Bian dan Tatiana baru saja selesai berenang. Sambil menyelam minum air. Satu pelepasan lagi terjadi hari ini. Cuma dengan cara biasa dan tanpa inovasi, hanya saja tempatnya menimbulkan sensasi yang berbeda bagi keduanya.“Kalau udah dekat-dekat sama kamu aku jadi lupa dunia,” ujar Bian sambil membelai lembut rambut Tatiana yang basah.Tatiana tersenyum tipis lantas melingkarkan kedua tangannya di leher Bian yang berbaring miring di sebelahnya.Keduanya kini saling bertatapan. Begitu intens dan mesra. Tatiana kini mulai merasakan ada yang berbeda setiap kali Bian menatapnya sedalam itu. Perasaan apa ini? Apa mungkin dia benar-benar sudah mencintai Bian?“Yang, janji ya, pokoknya apa pun yang terjadi kita akan selalu bersama. Aku nggak akan pergi ninggalin kamu. Semuanya demi kamu dan anak kita.” Tatapan Bian yang dalam menembus jauh tidak hanya ke dalam netra Tatiana, tapi juga ke relung hatinya.“Iya, janji. Demi anak kita,” balas Tatiana. Handphone Bian yang berdering nyaring mengej
Gladys dan Wiryawan sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang Bian belum bisa memejamkan matanya. Pertemuannya dengan ayah dan anak tadi membekas begitu jelas di kepalanya dan terasa begitu mengganggu sampai sekarang. Bian merasa heran sendiri. Bagaimana mungkin Gladys tidak merasa cemas saat Tatiana menantangnya untuk konfrontasi besok. Itu kan sama saja artinya dengan membuka kebenaran kalau pelakunya memang Darren. Atau jangan-jangan Gladys memang tidak tahu kalau yang menidurinya malam itu adalah Darren sehingga tetap menuduh Bian sampai sekarang.Bian mengusap mukanya. Satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah semoga saja Darren akan bicara jujur dan menyampaikan fakta yang sesungguhnya.Yang Bian coba yakini sekarang, keponakannya itu tidak mungkin akan berbuat yang macam-macam. Buktinya selama ini meskipun Bian sering merendahkan dan menyepelekannya, tapi Darren tidak pernah membalas dengan hal-hal yang akan merugikannya.Menemukan kembali ketenangan
Bian membuka mata saat aroma obat-obatan terhirup oleh hidungnya. Rumah sakit. Itu yang ada di pikirannya saat kesadaran kembali muncul.Semua yang terlihat di sekelilingnya masih samar-samar. Namun pelan-pelan kian jelas dan terang. Ada beberapa orang mengelilinginya yang sudah begitu familiar baginya.Mereka adalah keluarga dan orang terdekatnya. Ada jamie, Camila, Rei, serta Mario. Bian mengenali mereka semua. Tapi di mana Tatiana?Rona khawatir terlihat sangat kentara di muka Camila. Namun begitu melihat Bian sudah membuka mata, perempuan itu tampak sedikit lega. Dari tadi dia tidak melepaskan Bian dari genggaman tangannya. Meskipun mereka sering berselisih dan Bian kerap melawannya, tapi Camila lebih menyayangi anak sulungnya itu daripada anak keduanya.Bian memandang bergantian pada wajah-wajah penuh kecemasan yang mengelilinginya.Pelan-pelan Bian mulai mengurai memori. Semuanya membayang jelas di depan matanya kini. Kemarin malam, mereka keluar mencari mie ayam hingga sampai k
Bian dan Tatiana masih berdua di ruang rawat ketika Wiryawan masuk diikuti oleh Gladys, Amelia, dan terakhir Darren.Bian mengesah lelah. Pasti kedatangan mereka sesuai dengan rencana mereka kemarin yang akan konfrontasi dengan Darren hari ini.“Bian, sebelumnya Papa ikut sedih atas kejadian yang menimpa kamu dan Tia. Tapi seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, semua harus jelas, Papa mau selesai secepatnya.”“Pa, tapi kondisi Bian belum terlalu baik, apa nggak sebaiknya tunggu dulu sampai agak mendingan?” kata Tatiana meminta waktu.“Nggak bisa begitu, pokoknya semua harus clear sekarang. Aku nggak bisa menunggu lagi, anak ini keburu lahir,” timpal Gladys sambil memegang perutnya.“Ya udah, aku juga nggak mau lama-lama dalam kesalahpahaman ini. Sini kamu Ren, jelasin semua yang terjadi malam itu!” suruh Bian tegas. Bian juga merasa tidak nyaman dalam kondisi tersudut seperti ini.Darren yang berdiri di pojokan maju bebera
Bian mematung di tempatnya berdiri sambil memandangi Darren yang berjalan menjauh meninggalkannya. Seperti dihipnotis, Bian tidak mampu mengatakan apa pun. Kesombongannya runtuh sudah. Ternyata orang yang selama ini direndahkannyalah yang menghancurkan hidupnya.Sebentar, tunggu dulu! Masih ada CCTV dan tes DNA. Bian bukan orang bodoh yang mudah dibohongi. Logikanya segera bekerja. Detik berikutnya Bian sudah terhubung dengan Mario melalui sambungan seluler.“Kamu di mana, Yo?”“Lagi di kantin rumah sakit, Pak, baru mau makan.”“Ya udah, cepetan makan, setelah itu kamu datangi Peninsula hotel dan The Demon. Kamu minta rekaman CCTV tanggal 14 Juni.”“Siap, Pak.”“Kalau kamu lagi nggak pegang cash, kamu ambil dulu di ATM buat kasih mereka. Nanti aku ganti di rumah sekalian bonus buat kamu. Paham?”“Paham, Pak,” jawab Mario bersemangat mendengar Bian akan memberinya bonus.Membuang napas, Bian kembali berjalan ke ruang rawat. Di sana muka-muka dengan berbagai ekspresi tengah menunggunya.
