“Silakan tunggu di sini dulu, Bu.” Tatiana mengangguk singkat pada petugas rumah tahanan yang dia kunjungi. Dalam diam, Tatiana melamun sendiri. Ini baru hari kedua setelah kemarin Bian resmi dihukum dan dijebloskan ke dalam tahanan. Tapi Tatiana merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Tidak ada lagi Bian yang memeluknya saat tidur dan mengusap-usap perutnya. Hari-harinya kembali sepi. Malam-malamnya kembali dingin. Ternyata dirinya betul-betul membutuhkan Bian. Sepasang mata Tatiana menangkap sosok lelaki berbaju tahanan berwarna biru dongker berjalan mendekat ke arahnya. Itu Bian, suaminya.Lelaki itu tampak ringkih dalam langkahnya yang tertatih. Baru beberapa waktu, tapi perubahan fisik Bian terlihat begitu kentara. Badannya tidak lagi setegap dulu. Tatapannya sendu dan sayu. Sorot matanya yang kosong sangat jauh dari masa depannya yang sepertinya akan suram.“Yang…!” Bian mengembangkan senyum saat jaraknya sudah semakin dekat dengan Tatiana. Lelaki itu mencoba menyembunyikan per
Tatiana sedang berada di kamar saat terdengar ketukan di depan pintu. Perempuan yang sedang berbadan dua itu melangkah pelan untuk membukanya.Seraut wajah milik Lina pun menyembul begitu daun pintu terbuka. “Bu Tia, ada Pak Rei di depan,” katanya memberitahu.“Rei?” ulang Tatiana meyakinkan pendengarannya sendiri.“Iya, Bu Tia.”Tia mengangguk. “Baik, Bi Lina, saya akan menemuinya.”Bergerak ke ruang tamu, Tatiana melihat Rei yang duduk di sofa menunggunya. Lelaki itu sudah menanggalkan setelan formalnya. Tidak ada lagi jas resmi yang melapisi tubuhnya. Hanya tersisa kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Seutas dasi terlihat sedikit menyembul dari balik saku yang berada tepat di bagian dada. Tatiana tertegun. Penampilan Rei sore itu mengingatkannya pada gaya Bian berpakaian.“Hai, Rei!” sapa Tatiana setelah sepersekian detik membengong. Perempuan itu kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan Rei.“Aku nggak mengganggu kamu kan?” Rei bertanya seraya mengamati muka
Tatiana bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidurnya. Jam di dinding merujuk pada pukul satu malam lewat dua puluh menit. Tapi sampai selarut ini sedikit pun matanya tidak bisa terpejam meski Tatiana sudah berusaha memicingkannya.Tatiana sudah mengganti berbagai posisi. Mulai dari telentang menghadap langit-langit kamar. Berbaring miring ke kiri, ke kanan, bahkan sampai dengan meninggikan bantalnya. Tapi hasilnya sama saja.Beberapa kali kelopak matanya tertutup. Tatiana berharap akan sesegera tertidur. Mungkin matanya memang terpejam sesaat, tapi pikirannya berkeliaran.Sedang apa Bian di sana? Apa malam ini dia bisa tidur? Selama ini Bian sudah terbiasa hidup senang dan penuh kemewahan. Lalu bagaimana bisa dia menjalani perubahan yang teramat kontras ini?Berbagai pikiran mengenai Bian terus mengganggu Tatiana sampai pagi. Sehingga hari ini dia pun bangun saat matahari sudah berada di puncak kepala.“Jadi begini kelakuan kamu kalau tidak ada Bian? Jam segini baru bangun? Astaga!”
