Camila memandangi dari atas sofa tempatnya duduk padaTatiana yang kini berada di bawah kakinya. Sudah sejak dari dua menit yang lalu matanya terpaku di sana. Tatiana terlihat sangat serius dan tidak setengah-setengah. Saat tiba-tiba Tatiana menengadah, Camila sontak membuang muka dan pura-pura tidak tahu.“Mi, gimana? Sudah agak baikan kakinya?”“Sama saja, nggak ngaruh sama sekali,” sahut Camila enggan.“Memang begitu biasanya, Mi, mungkin sebentar lagi.” Tatiana bangkit dari lantai lantas duduk di sebelah sang mertua. “Nggak mau dipijitin punggungnya sekalian, Mi?” tawar Tatiana.Camila ingin menolak, tapi setelah merasakan efek pijitan Tatiana di kakinya, dia juga ingin mencoba sensasi itu di punggungnya.“Boleh deh,” jawabnya kemudian.Tatiana tersenyum tipis melihat Camila yang melunak. Perempuan itu menempelkan tangannya di bahu sang mertua dan memberi pijitan-pijitan lembut mulai dari pundak, area sekitar leher hingga punggung.Camila mulai terkantuk-kantuk begitu merasakan usa
“Yang, kenapa kamu pergi nggak bilang-bilang dulu sama aku? Maksud kamu apa sebenarnya?” Baru saja Tatiana memasang seat belt Bian sudah langsung menginterogasi.“Rencananya tadi aku mau ke rumah Rei, main sama Lala. Aku sudah telepon kamu, tapi kamu nggak jawab,” tutur Tatiana menerangkan.“Lala lagi, Lala lagi, kamu nggak sabaran amat jadi orang.” Bian menggerutu kesal. Hingga saat ini Bian masih tidak mengerti pada sikap Rei yang seakan mencuri-curi kesempatan di belakangnya.Tatiana diam saja dan membiarkan Bian terus merepet sesukanya. Kalau dia lawan, Tatiana yakin ocehan Bian semakin panjang dan tidak berujung. Namun kemudian Bian mendadak bungkam oleh usapan Tatiana di pahanya.“Bi, marah-marahnya udah ya, nggak bagus buat kesehatan.” Sedikit menggeser badan, Tatiana lantas mengecup pipi kiri Bian. Lelaki itu melunak dan berakhir dengan ucapan, “Iya.”Tatiana tersenyum tipis mengetahui Bian yang sudah kembali normal. “Bi, coba deh sekarang kamu ceritain gimana sama Gladys tad
Sepasang mata Tatiana terpaku di panggung. Pada Darren yang tengah melantunkan suara merdunya. Tatiana tidak mungkin melupakan suara itu. Dulu, saat masih bersama Darren, Tatiana juga sering menemaninya manggung dari kafe ke kafe. Bisa dibilang hampir setiap malam minggu dan minggu malam. Biasanya saat Darren manggung, Tatiana akan duduk bergabung bersama pengunjung lain dan mengamati Darren di atas panggung persis sama seperti yang dilakukannya saat ini.Tatiana tidak tahu entah berapa lama memandangi Darren ketika akhirnya mata mereka beradu. Darren terlihat kaget begitu menyadari Tatiana ada di tempat yang sama dengannya. “Yang, kamu mau pesan apa?” tanya Bian pada Tatiana tanpa mengalihkan mata dari buku menu.Tidak ada sahutan ataupun respon istrinya itu sehingga Bian terpaksa mengangkat muka dan memandangnya.“Yang, ka--“ Bian seketika tertegun dengan kalimat terputus saat mendapati Tatiana sedang memandang ke arah panggung dengan mata tak berkedip.Bian ikut melihat panggung,
Pagi ini Tatiana terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa pegal. Semalam Bian menghukumnya sampai dia nyaris kehabisan napas. Bian mungkin lupa kalau Tatiana sedang hamil.“Makanya lain kali jangan ganjen,” bisik Bian setelah pelepasan panjang keduanya.“Ganjen gimana?” Tatiana merasa tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Atau apa mungkin dia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?Bian memilih bungkam. Tidak mungkin juga kan kalau dia bilang cemburu pada Darren? Harga dirinya mau ditaruh di mana?Tatiana mengingat kembali kejadian tadi malam. Sepulangnya dari Coffeholic, Bian langsung mengurungnya di kamar. Lelaki itu menanggalkan semua penutup tubuh Tatiana. Kemudian menutup matanya dengan sapu tangan. Dan yang paling membuat Tatiana shock, Bian memborgol tangannya. Selanjutnya sudah bisa ditebak. Bian merealisasikan fantasinya yang sudah lama mengendap di kepala, tertimbun bersama angan-angan.Tatiana hanya bisa pasrah ketika Bian menguasai tubuhnya. Mengeksplorasi dari atas k
“Bi, aku belum selesai.” Tatiana menolak Bian yang mengajaknya pergi dari area pemakaman.“Ngapain lama-lama di sini? Kamu kan lagi hamil, nggak boleh, Yang.”Kalau saja Tatiana tidak ingat hal itu, mungkin dia masih akan tetap bertahan di sana. Tatiana memang pernah mendengar perihal tentang orang hamil yang tidak boleh pergi ke pemakaman. Entah itu mitos atau gimana. Entahlah.“Tunggu sebentar, Bi.”Tatiana lantas berpamitan pada Darren dan ibunya.“Ren, aku pulang dulu, kamu yang sabar ya.”“Iya, Tia, makasih sudah repot-repot datang ke sini.” Darren sebetulnya masih ingin bicara banyak, tapi melihat Bian yang mendampingi Tatiana seperti bodyguard, niat itu pun hanya menjadi sekadar keinginan.Bian yang sudah tidak sabar, menggandeng tangan Tatiana, mengajak pergi sesegera mungkin. Tatiana nyaris saja lupa kalau tadi dia datang bersama dengan Rei.“Rei, aku pulang sama Bian nggak apa-apa kan?” ucap Tatiana merasa tidak enak. Entah bagaimana caranya, Bian selalu saja muncul tanpa di
Tatiana memberikan polesan terakhir pada bibirnya. Pemulas berwarna merah bata. Bian bilang dia sangat suka melihat Tatiana memakai lipstick warna merah bata. Kata Bian lagi, tiap kali Tatiana memakai lipstick itu, Bian ingin terus mengurungnya seharian di kamar.“Cantik, Yang!” puji Bian dari belakang setelah mendekap tubuhnya.Tatiana tersenyum tipis seraya menatap Bian melalui kaca meja rias. “Makasih, Bi,” jawabnya pelan. “Nanti kita makan siang bareng lagi atau gimana?”“Kayaknya nggak, Yang, aku agak sibuk,” jawab Bian setelah mengingat jadwal kerja yang terekam rapi di kepalanya.“Okay, i see. Tapi jangan lupa, nanti malam kamu ada janji mau pergi sama Gladys ke pesta ulang tahun Sheila,” kata Tatiana mengingatkan. Siapa tahu Bian lupa.Mendengar Tatiana menyebut nama Gladys, emosi Bian kembali naik. Keluar dari dada, menjalar ke muka hingga sampai di kepala. Bian tidak punya perasaan apa pun pada Gladys. Rasa itu sudah sirna. Tapi membayangkan ternyata Gladys membohonginya men
Darren baru saja keluar dari kubikelnya ketika mendapat telepon dari Bian. Belasan detik Darren tertegun menatap layar gawainya. Untuk apa Bian menelepon? Apa ada yang penting? Tapi apa? Apa berhubungan dengan Tatiana? Menjawab rasa penasaran, Darren akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Om Bian," sapanya ramah sembari menyiapkan hati kalau-kalau Bian kembali berkata kasar padanya seperti yang sudah-sudah.“Kamu di mana?” “Di kantor, Om, ini baru mau keluar istirahat siang.”“Aku mau ketemu sama kamu. Bisa?”Meski ragu dan bertanya-tanya apa tujuan Bian ingin berjumpa dengannya, Darren pun mengiyakan.Dua puluh menit kemudian Darren sudah duduk manis tepat di kursi yang berseberangan dengan Bian di sebuah tempat makan eksklusif. “Maaf, Om, agak terlambat, tadi motorku mogok.” “Jadi kamu masih pakai motor butut itu?”“Nggak butut juga sih, Om,” sangkal Darren tidak rela sepeda motor 250 cc-ny
Tatiana membuka lemari, memilihkan baju untuk Bian pakai malam ini. Sementara itu Bian duduk di sofa memerhatikannya dari jauh. Bian masih berpikir untuk membatalkan rencananya pergi dengan Gladys.“Bi, kenapa masih duduk disitu?” tegur Tatiana karena melihat Bian masih termangu. Perempuan itu kemudian melangkah pelan mendekati suaminya. “Ini baju kamu, pakai ya!”Menghela napas, Bian menerima baju dan celana yang Tatiana berikan padanya dengan sedikit enggan. Dan Tatiana menyadari sikap Bian yang terlihat berat.“Bi, kenapa lagi?” tanyanya sambil mengamati muka Bian, siapa tahu dia menemukan jawaban di sana.Berdeham untuk menjernihkan suaranya, Bian akhirnya berkata. “Yang, kamu yakin aku pergi ke sana?” “Ya yakinlah, kamu kenapa, Bi? Ada apa?” Tatiana mengernyit melihat Bian yang tampak ragu.“Nggak apa-apa. Ya udah aku ganti baju dulu.”Tatiana tersenyum lega. Awalnya dia sangka kalau Bian akan berubah pikiran. Tapi syu