Sepasang mata Tatiana terpaku di panggung. Pada Darren yang tengah melantunkan suara merdunya. Tatiana tidak mungkin melupakan suara itu. Dulu, saat masih bersama Darren, Tatiana juga sering menemaninya manggung dari kafe ke kafe. Bisa dibilang hampir setiap malam minggu dan minggu malam. Biasanya saat Darren manggung, Tatiana akan duduk bergabung bersama pengunjung lain dan mengamati Darren di atas panggung persis sama seperti yang dilakukannya saat ini.Tatiana tidak tahu entah berapa lama memandangi Darren ketika akhirnya mata mereka beradu. Darren terlihat kaget begitu menyadari Tatiana ada di tempat yang sama dengannya. “Yang, kamu mau pesan apa?” tanya Bian pada Tatiana tanpa mengalihkan mata dari buku menu.Tidak ada sahutan ataupun respon istrinya itu sehingga Bian terpaksa mengangkat muka dan memandangnya.“Yang, ka--“ Bian seketika tertegun dengan kalimat terputus saat mendapati Tatiana sedang memandang ke arah panggung dengan mata tak berkedip.Bian ikut melihat panggung,
Pagi ini Tatiana terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa pegal. Semalam Bian menghukumnya sampai dia nyaris kehabisan napas. Bian mungkin lupa kalau Tatiana sedang hamil.“Makanya lain kali jangan ganjen,” bisik Bian setelah pelepasan panjang keduanya.“Ganjen gimana?” Tatiana merasa tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Atau apa mungkin dia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?Bian memilih bungkam. Tidak mungkin juga kan kalau dia bilang cemburu pada Darren? Harga dirinya mau ditaruh di mana?Tatiana mengingat kembali kejadian tadi malam. Sepulangnya dari Coffeholic, Bian langsung mengurungnya di kamar. Lelaki itu menanggalkan semua penutup tubuh Tatiana. Kemudian menutup matanya dengan sapu tangan. Dan yang paling membuat Tatiana shock, Bian memborgol tangannya. Selanjutnya sudah bisa ditebak. Bian merealisasikan fantasinya yang sudah lama mengendap di kepala, tertimbun bersama angan-angan.Tatiana hanya bisa pasrah ketika Bian menguasai tubuhnya. Mengeksplorasi dari atas k
“Bi, aku belum selesai.” Tatiana menolak Bian yang mengajaknya pergi dari area pemakaman.“Ngapain lama-lama di sini? Kamu kan lagi hamil, nggak boleh, Yang.”Kalau saja Tatiana tidak ingat hal itu, mungkin dia masih akan tetap bertahan di sana. Tatiana memang pernah mendengar perihal tentang orang hamil yang tidak boleh pergi ke pemakaman. Entah itu mitos atau gimana. Entahlah.“Tunggu sebentar, Bi.”Tatiana lantas berpamitan pada Darren dan ibunya.“Ren, aku pulang dulu, kamu yang sabar ya.”“Iya, Tia, makasih sudah repot-repot datang ke sini.” Darren sebetulnya masih ingin bicara banyak, tapi melihat Bian yang mendampingi Tatiana seperti bodyguard, niat itu pun hanya menjadi sekadar keinginan.Bian yang sudah tidak sabar, menggandeng tangan Tatiana, mengajak pergi sesegera mungkin. Tatiana nyaris saja lupa kalau tadi dia datang bersama dengan Rei.“Rei, aku pulang sama Bian nggak apa-apa kan?” ucap Tatiana merasa tidak enak. Entah bagaimana caranya, Bian selalu saja muncul tanpa di
Tatiana memberikan polesan terakhir pada bibirnya. Pemulas berwarna merah bata. Bian bilang dia sangat suka melihat Tatiana memakai lipstick warna merah bata. Kata Bian lagi, tiap kali Tatiana memakai lipstick itu, Bian ingin terus mengurungnya seharian di kamar.“Cantik, Yang!” puji Bian dari belakang setelah mendekap tubuhnya.Tatiana tersenyum tipis seraya menatap Bian melalui kaca meja rias. “Makasih, Bi,” jawabnya pelan. “Nanti kita makan siang bareng lagi atau gimana?”“Kayaknya nggak, Yang, aku agak sibuk,” jawab Bian setelah mengingat jadwal kerja yang terekam rapi di kepalanya.“Okay, i see. Tapi jangan lupa, nanti malam kamu ada janji mau pergi sama Gladys ke pesta ulang tahun Sheila,” kata Tatiana mengingatkan. Siapa tahu Bian lupa.Mendengar Tatiana menyebut nama Gladys, emosi Bian kembali naik. Keluar dari dada, menjalar ke muka hingga sampai di kepala. Bian tidak punya perasaan apa pun pada Gladys. Rasa itu sudah sirna. Tapi membayangkan ternyata Gladys membohonginya men