Berita tentang Bian menyebar cepat ke mana-mana. Orang-orang yang dulu menghormati dan menghargai Bian berbalik mencaci dan tidak berempati.Dan ternyata tidak hanya pada kehidupan sosial. Kasus yang menimpanya juga berimbas pada usaha yang sudah dirintisnya bertahun-tahun. Banyak yang membatalkan kerja sama dengan perusahaan Bian. Bahkan Fortune Corp harus kehilangan sejumlah proyek besar yang mengakibatkannya menanggung kerugian yang tidak sedikit.Terlepas dari posisinya sebagai istri, Tatiana merasa kasihan pada Bian. Tatiana melupakan ‘catatan kriminal’ Bian padanya dulu. Semua rasa sakit yang ditorehkan Bian sudah hilang tak bersisa.Yang Tatina dengar, Camila sudah mengambil alih perusahaan dan menggantikan posisi Bian entah sampai kapan. Mungkin sampai dia mendapat seseorang yang dirasanya cocok dan pantas untuk menggantikan Bian.“Fortune sudah kehilangan semua proyek. Hanya ada satu proyek yang masih on going dan itu pun akan selesai akhir bulan ini.” Rei memberitahu pada T
Setelah mendapatkan alamat dokter Feli, Rei dan Tatiana pun meninggalkan rumah sakit jiwa dan segera mencari alamat dimaksud. “Rei, kamu yakin dokter Feli bisa membantu kita?” Tatiana merasa ragu. Setahunya, pasti informasi yang berkaitan dengan kondisi pasien sangat dirahasiakan dan tidak boleh diumbar begitu saja.“Yakin nggak yakin sih. Yang penting kita usaha dulu kan?”“Iya sih.”“Jadi serius nih kamu akan mengalah dan kasih Bian ke Gladys?” Rei menguji Tatiana dan mengingatkan pada kata-katanya tadi.Tatiana mengembuskan napas. “Entahlah, Rei. Kalau Gladysnya kayak gini aku rasa semua jadi semakin sulit. Bukannya orang yang terganggu jiwanya kebal hukum?”‘’Kayaknya. Menurutku, itu artinya Tuhan nggak kasih izin kamu buat pisah sama Bian. Jangan mikir yang aneh-aneh lagi,” ujar Rei menasihati.“Iya.”“Menurut kamu kira-kira dokternya gimana?”“Hmm…, udah tua mungkin ya? Mungkin seumur mami, pakai kacamata tebal dan penampilannya old school,” jawab Tatiana membayangkan sosok dok
Peristiwa kebakaran yang melanda lapas diduga karena adanya unsur kesengajaan. Api disinyalir berasal dari salah satu kamar. Awalnya bermula dari adu mulut sesama penghuni lapas sehingga menimbulkan kerusuhan dan akhirnya terjadilah peristiwa kebakaran itu.Dari kejadian itu diketahui ada dua orang korban jiwa dan beberapa orang terluka. Tidak hanya para tahanan, tapi juga petugas lapas yang menjadi korban. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, dua puluh lima orang narapidana diduga kabur. Termasuk Bian.“Dari dulu sampai sekarang kerjanya hanya bisa mencari masalah. Ini semua karena didikan kamu,” tuding Jamie pada Camila.“Lho, kenapa Mami yang Papi salahkan? Justru ini kesempatan Bian untuk bebas, Pi. Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk orang yang terzalimi seperti Bian,” sahut Camila sewot. Perempuan itu melipat tangan di dada dan mengerucutkan mulutnya.“Jalan dari tuhan apa, Mi? Justru ini masalah besar buat Bian. Dia akan jadi buronan. Padahal kita baru saja akan proses banding,
Alya terkejut saat malam itu Tatiana datang dengan membawa koper besar serta barang-barangnya yang lain. Tidak seperti biasa. Tidak ada Mario yang mengantarnya. Tatiana datang menggunakan taksi. Sendiri dengan perut besarnya.“Tia, kamu--““Ya, Ma, aku pulang, mulai malam ini aku tinggal di sini lagi ya, Ma, boleh kan?”“Tentu saja boleh. Ini kan rumah kamu,” sahut Alya menepis perasaan tidak enak Tatiana. Alya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dia tidak ingin banyak bicara dulu. Nanti Tatiana pasti akan menjelaskan padanya. Cepat atau lambat.Masuk ke dalam kamar, Tatiana duduk di tepi ranjang seraya merentangkan tangan. Perempuan itu menghela napas dalam-dalam kemudian melepaskannya perlahan. Setelahnya Tatiana merasa begitu ringan. Seperti baru saja lepas dari beban yang sangat berat.“Kakak!” Seruan Sandra menyiratkan tanda tanya besar kenapa Tatiana berada di rumahnya.“Ra, duduk di sini dulu!” Tatiana menyuruh adiknya yang berdiri di sisi pintu agar mendekat. Dia akan menjelaska
“Aku nggak ngerti apa yang ada di kepala Mami. Tega-teganya Mami mengusir Tatiana dari rumahnya sendiri,” cecar Rei pada Camila. Setelah pulang dari resto Alya, Rei langsung menuju rumah orang tuanya. Saat ini dia sudah berhadapan langsung dengan Camila yang karakternya mirip dengan Bian.“Kamu kenapa sih, Rei? Datang-datang langsung marah nggak jelas?” balas Camila yang tidak diterima dimarahi begitu saja.“Mi, aku udah ketemu sama Tia. Dia udah cerita semuanya tentang rencana Mami mau menjual rumah Bian. Aku nggak setuju, Mi!” tolak Rei terang-terangan.Oh, ternyata itu masalahnya. Camila mengerti sekarang. Perempuan itu mengambil cangkir teh hijau di atas meja, lantas menyesapnya pelan-pelan. Dari balik cangkirnya, Camila mengintip Rei yang seperti sedang mengawasinya.“Memangnya salah kalau rumah itu dijual? Lagian Bian udah nggak ada, jadi apa lagi gunanya rumah itu?” sahut Camila ringan dan tanpa beban setelah meletakkan cangkir tehnya di atas meja.“Mami kok ngomongnya kayak gi