Setelah mendapatkan alamat dokter Feli, Rei dan Tatiana pun meninggalkan rumah sakit jiwa dan segera mencari alamat dimaksud. “Rei, kamu yakin dokter Feli bisa membantu kita?” Tatiana merasa ragu. Setahunya, pasti informasi yang berkaitan dengan kondisi pasien sangat dirahasiakan dan tidak boleh diumbar begitu saja.“Yakin nggak yakin sih. Yang penting kita usaha dulu kan?”“Iya sih.”“Jadi serius nih kamu akan mengalah dan kasih Bian ke Gladys?” Rei menguji Tatiana dan mengingatkan pada kata-katanya tadi.Tatiana mengembuskan napas. “Entahlah, Rei. Kalau Gladysnya kayak gini aku rasa semua jadi semakin sulit. Bukannya orang yang terganggu jiwanya kebal hukum?”‘’Kayaknya. Menurutku, itu artinya Tuhan nggak kasih izin kamu buat pisah sama Bian. Jangan mikir yang aneh-aneh lagi,” ujar Rei menasihati.“Iya.”“Menurut kamu kira-kira dokternya gimana?”“Hmm…, udah tua mungkin ya? Mungkin seumur mami, pakai kacamata tebal dan penampilannya old school,” jawab Tatiana membayangkan sosok dok
Peristiwa kebakaran yang melanda lapas diduga karena adanya unsur kesengajaan. Api disinyalir berasal dari salah satu kamar. Awalnya bermula dari adu mulut sesama penghuni lapas sehingga menimbulkan kerusuhan dan akhirnya terjadilah peristiwa kebakaran itu.Dari kejadian itu diketahui ada dua orang korban jiwa dan beberapa orang terluka. Tidak hanya para tahanan, tapi juga petugas lapas yang menjadi korban. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, dua puluh lima orang narapidana diduga kabur. Termasuk Bian.“Dari dulu sampai sekarang kerjanya hanya bisa mencari masalah. Ini semua karena didikan kamu,” tuding Jamie pada Camila.“Lho, kenapa Mami yang Papi salahkan? Justru ini kesempatan Bian untuk bebas, Pi. Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk orang yang terzalimi seperti Bian,” sahut Camila sewot. Perempuan itu melipat tangan di dada dan mengerucutkan mulutnya.“Jalan dari tuhan apa, Mi? Justru ini masalah besar buat Bian. Dia akan jadi buronan. Padahal kita baru saja akan proses banding,
Alya terkejut saat malam itu Tatiana datang dengan membawa koper besar serta barang-barangnya yang lain. Tidak seperti biasa. Tidak ada Mario yang mengantarnya. Tatiana datang menggunakan taksi. Sendiri dengan perut besarnya.“Tia, kamu--““Ya, Ma, aku pulang, mulai malam ini aku tinggal di sini lagi ya, Ma, boleh kan?”“Tentu saja boleh. Ini kan rumah kamu,” sahut Alya menepis perasaan tidak enak Tatiana. Alya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dia tidak ingin banyak bicara dulu. Nanti Tatiana pasti akan menjelaskan padanya. Cepat atau lambat.Masuk ke dalam kamar, Tatiana duduk di tepi ranjang seraya merentangkan tangan. Perempuan itu menghela napas dalam-dalam kemudian melepaskannya perlahan. Setelahnya Tatiana merasa begitu ringan. Seperti baru saja lepas dari beban yang sangat berat.“Kakak!” Seruan Sandra menyiratkan tanda tanya besar kenapa Tatiana berada di rumahnya.“Ra, duduk di sini dulu!” Tatiana menyuruh adiknya yang berdiri di sisi pintu agar mendekat. Dia akan menjelaska
“Aku nggak ngerti apa yang ada di kepala Mami. Tega-teganya Mami mengusir Tatiana dari rumahnya sendiri,” cecar Rei pada Camila. Setelah pulang dari resto Alya, Rei langsung menuju rumah orang tuanya. Saat ini dia sudah berhadapan langsung dengan Camila yang karakternya mirip dengan Bian.“Kamu kenapa sih, Rei? Datang-datang langsung marah nggak jelas?” balas Camila yang tidak diterima dimarahi begitu saja.“Mi, aku udah ketemu sama Tia. Dia udah cerita semuanya tentang rencana Mami mau menjual rumah Bian. Aku nggak setuju, Mi!” tolak Rei terang-terangan.Oh, ternyata itu masalahnya. Camila mengerti sekarang. Perempuan itu mengambil cangkir teh hijau di atas meja, lantas menyesapnya pelan-pelan. Dari balik cangkirnya, Camila mengintip Rei yang seperti sedang mengawasinya.“Memangnya salah kalau rumah itu dijual? Lagian Bian udah nggak ada, jadi apa lagi gunanya rumah itu?” sahut Camila ringan dan tanpa beban setelah meletakkan cangkir tehnya di atas meja.“Mami kok ngomongnya kayak gi
Selesai sarapan, Rei dan Tatiana berangkat ke kantor. Tatiana tahu tidak mungkin setiap hari nebeng bareng Rei. Cukup sekali ini saja. Selain tidak enak, rumah Rei dan rumahnya juga berlawanan arah. Pastin dia akan membuat Rei repot. Belum lagi Rei pasti juga harus mengantar Lala ke sekolah.“Mikirin apa, Tia?” tanya Rei yang sedang menyetir melirik Tatiana.“Rei, mulai besok kamu nggak usah jemput aku lagi.”“Kenapa?” Sebelah alis Rei terangkat naik. Dia pikir tidak masalah harus mengantar jemput Tatiana setiap hari. Dia sama sekali tidak keberatan.“Rumah kamu kan jauh dari rumahku. Aku bisa naik taksi.”“Kalau aku bisa antar jemput kamu, kenapa harus naik taksi?” tukas Rei tidak setuju. Dia tidak akan senang melihat Tatiana kesusahan sendiri ke mana-mana membawa perut besarnya.“Masalahnya bukan itu, Rei, tapi--““Tapi apa?” Rei lekas memotong sebelum Tatiana menuntaskan kalimatnya.“Aku nggak mau ngerepotin kamu.”“Aku nggak repot kok.”“Tapi aku ngerasa nggak enak.” Tatiana teru
“Beneran deh, Rei, dia mirip Bian banget,” ujar Tatiana menceritakannya pada Rei setelah mereka berada di mobil. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan ke kantor Rei.“Iya, orang yang mirip memang banyak di dunia ini, apalagi kalau hanya dilihat dari belakang,” kata Rei menimpali.“Rei, kira-kira Bian di mana ya sekarang?” tanya Tatiana pada Rei. Pandangannya lurus ke depan dan menerawang jauh.“Aku juga nggak tahu, tapi aku yakin Bian berada di tempat yang aman. Kamu nggak usah mikirin Bian lagi ya. Aku nggak mau kamu sampai stres yang berakibat buruk pada kandungan kamu,” kata Rei menasihati.Tatiana mengusap perutnya. ‘Gimana aku nggak mikirin Bian? Dia bapak anak ini,’ ucapnya di dalam hati. Lain halnya kalau Tatiana tidak mengandung anak Bian. Mungkin dia tidak perlu repot-repot memikirkan lelaki itu dan mengabaikannya begitu saja.Tiba di kantor, Franda tampak terkejut melihat kehadiran Tatiana. Hal itu tidak bisa dia sembunyikan dari mukanya.“Pagi, Franda. Apa kabar?” Tatia
Bulan sembilan kehamilan.Tatiana mulai merasa sakit-sakitan. Perutnya yang semakin berat membuatnya susah bergerak. Punggung dan pinggangnya juga kompak tidak mau diajak berkompromi. Terlebih saat tengah malam. Bahkan sekarang Tatiana juga mulai susah tidur. Posisi apa pun tidak ada yang enak baginya.Seperti malam ini, Tatiana tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah berkali-kali mengganti posisi. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, serta menelentang. Tapi tidak bertahan lama, karena posisi telentang membuat napas dan dadanya sesak.Dari tadi dengan sabar Sandra mengusap-usap punggung Tatiana. Sesekali juga mengipasi kakaknya itu. Meski AC sudah menyala dengan suhu paling rendah sekali pun, namun Tatiana masih merasa kepanasan.“Gimana, Kak, masih sakit?” tanya Sandra yang terus mengusap-usap punggung Tatiana.“lya, sakit banget…” Tatiana menjawab lirih. Suaranya tenggelam oleh rasa sakit yang dirasakannya. “Apa aku panggil mama
Tatiana masih berada di pangkuan Rei sambil menahan sakitnya sendiri. Sementara Rei mengendara pelan di tengah-tengah kemacetan. Andai saja bisa Rei ingin membawa Tatiana terbang agar sampai di rumah sakit. Rasa cemas, khawatir, panik, serta frustasi semakin menjadi saat Tatiana terus merintih dan menggumamkan nama Bian.“Tia yang kuat ya. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Rei meskipun tidak yakin dengan kata-katanya sendiri.Tatiana mensugesti dirinya. Dia tidak boleh melahirkan di jalan. Dia harus sampai dulu ke rumah sakit.Mengusap perutnya, Tatiana mengajak calon anak yang berada dalam kandungannya berbicara.“Angel, kita kerjasama ya, nak… Kamu jangan keluar dulu sebelum sampai di rumah sakit.”Tatiana terus mensugesti diri dan calon anaknya berulang-ulang. Rasa sakit yang tadi tak tertahankan tertelan oleh kesedihannya.Tuhan masih menyayangi Tatiana. Perempuan itu mampu bertahan hingga sampai di rumah sakit.Perawat yang menyambut mereka langsung membawanya dengan brankar untuk