Setelah Bian memerhatikan dari puncak kepala hingga ujung kaki, Bian pun yakin kalau sosok yang kini berdiri di hadapannya adalah manusia. Itu terbukti dari kakinya yang menapak ke lantai.Berulang-ulang Bian mengerjapkan mata demi meyakinkan diri. Dan ternyata hasilnya tetap sama. Dia masih melihat orang yang sama.“Santai saja, Bi, aku manusia bukan hantu. Jangan sok kaget kayak gitu.”“Mau apa kamu ke sini?” tanya Bian pada perempuan cantik yang kini berdiri di hadapannya. Dia adalah sang mantan kekasih yang sudah lama Bian tinggalkan dan lupakan.Gladys.“Boleh aku duduk dulu?” tanya Gladys sambil mendekat ke arah Bian.“Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku harus meeting,” ujar Bian berbohong.“Cuma sebentar, nggak akan lama.” Gladys lantas menarik kursi tanpa Bian persilakan. Perempuan itu menatap Bian lekat-lekat. “Bi, kamu tambah gagah dan awet muda,” pujinya kagum tanpa melepaskan matanya sedetik pun dari Bian.“Sudah, Dys, langsung saja, kamu mau apa sebenarnya?”
Tatiana sedang berada di toilet dan berkaca di cermin wastafel saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Refleks, Tatiana memandang ke arah pintu. Saat melihat Gladys yang muncul, Tatiana tersenyum ramah meskipun dia heran bagaimana bisa Gladys datang ke kantornya. Tapi menyaksikan Gladys berada di hadapannya sekarang, tidak mungkin kalau perempuan itu hanya kebetulan lewat di kantornya lalu mampir tiba-tiba. Pasti Gladys memang sengaja datang untuk menemuinya entah untuk tujuan apa.“Hai, Dys, tumben ke sini?” sapa Tatiana casual.Gladys mengabaikan sapaan hangat Tatiana. Matanya terarah pada perutnya yang sudah mulai membesar. Melihat Gladys yang tidak mengerjap menatapnya, Tatiana ikut memandang perutnya sendiri. Ada apa? Apa bajunya robek? Atau ada sesuatu yang aneh pada perutnya yang menarik perhatian Gladys?“Dys, ada apa?”Gladys pun memindahkan mata pada Tatiana yang bertanya padanya. Perempuan itu tersenyum sinis. “Itu anaknya Bian?” tanyanya menunjuk perut Tatiana dengan d
Bian merasakan ada yang berbeda dari Tatiana. Istrinya itu terlihat tidak biasa. Lebih banyak diam dan irit bicara. Kalau Bian tidak salah, mungkin sejak sore tadi, saat mereka sama-sama pulang dari kantor. Kalau biasanya mereka akan saling bermesraan di jok belakang, sedangkan Mario menyetir di depan, kali ini Tatiana terlihat sedikit dingin. Bukan mengabaikannya, tapi tidak terlalu meresponnya.Bian mengingat-ingat kesalahan apa rupanya yang sudah dia lakukan. Tapi sampai pikirannya buntu, Bian tidak menemukan apa pun. Dia merasa sikapnya masih semanis, sehangat, sebaik, serta selembut biasa pada Tatiana. Lalu, apa yang salah? Apa karena hormon kehamilan yang mengacaukan perasaannya makanya Tatiana bisa menjadi seperti ini?“Yang, ini susunya.” Bian meletakkan segelas susu hamil rasa coklat yang baru saja dia buat disamping istrinya itu.Tatiana menoleh sekilas, lantas mengangguk kecil. Perempuan itu kembali mengalihkan mata pada air berwarna biru di hadapannya. Saat itu keduanya me
Bian dan Tatiana baru saja selesai berenang. Sambil menyelam minum air. Satu pelepasan lagi terjadi hari ini. Cuma dengan cara biasa dan tanpa inovasi, hanya saja tempatnya menimbulkan sensasi yang berbeda bagi keduanya.“Kalau udah dekat-dekat sama kamu aku jadi lupa dunia,” ujar Bian sambil membelai lembut rambut Tatiana yang basah.Tatiana tersenyum tipis lantas melingkarkan kedua tangannya di leher Bian yang berbaring miring di sebelahnya.Keduanya kini saling bertatapan. Begitu intens dan mesra. Tatiana kini mulai merasakan ada yang berbeda setiap kali Bian menatapnya sedalam itu. Perasaan apa ini? Apa mungkin dia benar-benar sudah mencintai Bian?“Yang, janji ya, pokoknya apa pun yang terjadi kita akan selalu bersama. Aku nggak akan pergi ninggalin kamu. Semuanya demi kamu dan anak kita.” Tatapan Bian yang dalam menembus jauh tidak hanya ke dalam netra Tatiana, tapi juga ke relung hatinya.“Iya, janji. Demi anak kita,” balas Tatiana. Handphone Bian yang berdering nyaring mengej
