Diamonds are women’s best friend.Bian sangat hafal filosofi itu dari dulu sampai sekarang. Dan Tatiana bukanlah satu-satunya wanita yang dia manjakan dengan kemewahan. Pernah ada perempuan lain yang mendapatkan perlakuan istimewa itu. Tapi Bian bertekad Tatiana adalah wanita terakhir yang akan dia manjakan dengan apa pun yang dia miliki.Atas alasan itu kini mereka di tempat ini. Bvlgari Boutique.Identitas Bvlgari sebagai brand high-end terlalu kentara untuk menjadi nyata melalui eksterior dan interior bergaya kontemporer nan mewah. Di sini, filosofi desain klasik Veneziana berpadu dengan unsur modern dalam material dan garis desain yang kekinian.Jendela display bergaya Condotti di depan butik mengingatkan akan wajah butik-butik mewah di Roma dan Venesia. Gaya Venesia juga terasa di dalam area butik yang interiornya menghadirkan nuansa palazzo, namun dalam sentuhan yang lebih minimalis. Memasuki butik, pengunjung akan disambut oleh meja display berbentuk lingkaran yang memamerkan
Tatiana mematut diri di depan kaca. Little black dress yang membalut kulit kuning cenderung pekatnya bagaikan kekuatan magic yang membetot mata siapapun untuk memandang padanya. Belum lagi pemulas bibir berwarna merah terang seperti sebuah kekuatan yang membuatnya menjadi lebih percaya diri.“Cantik banget, sebelas dua belas sama Audrey Hepburn.” Suara Bian terdengar seperti bisikan lembut di telinganya. Saat ini Bian sedang memeluk Tatiana dari belakang.Tawa tatiana pecah mendengar pujian Bian yang terkesan berlebihan baginya.Keduanya lantas sama-sama memandang melalui cermin meja rias. Pujian Bian segera berganti menjadi kecupan di pundak, lantas merayap ke leher Tatiana.“Bi, kita harus pergi sekarang.” Tatiana segera mengingatkan saat bibir Bian mulai turun ke dadanya.Bian menghela napas, lantas menjauhkan muka dari dada istrinya itu.'Sabar, Bi, masih banyak waktu.’ Bian mengingatkan dirinya sendiri. Nanti setelah dinner dia akan segera mengeksekusi Tatiana, tentu saja di ruma
Melihat Gladys masih berdiri di tempatnya, Tatiana pun berdiri."Kamu apa kabar? Sehat kan?” Dalam sekejap keduanya sudah berpelukan. Gladys masih berusaha mencerna kata-kata Tatiana ketika tiba-tiba saja Tatiana mengecup pipinya kanan kiri layaknya dua saudara yang saling menyayangi dan mengasihi.Bian yang menyaksikan itu semua tercekat oleh salivanya sendiri. Apa-apaan ini? Apa yang dilakukan Tatiana? Kenapa mereka terlihat begitu akrab?Wiryawan yang melihat itu semua pada awalnya kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin mereka bisa seakrab itu? Namun kemudian senyumnya merekah sempurna. Lelaki itu jadi takjub sendiri melihat kedua putri beda tempat penyemaian itu tampak akur seperti sekarang. Mereka baru tahu kalau bersaudara, itu pun hanya saudara tiri, tapi sudah sedekat ini. Ah, indahnya.“Eh, tapi kamu nggak lagi sakit kan, Dys? Aku ngeliat kamu kayak yang pucat gitu. Atau jangan-jangan karena kamu kangen sama Bian ya?” celetuk Tatiana setelah melepas pelukan dan mengamati
Setelah memapah Gladys menaiki tangga menuju lantai dua, Tatiana membantu membaringkan Gladys di tempat tidur. Gladys yang masih meringis membuat Tatiana berpikiran kalau kakak tirinya itu benar-benar sakit. Tatiana menepis pikiran buruk bahwa saat ini Gladys sedang berpura-pura.Tatiana bingung apa yang harus dia lakukan. Perempuan itu lantas berpikir pertolongan pertama apa yang harus dia berikan. Saat matanya beradu dengan dispenser, Tatiana langsung bergerak. Mungkin Gladys butuh segelas air putih.“Dys, minum dulu yuk!”Tidak membantah, Gladys pun duduk seraya menyandarkan kepala ke headboard.“Ambilin obat aku di sana,” katanya kemudian sambil menunjuk kotak obat di atas meja.Ingin membantu, Tatiana melangkah mendekati meja. Banyak sekali obat-obatan Gladys tersimpan di sana, Tatiana mengambil semuanya.Melihat muka Gladys yang pucat, serta keringat yang menyembul di dahinya, Tatiana menjadi kasihan. Ini artinya Gladys benar-benar sakit.
Daun pintu pun terbuka. Gladys yang melihat kehadiran Bian langsung duduk, bangun dari tidurnya. Segaris senyum tipis terbit di bibirnya. Tapi tidak dengan Bian. Sejauh ini dia masih menahan langkah walaupun Tatiana menarik tangannya.Merasakan langkah Bian yang berat, Tatiana menoleh ke belakang. “Ayo, Bi, cuma sebentar kok.”Bian menatap istrinya itu lekat-lekat. Bian tidak mengerti dengan sikap Tatiana yang seperti ingin mendekatkannya dengan Gladys. Tidak mungkin tidak ada apa-apa meskipun Tatiana bilang seperti itu. Bian yakin Tatiana akan atau sedang merencanakan sesuatu, hanya saja tidak mau memberitahu entah karena alasan apa. Tapi Bian akan mengikuti permainan Tatiana. It’s okay. Apa pun itu Bian akan mengikutinya.“Dys, ini Bian.” Tatiana menarik pelan tangan Bian agar berdiri di sebelahnya. Sementara dirinya sendiri berangsur mundur ke belakang.Bian yang merasakan Tatiana pelan-pelan menjauh lekas mencekal lengannya agar tidak pergi dari sana. Lelaki itu lantas berbisik pa
Di luar, Tatiana sedang menerima telepon dan berbicara dengan Alya.“Kamu di mana, Tia?” Alya langsung bertanya saat Tatiana menyapanya.“Di rumah papa, Ma.”“Apa? Maksud kamu apa? Papa mana?” “Ehm, maaf, Ma, aku salah ngomong, maksudnya Pak Wiryawan.” Tatiana buru-buru meralat kata-katanya. Tapi rupanya Alya tidak menerima begitu saja. Tadi telinganya jelas-jelas mendengar Tatiana menyebut Wiryawan dengan sebutan papa.“Tia, Mama nggak ngerti deh. Bisa kamu bantu jelasin dengan lengkap?”“Ma, aku dan Bian sekarang sedang berada di rumah Pak Wiryawan. Dia mengundang kami makan malam, Ma.” Tatiana tidak tahu apa dampak kejujurannya pada Alya nanti, tapi dia sudah terlanjur keceplosan.“Jadi maksud kamu sudah menerima dia? Kamu sudah memaafkan dia?” Alya rasanya tidak terima kalau sampai hal itu terjadi. Penderitaan selama dua puluh tahun tidak akan pernah terbayar hanya dengan seuntai kata maaf.“Bukan begitu, Ma. Mama jangan salah paham dulu. Selamanya aku nggak akan pernah maafin di
Bian dan Tatiana langsung menjauhkan diri saat mendengar suara Mario. Tatiana terbatuk-batuk kecil, sedangkan Bian berdeham berkali-kali. “Kamu kenapa kalau ngomong selalu ngagetin?” sergah Bian pada Mario yang membuatnya dan Tatiana sama-sama terperanjat.“Maaf, Pak, saya nggak sengaja.” Mario rasa tadi dia sudah berbicara dengan pelan dan dengan nada biasa. “Sudah, Bi, ayo kita turun.” Tatiana mengusap pundak Bian, melunakkannya.Masih dengan muka kesal Bian keluar dari mobil sambil membanting pintu keras-keras. Mario hanya geleng-geleng kepala. Perasaan, dia tidak salah apa-apa, tapi kenapa Bian marah padanya?“Kamu kenapa marah sama Mario, Bi? Dia kan nggak salah apa-apa,” tegur Tatiana mengingatkan sikap Bian tadi.Bian menghela napas sambil mengunci pintu kamar. “Sudahlah, nggak usah dibahas,” ujarnya lantas merebahkan tubuh di pembaringan. Bian rasa butuh waktu untuk beristirahat, tapi dia harus menuntaskan dulu urusannya yang lain.Bian memiringkan tubuh mengarah pada Tati
Pagi itu Bian yang pertama kali membuka mata. Tatiana masih terlelap dalam dekapannya. Lelaki itu kemudian mengulas senyum tipis saat benaknya berhasil mengurai kepingan demi kepingan peristiwa yang terjadi tadi malam.Mendekatkan muka, Bian mengecup hangat kening Tatiana dengan bibirnya yang dingin. Hatinya kini terasa penuh. Oleh cinta, oleh rasa sayang, yang hanya dia berikan untuk Tatiana. Bian lalu membisikkan sesuatu di telinga Tatina.‘I still wake up every morning and the first thing i want to do is see your face.’Merasa kandung kemihnya sudah penuh, Bian bergerak turun dari tempat tidur, lantas melangkah dengan tubuh polos ke kamar mandi. Selesai buang air, Bian tidak langsung kembali ke kamar. Dia tertegun sejenak saat melihat bathtub. Dia merasa ingin membersihkan diri sekarang. Tapi sepertinya akan lebih menyenangkan berdua dengan Tatiana di dalam sana.Tatiana ternyata sudah bangun saat Bian kembali ke kamar. Perempuan itu menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang po