“Aku nggak ngerti apa yang ada di kepala Mami. Tega-teganya Mami mengusir Tatiana dari rumahnya sendiri,” cecar Rei pada Camila. Setelah pulang dari resto Alya, Rei langsung menuju rumah orang tuanya. Saat ini dia sudah berhadapan langsung dengan Camila yang karakternya mirip dengan Bian.“Kamu kenapa sih, Rei? Datang-datang langsung marah nggak jelas?” balas Camila yang tidak diterima dimarahi begitu saja.“Mi, aku udah ketemu sama Tia. Dia udah cerita semuanya tentang rencana Mami mau menjual rumah Bian. Aku nggak setuju, Mi!” tolak Rei terang-terangan.Oh, ternyata itu masalahnya. Camila mengerti sekarang. Perempuan itu mengambil cangkir teh hijau di atas meja, lantas menyesapnya pelan-pelan. Dari balik cangkirnya, Camila mengintip Rei yang seperti sedang mengawasinya.“Memangnya salah kalau rumah itu dijual? Lagian Bian udah nggak ada, jadi apa lagi gunanya rumah itu?” sahut Camila ringan dan tanpa beban setelah meletakkan cangkir tehnya di atas meja.“Mami kok ngomongnya kayak gi
Selesai sarapan, Rei dan Tatiana berangkat ke kantor. Tatiana tahu tidak mungkin setiap hari nebeng bareng Rei. Cukup sekali ini saja. Selain tidak enak, rumah Rei dan rumahnya juga berlawanan arah. Pastin dia akan membuat Rei repot. Belum lagi Rei pasti juga harus mengantar Lala ke sekolah.“Mikirin apa, Tia?” tanya Rei yang sedang menyetir melirik Tatiana.“Rei, mulai besok kamu nggak usah jemput aku lagi.”“Kenapa?” Sebelah alis Rei terangkat naik. Dia pikir tidak masalah harus mengantar jemput Tatiana setiap hari. Dia sama sekali tidak keberatan.“Rumah kamu kan jauh dari rumahku. Aku bisa naik taksi.”“Kalau aku bisa antar jemput kamu, kenapa harus naik taksi?” tukas Rei tidak setuju. Dia tidak akan senang melihat Tatiana kesusahan sendiri ke mana-mana membawa perut besarnya.“Masalahnya bukan itu, Rei, tapi--““Tapi apa?” Rei lekas memotong sebelum Tatiana menuntaskan kalimatnya.“Aku nggak mau ngerepotin kamu.”“Aku nggak repot kok.”“Tapi aku ngerasa nggak enak.” Tatiana teru
“Beneran deh, Rei, dia mirip Bian banget,” ujar Tatiana menceritakannya pada Rei setelah mereka berada di mobil. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan ke kantor Rei.“Iya, orang yang mirip memang banyak di dunia ini, apalagi kalau hanya dilihat dari belakang,” kata Rei menimpali.“Rei, kira-kira Bian di mana ya sekarang?” tanya Tatiana pada Rei. Pandangannya lurus ke depan dan menerawang jauh.“Aku juga nggak tahu, tapi aku yakin Bian berada di tempat yang aman. Kamu nggak usah mikirin Bian lagi ya. Aku nggak mau kamu sampai stres yang berakibat buruk pada kandungan kamu,” kata Rei menasihati.Tatiana mengusap perutnya. ‘Gimana aku nggak mikirin Bian? Dia bapak anak ini,’ ucapnya di dalam hati. Lain halnya kalau Tatiana tidak mengandung anak Bian. Mungkin dia tidak perlu repot-repot memikirkan lelaki itu dan mengabaikannya begitu saja.Tiba di kantor, Franda tampak terkejut melihat kehadiran Tatiana. Hal itu tidak bisa dia sembunyikan dari mukanya.“Pagi, Franda. Apa kabar?” Tatia
Bulan sembilan kehamilan.Tatiana mulai merasa sakit-sakitan. Perutnya yang semakin berat membuatnya susah bergerak. Punggung dan pinggangnya juga kompak tidak mau diajak berkompromi. Terlebih saat tengah malam. Bahkan sekarang Tatiana juga mulai susah tidur. Posisi apa pun tidak ada yang enak baginya.Seperti malam ini, Tatiana tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah berkali-kali mengganti posisi. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, serta menelentang. Tapi tidak bertahan lama, karena posisi telentang membuat napas dan dadanya sesak.Dari tadi dengan sabar Sandra mengusap-usap punggung Tatiana. Sesekali juga mengipasi kakaknya itu. Meski AC sudah menyala dengan suhu paling rendah sekali pun, namun Tatiana masih merasa kepanasan.“Gimana, Kak, masih sakit?” tanya Sandra yang terus mengusap-usap punggung Tatiana.“lya, sakit banget…” Tatiana menjawab lirih. Suaranya tenggelam oleh rasa sakit yang dirasakannya. “Apa aku panggil mama
PLAAAK!!! PLAAAK!!!Dua kali tamparan bolak-balik mendarat mulus di pipi Darren. Darren yang sedang memeluk Kiara yang tengah menangis sontak melepaskan dekapannya dari perempuan itu saat Tatiana—sang kekasih sekaligus calon istrinya muncul tiba-tiba entah dari mana.“Tia! Apa-apaan kamu?” tanya Darren kaget sambil memegang pipinya yang perih akibat stempel jari-jari yang dilayangkan Tatiana ke mukanya."Apanya yang apa-apaan?" balas Tatiana seraya memandang tajam pada Darren dengan sepasang mata bulatnya. "Tega kamu ya, Ren! Kita udah mau nikah dan tinggal selangkah lagi, tapi kamu berani-beraninya main di belakangku."“Tia, kamu dengar aku dulu, aku nggak main belakang, aku—““Sudahlah, Ren! Aku paham sekarang. Jadi ini alasannya nama aku sudah diganti dengan nama orang lain di buku WO itu?”“Tia, ini nggak seperti yang kamu bayangkan, aku bisa jelasin semuanya.” Darren berusaha menggapai tangan Tatiana dan menepis tangan Kiara yang sejak tadi bergelayut manja di lengannya.“Lepask
What a awkward wedding!Pikiran itu yang melintas di benak Tatiana saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekor sedemikian lupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Bian ada di sana. Termasuk orang tuanya. Bian bilang mereka sedang berada di luar negeri. Tapi kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sesakral seperti pernikahan? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Bian dan Tatiana. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tatiana merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Bian yang mengait lengannya.
“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.“Ada apa, Bi?” “Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”“Madrid?”“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har