Sorenya Bian dan Tatiana sudah diizinkan pulang. Awalnya dokter menahan mereka dan meminta bertahan sampai besok. Tapi Bian yang keras kepala bersikukuh untuk pulang hari itu juga. Bian merasa kondisinya sudah baikan. Berada lebih lama lagi di rumah sakit justru akan membuatnya bertambah sakit.“Mami masih nggak percaya dengan semua ini, Bi,” kata Camila yang duduk di jok depan. Di sampingnya Rei sedang fokus menyetir. Sedangkan Jamie sudah pergi duluan dengan mobil yang lain. Ada acara penting yang harus dihadirinya sore ini.“Nggak percaya apa lagi, Mi? Bukannya sudah aku jelaskan semua? Bukan aku yang melakukannya, tapi Darren,” sahut Bian dari belakang dengan suara keras. Lama-lama dia emosi juga pada Camila yang meragukannya.“Nggak bisa ya kamu ngomongnya baik-baik sama Mami? Mami ini orang tua kamu lho, Bi.”“Habisnya aku kesal Mami nyinyir kayak gitu.” Suara Bian mulai melunak. “Mami boleh aja suka sama Gladys, tapi Mami juga harus bisa menerima kebenaran. Gladys itu jahat, Mi
“Suntuk amat!” Lelaki muda kharismatik itu menyapa Bian lantas mendudukkan diri di hadapannya. Sudah sejak tadi Bian menunggunya setelah kemarin malam mereka berjanji akan bertemu hari ini. Sudah sesore ini tapi lelaki itu masih terlihat segar walau tidak lagi mengenakan pakaian kerja yang lengkap seperti biasa. Mungkin tadi dia sudah melepas jasnya dan meningggalkan di dalam mobil. Pun dengan dasinya yang tidak tersimpul di krah kemejanya seperti biasa. Saat ini lelaki itu hanya mengenakan kemeja hitam polos dengan lengan yang digulung hingga siku. Casual, tapi sedikit pun tidak mengurangi pesonanya. Gagah.Bian tersenyum kecut seraya memuji lelaki itu, berkebalikan dengan yang diucapkan lelaki itu padanya. “Kamu tambah segar, tambah gagah, tambah muda, dan pastinya makin ‘kuat’ kan?” Bian mengedipkan sebelah matanya menggoda.Mendengar kata-kata terakhir Bian, lelaki itu meledakkan tawa. Ucapan Bian mengingatkannya pada sang istri yang teramat sering memuji dengan mengatakannya se
Pagi ini Bian dan Tatiana sudah bersiap-siap akan pergi ke rumah sakit. Hari ini Bian akan menjalani tes DNA seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Bian merasa sedikit lega karena Kiano sudah menjamin semua akan baik-baik saja. Lama-lama dia mulai meragukan dirinya sendiri. Jangan-jangan dia lebih percaya pada Kiano daripada Tuhan.Sebelum proses itu dimulai, petugas kesehatan yang bersangkutan memberi mereka penjelasan dan arahan. Dokter mengatakan bahwa untuk janin dalam kandungan, tes DNA dilakukan dengan mengambil cairan amnion atau air ketuban melalui prosedur amniosentesis atau dengan chorionic villus sampling yang mengambil sampel jaringan plasenta. Namun, kedua jenis tes pada janin tersebut memiliki risiko membuat wanita hamil akan mengalami keguguran. Satu hal yang mengejutkan Bian dalam hal tersebut adalah saat dokter juga mengatakan bahwa tes DNA pada wanita hamil hanya bisa dilakukan saat usia kehamilan sudah mencapai tiga bulan.Sontak Bian memandang Gladys. Jika meng