“Nanti kamu akan tahu baik atau buruknya.” Bian menjawab seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat yang tepat untuk bicara.“Kamu jangan sok-sok pake rahasia gitu deh, bilang aja kenapa sih?” Gladys semakin penasaran oleh apa yang akan disampaikan Bian.Sekali lagi Bian menatap wajah Gladys. Rasa tidak tega sempat muncul, terlebih ketika satu per satu kilasan memori hubungan mereka bergantian melintas. Namun sejauh ini Bian masih mampu bertahan. Dia sudah membulatkan tekad. Satu-satunya pilihan baginya adalah Tatiana. Bian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang Tatiana berikan padanya atau dia kehilangan Tatiana selamanya.“Dys, ayo kita bicara di sana.” Bian menggamit lengan Gladys, mengajaknya menjauh dari keramaian agar bisa bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada gangguan apa pun.“Bilang dulu yang mau dibicarakan cerita baik atau buruk? Pokoknya aku nggak mau dengar kalau cerita buruk.” Gladys menutup telinganya kuat-kuat, bersikeras tid
Situasi tidak nyaman itu pun berakhir setelah sesi wawancara selesai. Dan sekarang hanya tinggal mereka bertiga menyisakan kecanggungan baru. Bian memandang pada Gladys yang berdiri di sisi kirinya. Perempuan itu balas menatap Bian dengan penuh arti. Hanya sesaat, karena kemudian Gladys pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun.Bian tahu, pasti Gladys sedih karena tidak dianggap seperti tadi. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena hatinya sudah bulat untuk memilihTatiana, bukan Gladys.“Kamu nggak jadi ngomong sama pacar kamu?” tanya Tatiana. Tatiana masih ingat janji Bian yang akan berbicara serius dengan Gladys dan mengakhiri hubungan mereka.“Tia, jangan bilang kayak gitu, dia bukan pacarku,” sangkal Bian. Dia tidak suka mendengar sebutan Tatiana untuk Gladys.‘’Selama kamu belum putus sama dia, itu artinya kalian masih punya hubungan,” balas Tatiana berargumen.“Iya, kamu sabar ya, nanti setelah selesai acara kita ngomong bertiga.” Bian berjanji lagi.Tatiana mengganggu
Tatiana berjalan mengikuti arah yang tadi Wiryawan tunjukkan. Dia sedikit memacu langkahnya sebelum terlambat dan memuntahkannya di jalan. Saat berhasil menemukannya dia segera masuk. Ada dua bilik di dalam toilet tersebut.Tatiana tidak masuk ke dalamnya, melainkan langsung muntah di wastafel. Meskipun sering disebut morning sickness, tapi Tatiana mengalaminya tidak hanya saat pagi, melainkan sepanjang hari. Tatiana tidak tahu berapa lama lagi akan menjalani all day sickness seperti ini. Tapi Tatiana sedikit pun tidak akan mengeluh. Dia menikmati setiap prosesnya karena Tatiana yakin apa yang dia alami dalam perjalanan hidupnya sekarang merupakan hal yang akan dirindukannya pada suatu hari nanti.Tatiana mengatur napas sambil menatap refleksi dirinya sendiri di kaca wastafel. Mukanya sedikit pucat. Dan sekarang dia merasa kesusahan menahan ngantuk. Mungkin karena dia kurang tidur akibat Bian yang memaksanya lembur. Ingat itu semua, Tatiana tersenyum getir. Baru
Bian dan Tatiana kembali ke tempat acara diadakan. Sudah menunggu sejak tadi tapi acara masih belum dimulai. Duduk di samping Bian, mata Tatiana menjelajah mengitari seisi ruangan untuk mencari sosok Rei. Dari tadi Tatiana tidak melihat sosok lelaki itu. Lebih tepatnya sejak mereka datang ke sini dan Bian menariknya dari sisi Rei. Akhirnya Tatiana menemukan Rei sedang duduk di kursi belakang paling kanan. Saat Tatiana memandang padanya ternyata Rei juga sedang menatapnya. Tatiana melambaikan tangan pada Rei dan memberi isyarat agar pindah duduk ke kursi disebelahnya yang kebetulan memang kosong. Tapi Rei hanya diam sambil memandangnya dengan tatapan sendu. Rei kenapa ya? Dia kelihatan sedih. Auranya juga tampak berbeda. Apa dia sedang ada masalah?“Mbak Tia, di depan ada Ibu Alya, katanya mau ketemu sebentar.” Pegawai Wiryawan yang mengurus konsumsi datang memberitahu Tatiana.“Iya, Mbak, makasih, saya akan ke sana sekarang.” Tatiana segera ber
Saat membuka mata, yang pertama kali dilihat Tatiana adalah Bian yang sedang duduk di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya. Hal lain yang tertangkap oleh netranya adalah ruangan tempatnya berada yang didominasi oleh warna putih. Tanpa perlu dijelaskan, Tatiana sudah tahu tempatnya berada sekarang. Terlebih ketika menghirup bau obat-obatan, antiseptik, karbol, atau apa pun namanya. Pasti saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa? Apa yang sudah terjadi? “Kamu sudah bangun?” Bian menyadari hal itu ketika merasakan gerakan tangan Tatiana dalam genggamannya. “Bi, aku kenapa?” lirih suara Tatiana. Dia ingin segera tahu apa yang sudah terjadi. Atau jangan-jangan tadi dia pingsan?“Tia, tadi kamu pingsan.” Bian menjawab sambil mengusap halus kepala Tatiana.Oh, ternyata benar dugaannya. Tatiana mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan kesadaran diri. Wajah lembut Alya yang pertama kali terbayang olehnya. Selanjutnya raut tegas Wiryawan serta muka cant
