Sorenya Bian dan Tatiana sudah diizinkan pulang. Awalnya dokter menahan mereka dan meminta bertahan sampai besok. Tapi Bian yang keras kepala bersikukuh untuk pulang hari itu juga. Bian merasa kondisinya sudah baikan. Berada lebih lama lagi di rumah sakit justru akan membuatnya bertambah sakit.“Mami masih nggak percaya dengan semua ini, Bi,” kata Camila yang duduk di jok depan. Di sampingnya Rei sedang fokus menyetir. Sedangkan Jamie sudah pergi duluan dengan mobil yang lain. Ada acara penting yang harus dihadirinya sore ini.“Nggak percaya apa lagi, Mi? Bukannya sudah aku jelaskan semua? Bukan aku yang melakukannya, tapi Darren,” sahut Bian dari belakang dengan suara keras. Lama-lama dia emosi juga pada Camila yang meragukannya.“Nggak bisa ya kamu ngomongnya baik-baik sama Mami? Mami ini orang tua kamu lho, Bi.”“Habisnya aku kesal Mami nyinyir kayak gitu.” Suara Bian mulai melunak. “Mami boleh aja suka sama Gladys, tapi Mami juga harus bisa menerima kebenaran. Gladys itu jahat, Mi
“Suntuk amat!” Lelaki muda kharismatik itu menyapa Bian lantas mendudukkan diri di hadapannya. Sudah sejak tadi Bian menunggunya setelah kemarin malam mereka berjanji akan bertemu hari ini. Sudah sesore ini tapi lelaki itu masih terlihat segar walau tidak lagi mengenakan pakaian kerja yang lengkap seperti biasa. Mungkin tadi dia sudah melepas jasnya dan meningggalkan di dalam mobil. Pun dengan dasinya yang tidak tersimpul di krah kemejanya seperti biasa. Saat ini lelaki itu hanya mengenakan kemeja hitam polos dengan lengan yang digulung hingga siku. Casual, tapi sedikit pun tidak mengurangi pesonanya. Gagah.Bian tersenyum kecut seraya memuji lelaki itu, berkebalikan dengan yang diucapkan lelaki itu padanya. “Kamu tambah segar, tambah gagah, tambah muda, dan pastinya makin ‘kuat’ kan?” Bian mengedipkan sebelah matanya menggoda.Mendengar kata-kata terakhir Bian, lelaki itu meledakkan tawa. Ucapan Bian mengingatkannya pada sang istri yang teramat sering memuji dengan mengatakannya se
Pagi ini Bian dan Tatiana sudah bersiap-siap akan pergi ke rumah sakit. Hari ini Bian akan menjalani tes DNA seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Bian merasa sedikit lega karena Kiano sudah menjamin semua akan baik-baik saja. Lama-lama dia mulai meragukan dirinya sendiri. Jangan-jangan dia lebih percaya pada Kiano daripada Tuhan.Sebelum proses itu dimulai, petugas kesehatan yang bersangkutan memberi mereka penjelasan dan arahan. Dokter mengatakan bahwa untuk janin dalam kandungan, tes DNA dilakukan dengan mengambil cairan amnion atau air ketuban melalui prosedur amniosentesis atau dengan chorionic villus sampling yang mengambil sampel jaringan plasenta. Namun, kedua jenis tes pada janin tersebut memiliki risiko membuat wanita hamil akan mengalami keguguran. Satu hal yang mengejutkan Bian dalam hal tersebut adalah saat dokter juga mengatakan bahwa tes DNA pada wanita hamil hanya bisa dilakukan saat usia kehamilan sudah mencapai tiga bulan.Sontak Bian memandang Gladys. Jika meng
Rumah itu terlihat megah. Pilar-pilar penopangnya menimbulkan kesan angkuh. Pintu yang tertutup rapat seolah hanya ingin terbuka pada siapa yang dia inginkan. Mungkin rumah ini bukanlah tempat yang memberikan perasaan nyaman pada sebagian orang yang mendatanginya. Terkadang kemewahan memang mengintimidasi.Itulah yang dirasakan Tatiana dulu saat pertama kali datang ke rumah Bian. Saat itu mereka baru saja menikah. Canggung. Itu perasaannya dulu. Tapi kini rumah ini adalah tempat ternyamannya bersama seseorang yang mencintainya. Meskipun hingga detik ini Tatiana masih belum yakin kalau dia juga mencintai orang itu.Sepi. Tidak ada suara lain, kecuali denging ritmis yang berasal dari air conditioner yang menyala. Bunyinya tidaklah keras, tapi seperti mencengkramnya erat hingga tidak bisa bergerak. Ingatannya kembali memutar satu demi satu cerita kehidupannya. Apa pun yang dialaminya membuat Tatiana merasa kalau hidupnya berputar dengan terlalu cepat. Tatiana merasa dipermainkan nasib.
