Bian dan Tatiana kembali ke tempat acara diadakan. Sudah menunggu sejak tadi tapi acara masih belum dimulai.
Duduk di samping Bian, mata Tatiana menjelajah mengitari seisi ruangan untuk mencari sosok Rei. Dari tadi Tatiana tidak melihat sosok lelaki itu. Lebih tepatnya sejak mereka datang ke sini dan Bian menariknya dari sisi Rei.Akhirnya Tatiana menemukan Rei sedang duduk di kursi belakang paling kanan. Saat Tatiana memandang padanya ternyata Rei juga sedang menatapnya. Tatiana melambaikan tangan pada Rei dan memberi isyarat agar pindah duduk ke kursi disebelahnya yang kebetulan memang kosong. Tapi Rei hanya diam sambil memandangnya dengan tatapan sendu. Rei kenapa ya? Dia kelihatan sedih. Auranya juga tampak berbeda. Apa dia sedang ada masalah?“Mbak Tia, di depan ada Ibu Alya, katanya mau ketemu sebentar.” Pegawai Wiryawan yang mengurus konsumsi datang memberitahu Tatiana.“Iya, Mbak, makasih, saya akan ke sana sekarang.” Tatiana segera berSaat membuka mata, yang pertama kali dilihat Tatiana adalah Bian yang sedang duduk di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya. Hal lain yang tertangkap oleh netranya adalah ruangan tempatnya berada yang didominasi oleh warna putih. Tanpa perlu dijelaskan, Tatiana sudah tahu tempatnya berada sekarang. Terlebih ketika menghirup bau obat-obatan, antiseptik, karbol, atau apa pun namanya. Pasti saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa? Apa yang sudah terjadi? “Kamu sudah bangun?” Bian menyadari hal itu ketika merasakan gerakan tangan Tatiana dalam genggamannya. “Bi, aku kenapa?” lirih suara Tatiana. Dia ingin segera tahu apa yang sudah terjadi. Atau jangan-jangan tadi dia pingsan?“Tia, tadi kamu pingsan.” Bian menjawab sambil mengusap halus kepala Tatiana.Oh, ternyata benar dugaannya. Tatiana mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan kesadaran diri. Wajah lembut Alya yang pertama kali terbayang olehnya. Selanjutnya raut tegas Wiryawan serta muka cant
“Jadi ceritanya mama sama orang itu kawin lari?” celetukan lugas Sandra membuat semua yang ada di sana memandang padanya. Selama ini Alya selalu menutup rapat-rapat cerita tentang pernikahannya dengan Wiryawan dari siapa pun. Terlebih dari kedua anaknya. Bahkan Tatiana dan Sandra tidak tahu menahu asal keluarganya. Yang keduanya ketahui, mereka hanya memiliki Alya. Satu-satunya keluarga dan orang tua yang tersisa.“Ma, jawab, Ma, jangan tanggung-tanggung, ceritakan semuanya sekarang.” Kali ini Tatiana yang bicara.“Iya. Mama dan dia kawin lari karena orang tua mama atau kakek dan nenek kalian tidak memberi restu.”Tatiana dan Sandra saling bertatapan penuh tanda tanya. Selama ini Alya tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupannya. Setiap kali mereka bertanya di mana keluarga mereka yang lain atau minimal dimana keberadaan kakek dan nenek keduanya, Alya hanya menjawab kalau mereka sudah lama meninggal. Hanya informasi itu yang bisa mereka korek dari mulut Alya.“Maaf kalau aku l
Alya dan Sandra sudah pulang dengan diantar Mario. Sekarang hanya tinggal Bian dan Tatiana. Keduanya sama-sama terdiam merenungi peristiwa tadi. Tatiana tidak mengerti kenapa semudah itu bagi Wiryawan untuk meminta maaf padanya. Menghilang puluhan tahun, datang-datang hanya untuk meminta maaf? Situ sehat?“Aku nggak ngerti, Bi, kenapa dia gampang banget minta maaf, perasaannya di mana sih? Atau jangan-jangan dia nggak punya perasaan?”Bian yang berbaring di sebelah Tatiana di atas ranjang rumah sakit mengusap halus pipi istrinya itu, lantas mengecupnya lembut. “Sudahlah, maafin aja ya. Nggak ada gunanya menyimpan dendam. Ingat, Tia, kamu lagi hamil. Jangan biarkan hal sekecil apa pun mengganggu pikiran kamu. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa. Kamu paham maksudku kan?”“Apa? Maafin? Nggak semudah itu, Bi. Kamu nggak akan ngerti apa yang aku dan mamaku rasain. Kamu nggak akan paham gimana pahitnya masa kecil aku dulu. Kamu salah kalau bilang aku dendam. Aku hanya belum bis
Ada taman kecil di area rumah sakit. Berada tepat di sisi utara gedung. Rei dan Tatiana duduk di sana. Tidak hanya mereka berdua tapi juga ada beberapa orang lainnya yang duduk di bangku-bangku panjang di bawah pohon rindang. Di salah satu bangku itu Rei dan Tatiana mengambil tempat. Tempat ini asri sekali. Dengan rumpu-rumput hijau yang menyegarkan mata juga tanaman-tanaman yang sangat terawat. Sudah sekian menit keduanya berada di sini. Tanpa kata dan suara. Rei tahu, dengan Tatiana mengajaknya keluar tadi, pasti ada yang ingin disampaikannya. Mungkin Tatiana ingin bercerita banyak padanya, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Rei membiarkan saja dulu. Dia tahu pasti Tatiana butuh waktu untuk membuang sesak.Pandangan keduanya sama-sama tertuju pada suster yang mendorong kursi roda. Di atasnya terduduk lemah seorang lelaki tua yang tampaknya tidak berdaya bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Tiba-tiba Tatiana langsung ingat Wiryawan. Bagaimana kalau seandainya Wiryawan y
