“Bi, nggak bisa ya kalau nyetirnya pelan-pelan?” Baru saja mereka melintas di jalan raya Gladys sudah protes karena Bian mengemudi terlalu kencang.“Aku bisa mual kalau pelan-pelan,” sahut Bian menirukan ucapan Tatiana kala itu. Padahal Bian mengendara dengan cepat hanya agar ingin mereka cepat sampai.“Tapi kalau kamu kencang-kencang kayak gini aku bisa sport jantung,” balas Gladys. Lagian Bian kenapa seperti orang kesetanan begini?“Salah sendiri kenapa kamu minta antar sama aku,” sahut Bian ringan.“Jadi kamu nggak ikhlas?” Gladys memiringkan kepala, memandang Bian lekat-lekat sambil menyelidiki.“Kalau bukan karena Tia yang minta, aku nggak akan mau mengantar kamu.”Sahutan sinis Bian membuat Gladys bertambah kesal. Mana Bian yang dulu lembut dan selalu memanjakannya? Kenapa Bian jadi kasar seperti ini padanya? Pasti semua karena Tatiana. Perempuan itu memang membawa dampak negatif bagi Bian. Buktinya dia bisa membuat Bian berubah dalam waktu yang sangat singkat. Dasar perempuan p
“Nggak mampir dulu, Bi?” Gladys bertanya ketika mereka sudah tiba di rumah.“Lain kali aja ya, aku lagi buru-buru,” tolak Bian beralasan. Bian rasa dia sudah terlalu lama meninggalkan Tatiana di rumah Camila. Entah apa yang sudah terjadi di sana. Tapi Bian yakin kalau ibunya pasti mati-matian mencoba untuk mengintimidasi istrinya. Mengingat semua itu Bian sontak melihat arloji di pergelangan kirinya. Sudah lebih dari dua jam dia menghabiskan waktu bersama Gladys. Mulai dari rumah tadi, mampir di butik langganan Gladys yang berujung dengan dua kantong belanjaan. Terakhir mereka berhenti di gerai fast food drive thru yang juga kesukaan Gladys.“Sebentar aja kok, Bi, nggak akan lama. Di rumah lagi ada papa, siapa tahu kamu mau ngobrol-ngobrol dulu.”Berpikir sejenak, Bian akhirnya memutuskan untuk mampir. Mungkin nanti dia bisa memperoleh informasi penting atau sesuatu yang berguna.“Ya sudah.” Seulas senyum terbit dari bibir Gladys me
Bian sudah berada di mobil dan baru saja meninggalkan rumah Wiryawan. Kepalanya penuh oleh berbagai beban dan pikiran sekarang. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi meskipun Wiryawan terus mencoba memengaruhinya, Bian masih memegang teguh kata-kata Alya. Entah mengapa Bian lebih memercayai mertua perempuannya ketimbang mertua laki-lakinya.Masih terngiang dengan jelas oleh Bian sambungan percakapannya dengan Wiryawan.“Pa, bukan maksudku lancang. Tapi kalau boleh aku tahu kenapa Gladys bilang Tia anak pelakor? Bukankah mama Alya istri pertama Papa?” Bian bertanya dengan berani. Baginya semua ini harus diungkap agar menjadi jelas dan terang benderang. Tanpa ada lagi fitnah dan prasangka.Lama Wiryawan terdiam dan tidak ada tanda-tanda akan menjawab. Sepertinya dia sedang berpikir keras. Mungkin untuk mencari jawaban yang pas.“Pa, maaf, aku bukan bermaksud ikut campur masalah pribadi Papa. Tapi sebagai suami Tia aku perlu tahu, Pa.”Wiryawan mengangkat muka lantas melirik
Camila memandangi dari atas sofa tempatnya duduk padaTatiana yang kini berada di bawah kakinya. Sudah sejak dari dua menit yang lalu matanya terpaku di sana. Tatiana terlihat sangat serius dan tidak setengah-setengah. Saat tiba-tiba Tatiana menengadah, Camila sontak membuang muka dan pura-pura tidak tahu.“Mi, gimana? Sudah agak baikan kakinya?”“Sama saja, nggak ngaruh sama sekali,” sahut Camila enggan.“Memang begitu biasanya, Mi, mungkin sebentar lagi.” Tatiana bangkit dari lantai lantas duduk di sebelah sang mertua. “Nggak mau dipijitin punggungnya sekalian, Mi?” tawar Tatiana.Camila ingin menolak, tapi setelah merasakan efek pijitan Tatiana di kakinya, dia juga ingin mencoba sensasi itu di punggungnya.“Boleh deh,” jawabnya kemudian.Tatiana tersenyum tipis melihat Camila yang melunak. Perempuan itu menempelkan tangannya di bahu sang mertua dan memberi pijitan-pijitan lembut mulai dari pundak, area sekitar leher hingga punggung.Camila mulai terkantuk-kantuk begitu merasakan usa