Darren baru saja keluar dari kubikelnya ketika mendapat telepon dari Bian. Belasan detik Darren tertegun menatap layar gawainya. Untuk apa Bian menelepon? Apa ada yang penting? Tapi apa? Apa berhubungan dengan Tatiana? Menjawab rasa penasaran, Darren akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Om Bian," sapanya ramah sembari menyiapkan hati kalau-kalau Bian kembali berkata kasar padanya seperti yang sudah-sudah.“Kamu di mana?” “Di kantor, Om, ini baru mau keluar istirahat siang.”“Aku mau ketemu sama kamu. Bisa?”Meski ragu dan bertanya-tanya apa tujuan Bian ingin berjumpa dengannya, Darren pun mengiyakan.Dua puluh menit kemudian Darren sudah duduk manis tepat di kursi yang berseberangan dengan Bian di sebuah tempat makan eksklusif. “Maaf, Om, agak terlambat, tadi motorku mogok.” “Jadi kamu masih pakai motor butut itu?”“Nggak butut juga sih, Om,” sangkal Darren tidak rela sepeda motor 250 cc-ny
Tatiana membuka lemari, memilihkan baju untuk Bian pakai malam ini. Sementara itu Bian duduk di sofa memerhatikannya dari jauh. Bian masih berpikir untuk membatalkan rencananya pergi dengan Gladys.“Bi, kenapa masih duduk disitu?” tegur Tatiana karena melihat Bian masih termangu. Perempuan itu kemudian melangkah pelan mendekati suaminya. “Ini baju kamu, pakai ya!”Menghela napas, Bian menerima baju dan celana yang Tatiana berikan padanya dengan sedikit enggan. Dan Tatiana menyadari sikap Bian yang terlihat berat.“Bi, kenapa lagi?” tanyanya sambil mengamati muka Bian, siapa tahu dia menemukan jawaban di sana.Berdeham untuk menjernihkan suaranya, Bian akhirnya berkata. “Yang, kamu yakin aku pergi ke sana?” “Ya yakinlah, kamu kenapa, Bi? Ada apa?” Tatiana mengernyit melihat Bian yang tampak ragu.“Nggak apa-apa. Ya udah aku ganti baju dulu.”Tatiana tersenyum lega. Awalnya dia sangka kalau Bian akan berubah pikiran. Tapi syu
Ruangan itu tampak semarak, dengan semburat cahaya kemerahan dari lampu yang berkerjap. Hentakan musik yang semakin malam bertambah menjadi berhasil menggoyang puluhan kepala.Crowd-nya jelas. Yang perempuan cantik dan modis. Yang lelaki gagah dan memesona. Ada juga kalangan crème de la crème di sana yang sibuk dengan sesama mereka. Seolah terisolasi dari manusia lainnya yang berada di tempat yang sama dan hanya memedulikan golongannya.Semua asyik dengan kegiatan masing-masing. Ada yang menggosip dengan sesamanya, ada yang larut dengan minumannya, ada yang sudah mulai teler dan menceracau tidak jelas, ada yang sibuk merayu pasangan di sebelahnya, dan ada juga yang bengong sendiri di tengah keramaian.Sheila, sang empunya pesta terlihat bahagia di hari lahirnya. Tidak ada habisnya senyum terkembang di bibirnya. Melihat Gladys dari jauh, dia langsung melambaikan tangan meminta agar mendekat.Gladys membalas dengan memberi senyum ramah. Segera digandengnya tangan
Karena Bian terus memaksa, akhirnya Darren pun meneguk minuman yang diberikannya. Sementara Darren minum, Bian terus mengajaknya bercerita hingga tanpa sadar bergelas-gelas minuman beralkohol itu meluncur masuk ke dalam perutnya.Sebagai pemula tentu saja tingkat toleransi tubuh Darren terhadap alkohol masih sangat rendah. Pelan-pelan Darren mulai kehilangan kesadarannya. Mengetahui hal itu Bian mulai beraksi dengan mengorek informasi dari keponakannya.“Ren, kamu menyesal nggak ninggalin Tia?”“Iya, Om,” jawab Darren tidak terdengar jelas karena kesadarannya yang mulai terenggut.“Terus gimana perasaan kamu sama dia?”“Aku masih cinta Tia, Om.”Okay, Bian masih bersabar mendengar jawaban Darren.“Misalnya nih ya, ini baru misal, kalau kamu punya kesempatan, dan Tia juga mau, kamu mau balik apa nggak sama Tia?” Bian terus menggali informasi dari keponakannya itu.“Mau banget, Om. Bukankah kalau diberi kesempatan kedua kita nggak boleh menyia-nyiakannya?”‘Bangke juga nih orang!’ Bian