Dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Semua berjalan lancar. Bian tidak bertemu dengan Gladys lagi, juga dengan Darren. Sepertinya semesta memang berpihak padanya. Jadi tidak salah tindakannya malam itu yang menjebak mantan kekasih dan keponakannya.“Yang, sudah siap?” seru Bian pada Tatiana yang masih berada di dalam kamar. Sore ini mereka memang akan mengunjungi dokter kandungan setelah barusan pulang dari kantor. Tanpa terasa saat ini sudah menginjak bulan keempat kehamilan Tatiana.“Iya, Bi, tunggu...!” Tatiana yang sedang berdandan menyahut panggilan Bian. Setelah memberi polesan terakhir pada bibirnya, yang tentu saja berwarna merah bata kesukaan Bian, Tatiana pun segera menyusul ke luar.Bian tak berkedip memandang Tatiana yang berjalan mendekatinya. Istrinya itu terlihat berbeda dengan perutnya yang kian membesar. Aura wanita hamilnya keluar.Bian dan Tia duduk berdampingan di ruang dokter dengan tangan saling menggenggam. Seperti biasa, dokter bertanya apa saja keluhan Tatian
llGelap dan pekat menyambut bersamaan saat Rei turun dari mobil begitu sampai di kantornya. Masih ada beberapa orang di sana dan menyapanya ramah saat Rei melintas. Sampai di lantai dua puluh lima, Rei melihat kubikel para pegawainya sudah kosong. Sepertinya mereka sudah pulang semua. Itu berarti hanya ada dirinya sendiri di sini. Tapi ternyata dia salah. Saat melewati ruangan Franda, ruangan itu masih terang benderang. Iseng, Rei membuka sedikit pintunya.“Pak Rei!” Franda tampak kaget melihat keberadaan Rei karena setahunya tadi Rei sudah pulang.“Kamu belum pulang?” tanya Rei dari sisi pintu sambil melirik jam tangannya.“Belum, Pak, sebentar lagi.”“Ya udah, saya tunggu kalau gitu.”“Bapak menunggu saya?”“Iya. Saya ke ruangan dulu sebentar.”Rei bergegas menuju ruangannya. Ternyata benar. Gawainya masih terhubung dengan aliran listrik. Rei jarang-jarang bersikap seceroboh ini. Melepaskan dari sambungan listrik, Rei menyimpan kembali gawainya ke dalam saku. Lelaki itu menghela n
Tatiana menatap kantong-kantong belanjaan yang tersusun di lantai dengan berbagai pikiran. Setelah mereka pulang dari dokter tadi, Bian mengajaknya belanja membeli beraneka perlengkapan bayi. Mulai dari pakaian, peralatan mandi hingga tempat tidurnya.Tatiana tidak menyangka kalau Bian akan menjadi seantusias itu menyambut kehadiran calon anak pertama mereka. “Bi, kita mau ke mana?” Tatiana bertanya saat tadi Bian tidak langsung mengajaknya pulang.“Kita belanja dulu untuk Angel.”“Angel? Angel siapa?” tanya Tatiana dengan dahi berkerut. Dia rasa Bian belum pernah menyebut nama itu sebelumnya ataupun menceritakan padanya.“Angelica,” jawab Bian lagi. Kalimatnya yang sepotong-sepotong membuat Tatiana gemas dan penasaran.“Bi, tolong kalau ngomong itu yang jelas. Jangan separuh-separuh. Aku kan nggak ngerti.”Bian yang sedang menyetir menoleh pada Tatiana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Angelica itu nama anak kita nanti. Artinya cantik, bidadari dan malaikat. Jadi nanti dia aka
Tatiana sangat menikmati kehamilannya. Naluri keibuannya semakin lama kian kentara. Membayangkan hanya dalam hitungan bulan akan segera menjadi ibu tanpa sadar Tatiana tersenyum sendiri. Terlebih ketika membayangkan sesosok bayi mungil yang manis, imut dan menggemaskan. Rasanya Tatiana semakin tidak sabar menanti saat itu tiba. Apa jangan-jangan dia mulai tertular Bian?Ingat Bian, sama artinya mengingatkan Tatiana dengan tingkah suaminya itu. Bian yang sombong dan arogan tapi nyatanya bisa juga memperlakukannya dengan manis. Lama-lama Tatiana merasa beneran jatuh cinta pada laki-laki itu.‘Nggak!’ Tatiana menolak perasaannya sendiri yang mulai tumbuh untuk Bian. Tatiana tidak benar-benar yakin kalau dia mencintai lelaki itu.“Dicariin dari tadi ternyata ada di sini.” Suara Franda menyentak Tatiana dari lamunannya.“Astaga! Aku kira siapa.” Tatiana memegang dadanya. Saat itu dia memang sedang berada di pantry menyeduh segelas sereal. Tiba-tiba saja dia merasa lapar. Akhir-akhir ini T
Setelah Bian memerhatikan dari puncak kepala hingga ujung kaki, Bian pun yakin kalau sosok yang kini berdiri di hadapannya adalah manusia. Itu terbukti dari kakinya yang menapak ke lantai.Berulang-ulang Bian mengerjapkan mata demi meyakinkan diri. Dan ternyata hasilnya tetap sama. Dia masih melihat orang yang sama.“Santai saja, Bi, aku manusia bukan hantu. Jangan sok kaget kayak gitu.”“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bian pada perempuan cantik yang kini berdiri di hadapannya. Dia adalah sang mantan kekasih yang sudah lama Bian tinggalkan dan lupakan.Gladys.“Boleh aku duduk dulu?” tanya Gladys sambil mendekat ke arah Bian.“Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku harus meeting,” ujar Bian berbohong.“Cuma sebentar, nggak akan lama.” Gladys lantas menarik kursi tanpa Bian persilakan. Perempuan itu menatap Bian lekat-lekat. “Bi, kamu tambah gagah dan awet muda,” pujinya kagum tanpa melepaskan matanya sedetik pun dari Bian.“Sudah, Dys, langsung saja, kamu mau apa sebenarnya?”