“Yang, kenapa kamu pergi nggak bilang-bilang dulu sama aku? Maksud kamu apa sebenarnya?” Baru saja Tatiana memasang seat belt Bian sudah langsung menginterogasi.“Rencananya tadi aku mau ke rumah Rei, main sama Lala. Aku sudah telepon kamu, tapi kamu nggak jawab,” tutur Tatiana menerangkan.“Lala lagi, Lala lagi, kamu nggak sabaran amat jadi orang.” Bian menggerutu kesal. Hingga saat ini Bian masih tidak mengerti pada sikap Rei yang seakan mencuri-curi kesempatan di belakangnya.Tatiana diam saja dan membiarkan Bian terus merepet sesukanya. Kalau dia lawan, Tatiana yakin ocehan Bian semakin panjang dan tidak berujung. Namun kemudian Bian mendadak bungkam oleh usapan Tatiana di pahanya.“Bi, marah-marahnya udah ya, nggak bagus buat kesehatan.” Sedikit menggeser badan, Tatiana lantas mengecup pipi kiri Bian. Lelaki itu melunak dan berakhir dengan ucapan, “Iya.”Tatiana tersenyum tipis mengetahui Bian yang sudah kembali normal. “Bi, coba deh sekarang kamu ceritain gimana sama Gladys tad
Sepasang mata Tatiana terpaku di panggung. Pada Darren yang tengah melantunkan suara merdunya. Tatiana tidak mungkin melupakan suara itu. Dulu, saat masih bersama Darren, Tatiana juga sering menemaninya manggung dari kafe ke kafe. Bisa dibilang hampir setiap malam minggu dan minggu malam. Biasanya saat Darren manggung, Tatiana akan duduk bergabung bersama pengunjung lain dan mengamati Darren di atas panggung persis sama seperti yang dilakukannya saat ini.Tatiana tidak tahu entah berapa lama memandangi Darren ketika akhirnya mata mereka beradu. Darren terlihat kaget begitu menyadari Tatiana ada di tempat yang sama dengannya. “Yang, kamu mau pesan apa?” tanya Bian pada Tatiana tanpa mengalihkan mata dari buku menu.Tidak ada sahutan ataupun respon istrinya itu sehingga Bian terpaksa mengangkat muka dan memandangnya.“Yang, ka--“ Bian seketika tertegun dengan kalimat terputus saat mendapati Tatiana sedang memandang ke arah panggung dengan mata tak berkedip.Bian ikut melihat panggung,
Pagi ini Tatiana terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa pegal. Semalam Bian menghukumnya sampai dia nyaris kehabisan napas. Bian mungkin lupa kalau Tatiana sedang hamil.“Makanya lain kali jangan ganjen,” bisik Bian setelah pelepasan panjang keduanya.“Ganjen gimana?” Tatiana merasa tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Atau apa mungkin dia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?Bian memilih bungkam. Tidak mungkin juga kan kalau dia bilang cemburu pada Darren? Harga dirinya mau ditaruh di mana?Tatiana mengingat kembali kejadian tadi malam. Sepulangnya dari Coffeholic, Bian langsung mengurungnya di kamar. Lelaki itu menanggalkan semua penutup tubuh Tatiana. Kemudian menutup matanya dengan sapu tangan. Dan yang paling membuat Tatiana shock, Bian memborgol tangannya. Selanjutnya sudah bisa ditebak. Bian merealisasikan fantasinya yang sudah lama mengendap di kepala, tertimbun bersama angan-angan.Tatiana hanya bisa pasrah ketika Bian menguasai tubuhnya. Mengeksplorasi dari atas k
“Bi, aku belum selesai.” Tatiana menolak Bian yang mengajaknya pergi dari area pemakaman.“Ngapain lama-lama di sini? Kamu kan lagi hamil, nggak boleh, Yang.”Kalau saja Tatiana tidak ingat hal itu, mungkin dia masih akan tetap bertahan di sana. Tatiana memang pernah mendengar perihal tentang orang hamil yang tidak boleh pergi ke pemakaman. Entah itu mitos atau gimana. Entahlah.“Tunggu sebentar, Bi.”Tatiana lantas berpamitan pada Darren dan ibunya.“Ren, aku pulang dulu, kamu yang sabar ya.”“Iya, Tia, makasih sudah repot-repot datang ke sini.” Darren sebetulnya masih ingin bicara banyak, tapi melihat Bian yang mendampingi Tatiana seperti bodyguard, niat itu pun hanya menjadi sekadar keinginan.Bian yang sudah tidak sabar, menggandeng tangan Tatiana, mengajak pergi sesegera mungkin. Tatiana nyaris saja lupa kalau tadi dia datang bersama dengan Rei.“Rei, aku pulang sama Bian nggak apa-apa kan?” ucap Tatiana merasa tidak enak. Entah bagaimana caranya, Bian selalu saja muncul tanpa di