Gladys dan Wiryawan sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang Bian belum bisa memejamkan matanya. Pertemuannya dengan ayah dan anak tadi membekas begitu jelas di kepalanya dan terasa begitu mengganggu sampai sekarang. Bian merasa heran sendiri. Bagaimana mungkin Gladys tidak merasa cemas saat Tatiana menantangnya untuk konfrontasi besok. Itu kan sama saja artinya dengan membuka kebenaran kalau pelakunya memang Darren. Atau jangan-jangan Gladys memang tidak tahu kalau yang menidurinya malam itu adalah Darren sehingga tetap menuduh Bian sampai sekarang.Bian mengusap mukanya. Satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah semoga saja Darren akan bicara jujur dan menyampaikan fakta yang sesungguhnya.Yang Bian coba yakini sekarang, keponakannya itu tidak mungkin akan berbuat yang macam-macam. Buktinya selama ini meskipun Bian sering merendahkan dan menyepelekannya, tapi Darren tidak pernah membalas dengan hal-hal yang akan merugikannya.Menemukan kembali ketenangan
Bian membuka mata saat aroma obat-obatan terhirup oleh hidungnya. Rumah sakit. Itu yang ada di pikirannya saat kesadaran kembali muncul.Semua yang terlihat di sekelilingnya masih samar-samar. Namun pelan-pelan kian jelas dan terang. Ada beberapa orang mengelilinginya yang sudah begitu familiar baginya.Mereka adalah keluarga dan orang terdekatnya. Ada jamie, Camila, Rei, serta Mario. Bian mengenali mereka semua. Tapi di mana Tatiana?Rona khawatir terlihat sangat kentara di muka Camila. Namun begitu melihat Bian sudah membuka mata, perempuan itu tampak sedikit lega. Dari tadi dia tidak melepaskan Bian dari genggaman tangannya. Meskipun mereka sering berselisih dan Bian kerap melawannya, tapi Camila lebih menyayangi anak sulungnya itu daripada anak keduanya.Bian memandang bergantian pada wajah-wajah penuh kecemasan yang mengelilinginya.Pelan-pelan Bian mulai mengurai memori. Semuanya membayang jelas di depan matanya kini. Kemarin malam, mereka keluar mencari mie ayam hingga sampai k
Bian dan Tatiana masih berdua di ruang rawat ketika Wiryawan masuk diikuti oleh Gladys, Amelia, dan terakhir Darren.Bian mengesah lelah. Pasti kedatangan mereka sesuai dengan rencana mereka kemarin yang akan konfrontasi dengan Darren hari ini.“Bian, sebelumnya Papa ikut sedih atas kejadian yang menimpa kamu dan Tia. Tapi seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, semua harus jelas, Papa mau selesai secepatnya.”“Pa, tapi kondisi Bian belum terlalu baik, apa nggak sebaiknya tunggu dulu sampai agak mendingan?” kata Tatiana meminta waktu.“Nggak bisa begitu, pokoknya semua harus clear sekarang. Aku nggak bisa menunggu lagi, anak ini keburu lahir,” timpal Gladys sambil memegang perutnya.“Ya udah, aku juga nggak mau lama-lama dalam kesalahpahaman ini. Sini kamu Ren, jelasin semua yang terjadi malam itu!” suruh Bian tegas. Bian juga merasa tidak nyaman dalam kondisi tersudut seperti ini.Darren yang berdiri di pojokan maju bebera
Bian mematung di tempatnya berdiri sambil memandangi Darren yang berjalan menjauh meninggalkannya. Seperti dihipnotis, Bian tidak mampu mengatakan apa pun. Kesombongannya runtuh sudah. Ternyata orang yang selama ini direndahkannyalah yang menghancurkan hidupnya.Sebentar, tunggu dulu! Masih ada CCTV dan tes DNA. Bian bukan orang bodoh yang mudah dibohongi. Logikanya segera bekerja. Detik berikutnya Bian sudah terhubung dengan Mario melalui sambungan seluler.“Kamu di mana, Yo?”“Lagi di kantin rumah sakit, Pak, baru mau makan.”“Ya udah, cepetan makan, setelah itu kamu datangi Peninsula hotel dan The Demon. Kamu minta rekaman CCTV tanggal 14 Juni.”“Siap, Pak.”“Kalau kamu lagi nggak pegang cash, kamu ambil dulu di ATM buat kasih mereka. Nanti aku ganti di rumah sekalian bonus buat kamu. Paham?”“Paham, Pak,” jawab Mario bersemangat mendengar Bian akan memberinya bonus.Membuang napas, Bian kembali berjalan ke ruang rawat. Di sana muka-muka dengan berbagai ekspresi tengah menunggunya.
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa