Keduanya sudah selesai mandi dan berendam air hangat setelah penyatuan diri tadi. Kalau amoeba sukanya membelah diri, maka kedua pasangan muda ini hobinya menyatukan diri. Kalau tidak ingat Tatiana sedang hamil, mungkin Bian akan menyambung dengan episode kedua malam ini.“Bi, kita makan sekarang ya,” ajak Tatiana. Perutnya sudah lapar dan meminta asupan. Akhir-akhir ini Tatiana sering merasa kelaparan. Porsi makannya juga terus meningkat. Mungkin karena pengaruh dari usia kehamilannya yang terus bertambah.Bian menggandeng Tatiana ke ruang makan. Lina yang ada di sana segera pergi karena Bian menyuruhnya. Perempuan itu juga tahu diri. Mungkin majikannya butuh privasi.Tatiana menyendokkan nasi putih ke piring Bian. Seperti biasa, setiap kali makan, nasinya pasti sedikit dibanding dengan lauknya.“Gimana rasanya, Bi?” Tatiana menanyakan pendapat Bian begitu potongan kecil chicken katsu yang sudah dilumurinya dengan saus barbeque lolos masuk ke dalam perutnya.“Hmm… yummy!” Bian mengac
“Kamu serius?” Rei menatap Tatiana tanpa kedip saat dia manyatakan keinginannya untuk resign.“Iya, Rei, aku serius.” Tatiana menunjukkan muka bersungguh-sungguh di hadapan Rei.“Bian yang maksa?” Tatapan Rei semakin dalam di wajah Tatiana. Dia mencoba mencari kejujuran di wajah perempuan itu.“Memang Bian yang minta aku untuk resign, tapi dia nggak maksa kok,” jawab Tatiana tanpa bermaksud membela suaminya.Rei menghela napas. Dengan siku tertumpu di atas meja, lelaki itu mencubit-cubit dagunya. Jujur, Rei tidak ingin melepas Tatiana meskipun dia tahu suatu saat Tatiana pasti akan mengundurkan diri karena alasan kehamilannya. Tapi Rei tidak menyangka kalau akan secepat ini. Tadi Rei berpikir kalau Tatiana akan cuti (bukan resign) saat kehamilannya sudah mencapai tujuh atau delapan bulan, atau minimal enam bulan. Nyatanya dia salah. Tatiana bukan hanya cuti, tetapi langsung mengundurkan diri.“Rei…,” panggil Tatiana pada Rei yang termangu.“Eh, iya.” Rei buru-buru membetulkan posisi d
“Spain? OMG!” Sepasang mata milik Sandra membesar dan melebar saat hari itu Tatiana datang berkunjung. Kakaknya itu bercerita padanya bahwa dia dan suaminya akan pergi babymoon sekaligus melaksanakan honeymoon mereka yang tertunda selama ini. “Aku kapan ya punya suami tajir, cakep, dan baik kayak Mas Bian?” tanya Sandra sambil berangan-angan sendiri.Tatiana tersenyum getir. Andai saja Sandra dan orang-orang tahu penderitaannya sebelum Bian berubah baik seperti sekarang. Tapi Tatiana pikir lebih baik hanya dirinya yang tahu. Orang lain cukup melihat mereka sebagai pasangan yang bahagia dan sempurna tanpa tahu cerita pahit di balik itu semua.“Iya, Tia, kamu beruntung. Kamu harus jaga Bian baik-baik ya… Kamu juga harus jadi yang terbaik buat dia.” Alya menimpali sambil mengusap punggung Tatiana.“Iya, Ma, aku akan berusaha,” janji Tatiana pada Alya, juga pada dirinya sendiri.Tatiana pulang dengan membawa sederet list oleh-oleh yang diinginkan Sand
Tatiana terpaku di tempatnya duduk. Di hadapannya Bian terlihat lesu dengan kepala setengah tertunduk.Tidak hanya Tatiana, Camila, Jamie, Rei, dan Hotma-pengacara Bian, juga berada di sana. Saat ini mereka sedang berada di kantor polisi tempat Bian ditahan. Setelah malam itu, Bian ditangkap karena dialah satu-satunya yang berada di sana.“Yang, aku nggak bersalah, demi Tuhan!” ucap Bian meyakinkan Tatiana. Matanya bergantian menatap orang-orang yang berada di sana. “Mi, Pi, Rei, Pak Hotma, aku nggak bersalah, bukan aku pelakunya, tapi Gladys.” Bian meyakinkan semua yang ada di sana bahwa dia tidak terlibat sama sekali. “Bukan aku yang membunuh Darren, tapi Gladys yang membunuhnya dan kebetulan aku sedang berada di sana.”Tidak ada yang bersuara. Masalah Bian terlalu berat. Mereka semua juga shock mengetahui Darren meninggal dan Bian berada di dekatnya sambil memegang pisau yang berlumuran darah. Sekuat apa pun Bian membantah, tapi alibinya terpatahkan oleh ba
