Bulan sembilan kehamilan.Tatiana mulai merasa sakit-sakitan. Perutnya yang semakin berat membuatnya susah bergerak. Punggung dan pinggangnya juga kompak tidak mau diajak berkompromi. Terlebih saat tengah malam. Bahkan sekarang Tatiana juga mulai susah tidur. Posisi apa pun tidak ada yang enak baginya.Seperti malam ini, Tatiana tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah berkali-kali mengganti posisi. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, serta menelentang. Tapi tidak bertahan lama, karena posisi telentang membuat napas dan dadanya sesak.Dari tadi dengan sabar Sandra mengusap-usap punggung Tatiana. Sesekali juga mengipasi kakaknya itu. Meski AC sudah menyala dengan suhu paling rendah sekali pun, namun Tatiana masih merasa kepanasan.“Gimana, Kak, masih sakit?” tanya Sandra yang terus mengusap-usap punggung Tatiana.“lya, sakit banget…” Tatiana menjawab lirih. Suaranya tenggelam oleh rasa sakit yang dirasakannya. “Apa aku panggil mama
Tatiana masih berada di pangkuan Rei sambil menahan sakitnya sendiri. Sementara Rei mengendara pelan di tengah-tengah kemacetan. Andai saja bisa Rei ingin membawa Tatiana terbang agar sampai di rumah sakit. Rasa cemas, khawatir, panik, serta frustasi semakin menjadi saat Tatiana terus merintih dan menggumamkan nama Bian.“Tia yang kuat ya. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Rei meskipun tidak yakin dengan kata-katanya sendiri.Tatiana mensugesti dirinya. Dia tidak boleh melahirkan di jalan. Dia harus sampai dulu ke rumah sakit.Mengusap perutnya, Tatiana mengajak calon anak yang berada dalam kandungannya berbicara.“Angel, kita kerjasama ya, nak… Kamu jangan keluar dulu sebelum sampai di rumah sakit.”Tatiana terus mensugesti diri dan calon anaknya berulang-ulang. Rasa sakit yang tadi tak tertahankan tertelan oleh kesedihannya.Tuhan masih menyayangi Tatiana. Perempuan itu mampu bertahan hingga sampai di rumah sakit.Perawat yang menyambut mereka langsung membawanya dengan brankar untuk
Tatiana menatap lekat-lekat bayi mungil dalam dekapannya. Dia baru saja selesai menyusuinya. Ada perasaan yang tidak bisa Tatiana jabarkan dengan kata-kata saat melihat anak itu menempel di dadanya dan melihat mulut mungilnya bergerak-gerak.“Astaga, Kak Tia! Matanya juga coklat kayak Mas Bian.” Sandra menyeletuk begitu melihat Angelica membuka matanya.“Ssstt! Suara kamu pelankan sedikit, jangan terlalu keras.” Tatiana menempelkan telunjuk di bibir agar Sandra menjaga suaranya.“Kak, matanya Angel mirip banget sama mata Mas Bian.” Sandra mengulang kata-katanya. Kali ini dengan suara yang jauh lebih pelan, cenderung berbisik.Tatiana ikut memerhatikan mata putri kecilnya. Maniknya berwarna coklat, sama persis seperti mata Bian. Tidak hanya itu, sama seperti yang Alya katakan, hidung dan bibirnya juga kopian Bian banget. Mengingat semua itu, Tatiana merasa dadanya sesak. Di mana Bian sekarang? Apa dia tahu kalau anaknya sudah lahir?“Kalau suatu saat Bian datang, dia nggak akan bisa me
Tatiana menggendong Angelica keluar dari mobil. Hari ini dia sudah pulang dari rumah sakit. Rei yang mengantar. Sebenarnya Tatiana sudah menolak. Selama ini terlalu banyak bantuan Rei untuknya dan keluarganya, tapi Rei tetap bersikukuh untuk mengantarnya pulang. Rei merasa Bian sudah menitipkan Tatiana padanya sehingga dia harus menjaga dan melaksanakan amanat yang dititipkan padanya dengan baik.Ini adalah titik nadir dalam hidupnya. Tatiana pernah melalui hari yang sangat buruk, tetapi saat itu dia masih berdiri di atas kedua kakinya. Namun sekarang keadaannya berbeda. Dia akan bergantung pada orang-orang di sekitarnya. Terutama ibu dan adiknya, karena sekarang Tatiana tidak lagi bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tapi juga kepada putri yang baru saja dia lahirkan. Dan tentu saja Tatiana tidak bisa sendiri. Dia butuh orang lain untuk menjaga anaknya saat dia bekerja misalnya.“Kalau begitu aku langsung pulang ya?” ucap Rei setelah membantu menurunkan barang-barang Tatiana dari