Rei kemudian menjadi heran dan berpikir sendiri. Bagaimana bisa Tatiana berubah pikiran? Padahal tadi Tatiana terlihat emosi saat menceritakan betapa Wiryawan datang menemuinya untuk meminta maaf dengan begitu enteng. Seolah baginya bagaikan semudah membalikkan telapak tangan.“Tia, kalau boleh aku tahu kenapa kamu mau memaafkan dia?” Rei mengungkit pelan-pelan isi hati Tatiana.Tatiana tidak segera menjawab. Demi tuhan sebenarnya tidak akan semudah itu baginya memberi maaf pada orang yang sudah membuat hidupnya tidak lagi indah. “Aku nggak tahu. Mungkin biar kepalaku agak ringan aja,” ujar Tatiana asal. Dia tidak mungkin mengatakan pada Rei pikiran lain yang melintas di kepalanya. Tidak. Tatiana tidak akan mengatakannya. Biarlah. Lebih baik hanya dirinya sendiri yang tahu alasannya.“Bagus, Tia. Aku suka cara kamu. Memang nggak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Paling nggak setelah ini kamu akan merasa jauh lebih lega.”“Iya." Tatiana tersenyum tipis.“Oh iya, aku la
Hari mulai gelap. Dan mereka juga baru menempuh setengah perjalanan. Mario yang mengemudi pelan justru membuat Tatiana merasa mual. “Yo, bisa lebih kencang lagi? Rasanya saya mual,” pinta Tatiana karena sudah tidak tahan. Yang dia yakini, berada di dalam mobil yang beringsut seperti siput ini lama-lama dia tidak akan mampu bertahan. Tatiana tidak menjamin tidak akan muntah sepuluh menit lagi kalau cara mengemudi Mario terus seperti ini.“Maaf, Bu Tia, saya pikir karena Bu Tia lagi hamil makanya saya pelan-pelan,” jawab Mario beralasan.“Yo, minggir di depan,” suruh Bian agar Mario menepi.“Di depan, Pak? Kita mau ngapain?”“Nggak usah banyak tanya, Yo, berhenti!” perintah Bian lebih tegas.“Baik, Pak.” Mario akhirnya menepikan mobil dan berhenti di pinggir jalan, sesuai dengan keinginan Bian.“Sekarang kamu turun,” perintah Bian berikutnya. “Maksudnya, Pak?” Mario masih belum paham kenapa Bian menyuruhnya turun di pinggir jalan seperti ini.“Kamu pulang pakai taksi.”“Tapi, Pak--““
Tatiana baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah saat Bian menghadang di depannya.“Aww…!” Pekikan kecil meluncur bebas dari mulutnya ketika tiba-tiba saja Bian menarik tali bathrobe yang dia gunakan.Bian tersenyum jahil melihat tubuh setengah polos istrinya itu akibat keusilannya sendiri. Bian merasa masih menginginkannya dan menyambung kembali romansa mereka di mobil tadi. Bian tidak mengerti, semakin intense interaksinya dengan Tatiana, perasaan sayangnya pun kian menguat.“Bi, udahlah…,” larang Tatiana saat Bian terus memegang tali bathrobe dan tidak ada tanda-tanda akan melepaskannya.Bian menunjuk pipinya, memberi isyarat agar Tatiana mengecupnya.Tatiana menghela napas. Meski awalnya merasa keberatan tapi kemudian Tatiana memenuhinya juga. Sedikit berjingkat, Tatiana menempelkan bibirnya di pipi Bian.Bian tersenyum senang lantas melepaskan tali bathrobe. “Kalau gini kan bagus, nggak perlu lagi pake tarik-tarikan.”Tatiana tersenyum sekilas l
Rei yang tidak tahu apa-apa tentu saja kaget saat tiba-tiba Bian menyerangnya melalui telepon. Tadi sebenarnya dia hampir saja tidur, tapi handphonenya yang berbunyi membuat kantuknya langsung terusir. Bahkan Rei merasa nyawanya masih berada di awang-awang, belum kembali seutuhnya padanya.“Bi, coba tenang dulu, bisa kan ngomong baik-baik?” ujar Rei sambil mengusap muka dan menutup mulutnya yang menguap.“Baik-baik gimana lagi, Rei? Apa kata-kataku kurang jelas? Tia udah bilang semuanya kalau kamu minta buatin kue ulang tahun buat Lala sama menemani ke sekolah. Kenapa harus Tia? Kenapa harus istriku? Memangnya nggak ada yang lain?”“Bi, aku--“Tut…tut…tut… Bian sudah mematikan telepon sebelum Rei sempat menjawab dan memberi penjelasan. Bian meletakkan gawainya dengan kasar di atas nakas. Tatiana yang memerhatikannya sejak tadi hanya bisa diam sambil menilai di dalam hati. Di antara banyak sifat Bian yang berubah menjadi lebih baik, satu-satunya yang tidak bisa dia ubah hanya karakte
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa