Darren baru saja keluar dari kubikelnya ketika mendapat telepon dari Bian. Belasan detik Darren tertegun menatap layar gawainya. Untuk apa Bian menelepon? Apa ada yang penting? Tapi apa? Apa berhubungan dengan Tatiana?
Menjawab rasa penasaran, Darren akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Om Bian," sapanya ramah sembari menyiapkan hati kalau-kalau Bian kembali berkata kasar padanya seperti yang sudah-sudah.“Kamu di mana?”“Di kantor, Om, ini baru mau keluar istirahat siang.”“Aku mau ketemu sama kamu. Bisa?”Meski ragu dan bertanya-tanya apa tujuan Bian ingin berjumpa dengannya, Darren pun mengiyakan.Dua puluh menit kemudian Darren sudah duduk manis tepat di kursi yang berseberangan dengan Bian di sebuah tempat makan eksklusif.“Maaf, Om, agak terlambat, tadi motorku mogok.”“Jadi kamu masih pakai motor butut itu?”“Nggak butut juga sih, Om,” sangkal Darren tidak rela sepeda motor 250 cc-nyTatiana membuka lemari, memilihkan baju untuk Bian pakai malam ini. Sementara itu Bian duduk di sofa memerhatikannya dari jauh. Bian masih berpikir untuk membatalkan rencananya pergi dengan Gladys.“Bi, kenapa masih duduk disitu?” tegur Tatiana karena melihat Bian masih termangu. Perempuan itu kemudian melangkah pelan mendekati suaminya. “Ini baju kamu, pakai ya!”Menghela napas, Bian menerima baju dan celana yang Tatiana berikan padanya dengan sedikit enggan. Dan Tatiana menyadari sikap Bian yang terlihat berat.“Bi, kenapa lagi?” tanyanya sambil mengamati muka Bian, siapa tahu dia menemukan jawaban di sana.Berdeham untuk menjernihkan suaranya, Bian akhirnya berkata. “Yang, kamu yakin aku pergi ke sana?” “Ya yakinlah, kamu kenapa, Bi? Ada apa?” Tatiana mengernyit melihat Bian yang tampak ragu.“Nggak apa-apa. Ya udah aku ganti baju dulu.”Tatiana tersenyum lega. Awalnya dia sangka kalau Bian akan berubah pikiran. Tapi syu
Ruangan itu tampak semarak, dengan semburat cahaya kemerahan dari lampu yang berkerjap. Hentakan musik yang semakin malam bertambah menjadi berhasil menggoyang puluhan kepala.Crowd-nya jelas. Yang perempuan cantik dan modis. Yang lelaki gagah dan memesona. Ada juga kalangan crème de la crème di sana yang sibuk dengan sesama mereka. Seolah terisolasi dari manusia lainnya yang berada di tempat yang sama dan hanya memedulikan golongannya.Semua asyik dengan kegiatan masing-masing. Ada yang menggosip dengan sesamanya, ada yang larut dengan minumannya, ada yang sudah mulai teler dan menceracau tidak jelas, ada yang sibuk merayu pasangan di sebelahnya, dan ada juga yang bengong sendiri di tengah keramaian.Sheila, sang empunya pesta terlihat bahagia di hari lahirnya. Tidak ada habisnya senyum terkembang di bibirnya. Melihat Gladys dari jauh, dia langsung melambaikan tangan meminta agar mendekat.Gladys membalas dengan memberi senyum ramah. Segera digandengnya tangan
Karena Bian terus memaksa, akhirnya Darren pun meneguk minuman yang diberikannya. Sementara Darren minum, Bian terus mengajaknya bercerita hingga tanpa sadar bergelas-gelas minuman beralkohol itu meluncur masuk ke dalam perutnya.Sebagai pemula tentu saja tingkat toleransi tubuh Darren terhadap alkohol masih sangat rendah. Pelan-pelan Darren mulai kehilangan kesadarannya. Mengetahui hal itu Bian mulai beraksi dengan mengorek informasi dari keponakannya.“Ren, kamu menyesal nggak ninggalin Tia?”“Iya, Om,” jawab Darren tidak terdengar jelas karena kesadarannya yang mulai terenggut.“Terus gimana perasaan kamu sama dia?”“Aku masih cinta Tia, Om.”Okay, Bian masih bersabar mendengar jawaban Darren.“Misalnya nih ya, ini baru misal, kalau kamu punya kesempatan, dan Tia juga mau, kamu mau balik apa nggak sama Tia?” Bian terus menggali informasi dari keponakannya itu.“Mau banget, Om. Bukankah kalau diberi kesempatan kedua kita nggak boleh menyia-nyiakannya?”‘Bangke juga nih orang!’ Bian
Sudah selarut ini, tapi Bian masih belum pulang. Tatiana mencoba untuk tetap tenang, tapi nyatanya dia tidak bisa mengingkari kalau hatinya saat ini khawatir memikirkan Bian. Di mana Bian sekarang? Apa masih di tempat pesta, atau sedang di jalan akan pulang atau jangan-jangan sedang berada di sebuah kamar hotel bersama Gladys? Bisa saja kan kemungkinan itu terjadi?Tatiana bukan sekali dua kali mendengar cerita tentang orang-orang yang terjebak one night stand usai berpesta. Tapi tidak mungkin Bian termasuk ke dalamnya. Bian itu cerdik, Tatiana tahu persis hal itu.Tatiana kembali naik ke atas tempat tidur dan bermaksud untuk tidur duluan. Namun ternyata matanya memang terpejam, tapi pikirannya masih jalan-jalan. Tatiana merasa perasaannya tidak enak. Tanpa sadar dia mendoakan Bian di dalam hati untuk pertama kalinya. Semoga Bian baik-baik saja dan selalu dilindungi Tuhan.Puluhan menit berada di tempat tidur, namun Tatiana tetap tidak bisa terlelap meskipun sudah berganti berbagai
Seperti biasa, hari ini Bian bekerja sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berbeda selain perasaannya yang tidak tenang. Bukan karena apa-apa, Bian memikirkan perbuatannya kemarin malam. Bian merasa sudah menjerumuskan keponakannya sendiri akibat rasa insecure-nya sehingga mengimprovisasi rencana Tatiana. Bian tidak bisa membayangkan entah apa reaksi Tatiana kalau sampai mengetahui perbuatannya.Menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, Bian memejamkan mata dengan tangan terlipat di dada. Bian tidak ingin memikirkan Darren, nyatanya pikirannya tidak jauh-jauh dari sana.‘Calm down, Bi. Darren sudah dikasih uang tutup mulut, dia nggak mungkin berbuat yang macam-macam.’ Bian mensugesti dirinya sendiri mengatasi kecamuk di dalam dada.“Om Bian!” Itu suara Darren. Terdengar dekat dan sangat jelas.‘Mungkin hanya pikiranku saja’, pikir Bian.“Om Bian!” Kali ini suara itu terdengar semakin jelas.Bian membuka matanya. Ternyata bukan hanya pikirannya. Keponakannya itu kini berdiri
Dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Semua berjalan lancar. Bian tidak bertemu dengan Gladys lagi, juga dengan Darren. Sepertinya semesta memang berpihak padanya. Jadi tidak salah tindakannya malam itu yang menjebak mantan kekasih dan keponakannya.“Yang, sudah siap?” seru Bian pada Tatiana yang masih berada di dalam kamar. Sore ini mereka memang akan mengunjungi dokter kandungan setelah barusan pulang dari kantor. Tanpa terasa saat ini sudah menginjak bulan keempat kehamilan Tatiana.“Iya, Bi, tunggu...!” Tatiana yang sedang berdandan menyahut panggilan Bian. Setelah memberi polesan terakhir pada bibirnya, yang tentu saja berwarna merah bata kesukaan Bian, Tatiana pun segera menyusul ke luar.Bian tak berkedip memandang Tatiana yang berjalan mendekatinya. Istrinya itu terlihat berbeda dengan perutnya yang kian membesar. Aura wanita hamilnya keluar.Bian dan Tia duduk berdampingan di ruang dokter dengan tangan saling menggenggam. Seperti biasa, dokter bertanya apa saja keluhan Tatian
llGelap dan pekat menyambut bersamaan saat Rei turun dari mobil begitu sampai di kantornya. Masih ada beberapa orang di sana dan menyapanya ramah saat Rei melintas. Sampai di lantai dua puluh lima, Rei melihat kubikel para pegawainya sudah kosong. Sepertinya mereka sudah pulang semua. Itu berarti hanya ada dirinya sendiri di sini. Tapi ternyata dia salah. Saat melewati ruangan Franda, ruangan itu masih terang benderang. Iseng, Rei membuka sedikit pintunya.“Pak Rei!” Franda tampak kaget melihat keberadaan Rei karena setahunya tadi Rei sudah pulang.“Kamu belum pulang?” tanya Rei dari sisi pintu sambil melirik jam tangannya.“Belum, Pak, sebentar lagi.”“Ya udah, saya tunggu kalau gitu.”“Bapak menunggu saya?”“Iya. Saya ke ruangan dulu sebentar.”Rei bergegas menuju ruangannya. Ternyata benar. Gawainya masih terhubung dengan aliran listrik. Rei jarang-jarang bersikap seceroboh ini. Melepaskan dari sambungan listrik, Rei menyimpan kembali gawainya ke dalam saku. Lelaki itu menghela n
Tatiana menatap kantong-kantong belanjaan yang tersusun di lantai dengan berbagai pikiran. Setelah mereka pulang dari dokter tadi, Bian mengajaknya belanja membeli beraneka perlengkapan bayi. Mulai dari pakaian, peralatan mandi hingga tempat tidurnya.Tatiana tidak menyangka kalau Bian akan menjadi seantusias itu menyambut kehadiran calon anak pertama mereka. “Bi, kita mau ke mana?” Tatiana bertanya saat tadi Bian tidak langsung mengajaknya pulang.“Kita belanja dulu untuk Angel.”“Angel? Angel siapa?” tanya Tatiana dengan dahi berkerut. Dia rasa Bian belum pernah menyebut nama itu sebelumnya ataupun menceritakan padanya.“Angelica,” jawab Bian lagi. Kalimatnya yang sepotong-sepotong membuat Tatiana gemas dan penasaran.“Bi, tolong kalau ngomong itu yang jelas. Jangan separuh-separuh. Aku kan nggak ngerti.”Bian yang sedang menyetir menoleh pada Tatiana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Angelica itu nama anak kita nanti. Artinya cantik, bidadari dan malaikat. Jadi nanti dia aka