“Amy…!”Suara merdu itu berseru saat melihat seorang perempuan berparas ayu dengan rambut sebahu berjalan mendekat. Stiletto Jimmy Choo-nya membuat kakinya yang panjang semakin jenjang. Perempuan itu melangkah anggun. Angin yang bertiup semilir menggoyangkan ujung rambut hitamnya.Di bahunya tersampir tas branded keluaran terbaru. Tidak hanya tas, apapun yang melekat pada tubuhnya kini merupakan barang-barang bermerek dan limited edition. Mulai dari ujung kaki hingga puncak kepala.Lima tahun yang lalu dia bukanlah apa-apa. Dia hanya seorang perempuan sederhana. Tapi siapa sangka saat itu adalah titik balik dalam hidupnya. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dia miliki dan bantuan seseorang dia mencoba bangkit hingga akhirnya bisa menjadi seperti sekarang.“Maaf ibu Tia, apa kita bisa bicara sebentar?” Belum sempat perempuan yang adalah Tatiana itu mencapai anak perempuan yang tadi memanggilnya, seorang perempuan dewasa sudah menyapanya.“Iya, Bu Rini, ada apa?”Perempuan bernama Rini itu
“Aku penasaran sama anak itu. Dia selalu mencari gara-gara dan masalah dengan Angel,” gerutu Tatiana kesal saat menceritakan kejadian di sekolah Angel tadi pada Rei.“Dia bilang apa lagi memangnya?” tanya Rei menimpali. Saat itu mereka sedang makan siang bersama di resto di dekat La Hija, nama department store milik Tatiana. Kalau Angelica adalah nama brand fashionnya, maka nama depan anaknya itu adalah nama tempat operasionalnya.“Dia bilang Angel anak pembunuh. Aku nggak ngerti gimana cara orang tuanya mendidik anak itu. Atau jangan-jangan dia nggak pernah dididik?” “Sudahlah, Tia, nggak usah diambil hati, siapa tahu dia anak broken home,” ucap Rei bijak.“Bisa jadi sih. Kata guru Angel tadi, dia tinggal sama kakek neneknya. Yang mengantarnya ke sekolah juga pembantu, bukan keluarganya.” Tatiana mengutip kata-kata Rini.“Orang tuanya mana?”“Itu dia aku nggak tahu. Kali aja udah meninggal.”“Nah, kan. Atau jangan-jangan orang tuanya sudah cerai makanya dia bisa jadi kayak gitu. Kam
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua malam, tapi sepicing pun Tatiana belum bisa memejamkan mata. Pikirannya terganggu oleh lamaran Rei tadi siang. Hingga detik ini Tatiana belum bisa memercayai fakta bahwa adik iparnya sendiri menaruh perasaan padanya. Jadi Rei menyimpan rasa cinta padanya selama bertahun-tahun?Ya Tuhan… Sangat sulit dipercaya. Serapi itu Rei menyembunyikannya sehingga Tatiana tidak bisa mendeteksinya sama sekali. Apa karena perasaannya yang kurang peka?Tatiana membolak-balikkan badannya dengan gelisah di tempat tidur. Di sebelahnya, sang putri sudah pulas sejak tadi. Tatiana memandangnya penuh kasih sayang. Semakin hari Angelica kian menunjukkan kemiripan dengan Bian. Matanya, hidungnya, bibirnya, hingga bentuk jidatnya sekali pun. Tidak hanya fisik, tapi juga karakternya. Tatiana sempat khawatir kalau Angel membawa sifat-sifat Bian hingga dewasa.‘Kamu di mana, Bi? Anak kamu sudah besar. Dia selalu penasaran dan ingin tahu kamu ada di mana, tapi
Siang itu seperti biasa Tatiana menjemput Angel di sekolahnya. Meski Sesibuk apa pun tapi Tatiana selalu menyempatkan diri menjemputnya langsung. Tapi kadang kalau benar-benar tidak bisa Tatiana akan meminta bantuan Rei atau Sandra.Dari jauh Tatiana melihat Angel yang berjalan ke arahnya dengan muka cemberut dan mulut mengerucut. Melihat ekspresinya, Tatiana tahu telah terjadi sesuatu pada anaknya itu. Tak jauh di belakangnya, Rini berjalan terburu-buru mengikutinya.“Anak Amy kok cemberut gitu, ada apa sih?” Tatiana bertanya begitu Angel sudah berada di dekatnya.Angel tidak menjawab. Anak itu melipat tangan di dada. Bibirnya semakin meruncing. Tatiana pun menjadi paham, pasti Angel berkelahi dengan teman sekolahnya. Jangan-jangan dia dibully lagi seperti yang sudah-sudah.“Bu Tia, maaf Bu, Angel berulah lagi. Tadi dia menumpahkan cat minyak di baju Dylan.” Rini buru-buru memberi penjelasan sebelum Tatiana sempat bertanya.“Dylan bilang aku anak pembunuh, My! Aku bukan anak pembun