah dalam waktu yang sangat singkat. Dasar perempuan p
“Nggak mampir dulu, Bi?” Gladys bertanya ketika mereka sudah tiba di rumah.“Lain kali aja ya, aku lagi buru-buru,” tolak Bian beralasan. Bian rasa dia sudah terlalu lama meninggalkan Tatiana di rumah Camila. Entah apa yang sudah terjadi di sana. Tapi Bian yakin kalau ibunya pasti mati-matian mencoba untuk mengintimidasi istrinya. Mengingat semua itu Bian sontak melihat arloji di pergelangan kirinya. Sudah lebih dari dua jam dia menghabiskan waktu bersama Gladys. Mulai dari rumah tadi, mampir di butik langganan Gladys yang berujung dengan dua kantong belanjaan. Terakhir mereka berhenti di gerai fast food drive thru yang juga kesukaan Gladys.“Sebentar aja kok, Bi, nggak akan lama. Di rumah lagi ada papa, siapa tahu kamu mau ngobrol-ngobrol dulu.”Berpikir sejenak, Bian akhirnya memutuskan untuk mampir. Mungkin nanti dia bisa memperoleh informasi penting atau sesuatu yang berguna.“Ya sudah.” Seulas senyum terbit dari bibir Gladys me
Bian sudah berada di mobil dan baru saja meninggalkan rumah Wiryawan. Kepalanya penuh oleh berbagai beban dan pikiran sekarang. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi meskipun Wiryawan terus mencoba memengaruhinya, Bian masih memegang teguh kata-kata Alya. Entah mengapa Bian lebih memercayai mertua perempuannya ketimbang mertua laki-lakinya.Masih terngiang dengan jelas oleh Bian sambungan percakapannya dengan Wiryawan.“Pa, bukan maksudku lancang. Tapi kalau boleh aku tahu kenapa Gladys bilang Tia anak pelakor? Bukankah mama Alya istri pertama Papa?” Bian bertanya dengan berani. Baginya semua ini harus diungkap agar menjadi jelas dan terang benderang. Tanpa ada lagi fitnah dan prasangka.Lama Wiryawan terdiam dan tidak ada tanda-tanda akan menjawab. Sepertinya dia sedang berpikir keras. Mungkin untuk mencari jawaban yang pas.“Pa, maaf, aku bukan bermaksud ikut campur masalah pribadi Papa. Tapi sebagai suami Tia aku perlu tahu, Pa.”Wiryawan mengangkat muka lantas melirik
Camila memandangi dari atas sofa tempatnya duduk padaTatiana yang kini berada di bawah kakinya. Sudah sejak dari dua menit yang lalu matanya terpaku di sana. Tatiana terlihat sangat serius dan tidak setengah-setengah. Saat tiba-tiba Tatiana menengadah, Camila sontak membuang muka dan pura-pura tidak tahu.“Mi, gimana? Sudah agak baikan kakinya?”“Sama saja, nggak ngaruh sama sekali,” sahut Camila enggan.“Memang begitu biasanya, Mi, mungkin sebentar lagi.” Tatiana bangkit dari lantai lantas duduk di sebelah sang mertua. “Nggak mau dipijitin punggungnya sekalian, Mi?” tawar Tatiana.Camila ingin menolak, tapi setelah merasakan efek pijitan Tatiana di kakinya, dia juga ingin mencoba sensasi itu di punggungnya.“Boleh deh,” jawabnya kemudian.Tatiana tersenyum tipis melihat Camila yang melunak. Perempuan itu menempelkan tangannya di bahu sang mertua dan memberi pijitan-pijitan lembut mulai dari pundak, area sekitar leher hingga punggung.Camila mulai terkantuk-kantuk begitu merasakan usa