Tatiana sedang berada di toilet dan berkaca di cermin wastafel saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Refleks, Tatiana memandang ke arah pintu. Saat melihat Gladys yang muncul, Tatiana tersenyum ramah meskipun dia heran bagaimana bisa Gladys datang ke kantornya. Tapi menyaksikan Gladys berada di hadapannya sekarang, tidak mungkin kalau perempuan itu hanya kebetulan lewat di kantornya lalu mampir tiba-tiba. Pasti Gladys memang sengaja datang untuk menemuinya entah untuk tujuan apa.“Hai, Dys, tumben ke sini?” sapa Tatiana casual.Gladys mengabaikan sapaan hangat Tatiana. Matanya terarah pada perutnya yang sudah mulai membesar. Melihat Gladys yang tidak mengerjap menatapnya, Tatiana ikut memandang perutnya sendiri. Ada apa? Apa bajunya robek? Atau ada sesuatu yang aneh pada perutnya yang menarik perhatian Gladys?“Dys, ada apa?”Gladys pun memindahkan mata pada Tatiana yang bertanya padanya. Perempuan itu tersenyum sinis. “Itu anaknya Bian?” tanyanya menunjuk perut Tatiana dengan d
Bian merasakan ada yang berbeda dari Tatiana. Istrinya itu terlihat tidak biasa. Lebih banyak diam dan irit bicara. Kalau Bian tidak salah, mungkin sejak sore tadi, saat mereka sama-sama pulang dari kantor. Kalau biasanya mereka akan saling bermesraan di jok belakang, sedangkan Mario menyetir di depan, kali ini Tatiana terlihat sedikit dingin. Bukan mengabaikannya, tapi tidak terlalu meresponnya.Bian mengingat-ingat kesalahan apa rupanya yang sudah dia lakukan. Tapi sampai pikirannya buntu, Bian tidak menemukan apa pun. Dia merasa sikapnya masih semanis, sehangat, sebaik, serta selembut biasa pada Tatiana. Lalu, apa yang salah? Apa karena hormon kehamilan yang mengacaukan perasaannya makanya Tatiana bisa menjadi seperti ini?“Yang, ini susunya.” Bian meletakkan segelas susu hamil rasa coklat yang baru saja dia buat disamping istrinya itu.Tatiana menoleh sekilas, lantas mengangguk kecil. Perempuan itu kembali mengalihkan mata pada air berwarna biru di hadapannya. Saat itu keduanya me
Bian dan Tatiana baru saja selesai berenang. Sambil menyelam minum air. Satu pelepasan lagi terjadi hari ini. Cuma dengan cara biasa dan tanpa inovasi, hanya saja tempatnya menimbulkan sensasi yang berbeda bagi keduanya.“Kalau udah dekat-dekat sama kamu aku jadi lupa dunia,” ujar Bian sambil membelai lembut rambut Tatiana yang basah.Tatiana tersenyum tipis lantas melingkarkan kedua tangannya di leher Bian yang berbaring miring di sebelahnya.Keduanya kini saling bertatapan. Begitu intens dan mesra. Tatiana kini mulai merasakan ada yang berbeda setiap kali Bian menatapnya sedalam itu. Perasaan apa ini? Apa mungkin dia benar-benar sudah mencintai Bian?“Yang, janji ya, pokoknya apa pun yang terjadi kita akan selalu bersama. Aku nggak akan pergi ninggalin kamu. Semuanya demi kamu dan anak kita.” Tatapan Bian yang dalam menembus jauh tidak hanya ke dalam netra Tatiana, tapi juga ke relung hatinya.“Iya, janji. Demi anak kita,” balas Tatiana. Handphone Bian yang berdering nyaring mengej