Tatiana memandang dua koper besar yang tergeletak pasrah di sudut kamar. Satu punyanya dan sebuah lagi milik Bian. Keduanya berisi pakaian mereka masing-masing. Masih terngiang di telinga Tatiana dan terbayang di matanya saat Bian dengan begitu menggebu-gebu mengajaknya honeymoon. Tapi sekarang rencana tinggal rencana yang tenggelam dan mengendap dalam angan-angan. Seharusnya saat ini mereka sedang bersenang-senang, nyatanya saat ini dia dan suaminya terpisah di tempat yang berbeda. Meskipun dirinya berada di rumah yang mewah bagaikan istana, tapi Tatiana merasa hatinya ikut terpenjara bersama Bian di balik sel berjeruji besiSemua terjadi begitu cepat. Tanpa terasa hari ini adalah persidangan terakhir Bian. Hakim akan membacakan keputusannya serta vonis untuk Bian. Meskipun Camila sudah menyiapkan tim pengacara yang handal, tapi sejauh ini Bian tetap berada pada posisi yang tidak diuntungkan karena sidik jarinya jelas-jelas menempel pada barang bukti yang tidak bisa dihilangkan.Pe
“Silakan tunggu di sini dulu, Bu.” Tatiana mengangguk singkat pada petugas rumah tahanan yang dia kunjungi. Dalam diam, Tatiana melamun sendiri. Ini baru hari kedua setelah kemarin Bian resmi dihukum dan dijebloskan ke dalam tahanan. Tapi Tatiana merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Tidak ada lagi Bian yang memeluknya saat tidur dan mengusap-usap perutnya. Hari-harinya kembali sepi. Malam-malamnya kembali dingin. Ternyata dirinya betul-betul membutuhkan Bian. Sepasang mata Tatiana menangkap sosok lelaki berbaju tahanan berwarna biru dongker berjalan mendekat ke arahnya. Itu Bian, suaminya.Lelaki itu tampak ringkih dalam langkahnya yang tertatih. Baru beberapa waktu, tapi perubahan fisik Bian terlihat begitu kentara. Badannya tidak lagi setegap dulu. Tatapannya sendu dan sayu. Sorot matanya yang kosong sangat jauh dari masa depannya yang sepertinya akan suram.“Yang…!” Bian mengembangkan senyum saat jaraknya sudah semakin dekat dengan Tatiana. Lelaki itu mencoba menyembunyikan per
Tatiana sedang berada di kamar saat terdengar ketukan di depan pintu. Perempuan yang sedang berbadan dua itu melangkah pelan untuk membukanya.Seraut wajah milik Lina pun menyembul begitu daun pintu terbuka. “Bu Tia, ada Pak Rei di depan,” katanya memberitahu.“Rei?” ulang Tatiana meyakinkan pendengarannya sendiri.“Iya, Bu Tia.”Tia mengangguk. “Baik, Bi Lina, saya akan menemuinya.”Bergerak ke ruang tamu, Tatiana melihat Rei yang duduk di sofa menunggunya. Lelaki itu sudah menanggalkan setelan formalnya. Tidak ada lagi jas resmi yang melapisi tubuhnya. Hanya tersisa kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Seutas dasi terlihat sedikit menyembul dari balik saku yang berada tepat di bagian dada. Tatiana tertegun. Penampilan Rei sore itu mengingatkannya pada gaya Bian berpakaian.“Hai, Rei!” sapa Tatiana setelah sepersekian detik membengong. Perempuan itu kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan Rei.“Aku nggak mengganggu kamu kan?” Rei bertanya seraya mengamati muka
Tatiana bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidurnya. Jam di dinding merujuk pada pukul satu malam lewat dua puluh menit. Tapi sampai selarut ini sedikit pun matanya tidak bisa terpejam meski Tatiana sudah berusaha memicingkannya.Tatiana sudah mengganti berbagai posisi. Mulai dari telentang menghadap langit-langit kamar. Berbaring miring ke kiri, ke kanan, bahkan sampai dengan meninggikan bantalnya. Tapi hasilnya sama saja.Beberapa kali kelopak matanya tertutup. Tatiana berharap akan sesegera tertidur. Mungkin matanya memang terpejam sesaat, tapi pikirannya berkeliaran.Sedang apa Bian di sana? Apa malam ini dia bisa tidur? Selama ini Bian sudah terbiasa hidup senang dan penuh kemewahan. Lalu bagaimana bisa dia menjalani perubahan yang teramat kontras ini?Berbagai pikiran mengenai Bian terus mengganggu Tatiana sampai pagi. Sehingga hari ini dia pun bangun saat matahari sudah berada di puncak kepala.“Jadi begini kelakuan kamu kalau tidak ada Bian? Jam segini baru bangun? Astaga!”