“Selamat ya, Pak Bian, kami semuanya ikut senang dan bangga atas pencapaian perusahaan Bapak.”Bian tersenyum. Antara senang dan bangga. Bagaimana tidak. Perusahaannya baru saja mendapatkan penghargaan keselamatan migas “Patra Nirbhaya Karya”, yang merupakan penghargaan yang diberikan sebagai bentuk apresiasi Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Migas terhadap komitmen KKKS dan BU dalam menjamin kelangsungan keselamatan kerja di kegiatan usaha migas.“Terima kasih.” Kalimat itu meluncur lancar dari mulut Bian menanggapi ucapan yang dilontarkan wartawan media online di hadapannya.“Apa rencana Pak Bian berikutnya? Apa ada ekspansi usaha?”“Sebagai pebisnis sukses apa Bapak tidak ingin mencoba mengembangkan usaha ke bidang lain?”“Sekali-kali boleh dong, Pak, keluar dari zona nyaman.”Satu demi satu Bian menjawab rentetan pertanyaan orang-orang yang mewawancarainya dengan hati-hati. Bian tidak ingin salah bicara dan terkes
Lima menit setelah percakapan singkatnya dengan Tatiana berakhir, Bian segera meninggalkan kantor. Lelaki itu ingin segera sampai di rumah. Kalau bisa rasanya Bian ingin terbang saja. Bukan karena chicken katsu-nya yang membuat Bian tidak tahan. Tapi sosok di belakang layarlah yang memanggil-manggilnya untuk datang.“Berhenti dulu di depan, Yo!” Bian memberi perintah pada Mario saat melihat plang dengan tulisan Garden Florist dengan rentang jarak beberapa meter di hadapan mereka.“Kita mau beli bunga dulu ya, Pak?” tanya mario bodoh.“Ya iyalah Mario, masa mau beli beras!”“Hehe…” Mario nyengir kuda. “Untuk Ibu Tia ya, Pak?” tanyanya lagi.“Memangnya kamu pikir untuk siapa? Untuk Bi Lina, begitu?”“Ya nggak sih, Pak. Tumben aja Bapak beli bunga. Biasanya kan Bapak beli bunga cuma buat Mbak Gladys doang.”Astaga! Kenapa Mario menyebut nama si yinying lagi? Padahal Bian sudah menghapus apa pun yang berhubungan dengan perempuan itu dari memorinya.“Kalau kamu masih betah bekerja denganku
Keduanya sudah selesai mandi dan berendam air hangat setelah penyatuan diri tadi. Kalau amoeba sukanya membelah diri, maka kedua pasangan muda ini hobinya menyatukan diri. Kalau tidak ingat Tatiana sedang hamil, mungkin Bian akan menyambung dengan episode kedua malam ini.“Bi, kita makan sekarang ya,” ajak Tatiana. Perutnya sudah lapar dan meminta asupan. Akhir-akhir ini Tatiana sering merasa kelaparan. Porsi makannya juga terus meningkat. Mungkin karena pengaruh dari usia kehamilannya yang terus bertambah.Bian menggandeng Tatiana ke ruang makan. Lina yang ada di sana segera pergi karena Bian menyuruhnya. Perempuan itu juga tahu diri. Mungkin majikannya butuh privasi.Tatiana menyendokkan nasi putih ke piring Bian. Seperti biasa, setiap kali makan, nasinya pasti sedikit dibanding dengan lauknya.“Gimana rasanya, Bi?” Tatiana menanyakan pendapat Bian begitu potongan kecil chicken katsu yang sudah dilumurinya dengan saus barbeque lolos masuk ke dalam perutnya.“Hmm… yummy!” Bian mengac
“Kamu serius?” Rei menatap Tatiana tanpa kedip saat dia manyatakan keinginannya untuk resign.“Iya, Rei, aku serius.” Tatiana menunjukkan muka bersungguh-sungguh di hadapan Rei.“Bian yang maksa?” Tatapan Rei semakin dalam di wajah Tatiana. Dia mencoba mencari kejujuran di wajah perempuan itu.“Memang Bian yang minta aku untuk resign, tapi dia nggak maksa kok,” jawab Tatiana tanpa bermaksud membela suaminya.Rei menghela napas. Dengan siku tertumpu di atas meja, lelaki itu mencubit-cubit dagunya. Jujur, Rei tidak ingin melepas Tatiana meskipun dia tahu suatu saat Tatiana pasti akan mengundurkan diri karena alasan kehamilannya. Tapi Rei tidak menyangka kalau akan secepat ini. Tadi Rei berpikir kalau Tatiana akan cuti (bukan resign) saat kehamilannya sudah mencapai tujuh atau delapan bulan, atau minimal enam bulan. Nyatanya dia salah. Tatiana bukan hanya cuti, tetapi langsung mengundurkan diri.“Rei…,” panggil Tatiana pada Rei yang termangu.“Eh, iya.” Rei buru-buru membetulkan posisi d