“Jadi ceritanya mama sama orang itu kawin lari?” celetukan lugas Sandra membuat semua yang ada di sana memandang padanya. Selama ini Alya selalu menutup rapat-rapat cerita tentang pernikahannya dengan Wiryawan dari siapa pun. Terlebih dari kedua anaknya. Bahkan Tatiana dan Sandra tidak tahu menahu asal keluarganya. Yang keduanya ketahui, mereka hanya memiliki Alya. Satu-satunya keluarga dan orang tua yang tersisa.“Ma, jawab, Ma, jangan tanggung-tanggung, ceritakan semuanya sekarang.” Kali ini Tatiana yang bicara.“Iya. Mama dan dia kawin lari karena orang tua mama atau kakek dan nenek kalian tidak memberi restu.”Tatiana dan Sandra saling bertatapan penuh tanda tanya. Selama ini Alya tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupannya. Setiap kali mereka bertanya di mana keluarga mereka yang lain atau minimal dimana keberadaan kakek dan nenek keduanya, Alya hanya menjawab kalau mereka sudah lama meninggal. Hanya informasi itu yang bisa mereka korek dari mulut Alya.“Maaf kalau aku l
Alya dan Sandra sudah pulang dengan diantar Mario. Sekarang hanya tinggal Bian dan Tatiana. Keduanya sama-sama terdiam merenungi peristiwa tadi. Tatiana tidak mengerti kenapa semudah itu bagi Wiryawan untuk meminta maaf padanya. Menghilang puluhan tahun, datang-datang hanya untuk meminta maaf? Situ sehat?“Aku nggak ngerti, Bi, kenapa dia gampang banget minta maaf, perasaannya di mana sih? Atau jangan-jangan dia nggak punya perasaan?”Bian yang berbaring di sebelah Tatiana di atas ranjang rumah sakit mengusap halus pipi istrinya itu, lantas mengecupnya lembut. “Sudahlah, maafin aja ya. Nggak ada gunanya menyimpan dendam. Ingat, Tia, kamu lagi hamil. Jangan biarkan hal sekecil apa pun mengganggu pikiran kamu. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa. Kamu paham maksudku kan?”“Apa? Maafin? Nggak semudah itu, Bi. Kamu nggak akan ngerti apa yang aku dan mamaku rasain. Kamu nggak akan paham gimana pahitnya masa kecil aku dulu. Kamu salah kalau bilang aku dendam. Aku hanya belum bis
Ada taman kecil di area rumah sakit. Berada tepat di sisi utara gedung. Rei dan Tatiana duduk di sana. Tidak hanya mereka berdua tapi juga ada beberapa orang lainnya yang duduk di bangku-bangku panjang di bawah pohon rindang. Di salah satu bangku itu Rei dan Tatiana mengambil tempat. Tempat ini asri sekali. Dengan rumpu-rumput hijau yang menyegarkan mata juga tanaman-tanaman yang sangat terawat. Sudah sekian menit keduanya berada di sini. Tanpa kata dan suara. Rei tahu, dengan Tatiana mengajaknya keluar tadi, pasti ada yang ingin disampaikannya. Mungkin Tatiana ingin bercerita banyak padanya, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Rei membiarkan saja dulu. Dia tahu pasti Tatiana butuh waktu untuk membuang sesak.Pandangan keduanya sama-sama tertuju pada suster yang mendorong kursi roda. Di atasnya terduduk lemah seorang lelaki tua yang tampaknya tidak berdaya bahkan untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Tiba-tiba Tatiana langsung ingat Wiryawan. Bagaimana kalau seandainya Wiryawan y
Clara keluar dari kamar Lala dan bertemu dengan Rei di ruang tengah.“Sudah mau pulang?” tanya Rei pada Clara melihat tas yang tersampir di pundak kanan perempuan itu.“Iya, aku pikir tugasku sudah selesai di sini. Boleh kan aku pulang sekarang?”“Boleh, aku juga akan pergi ke kantor polisi,” kata Rei memberitahu.“Kantor polisi? Untuk apa? Apa yang akan kamu lakukan di sana?” Kerutan dalam tercipta di dahi Clara.“Aku pikir mungkin sebaiknya melaporkan tentang masalah Flo. Aku sudah mencoba mencarinya dengan menggunakan caraku sendiri, namun tidak berhasil. Siapa tahu akan berhasil jika diserahkan pada ahlinya.”Clara terdiam selama beberapa detik seakan sedang memikirkan sesuatu. Begitu merasa yakin, gadis itu kemudian mengungkapkan pikirannya yang tersimpan pada Rei.“Rei, aku punya kerabat yang kebetulan kerja di sana. Mungkin dia bisa membantumu dan prosesnya pun akan lebih cepat. Kalau kamu setuju aku bersedia mengenalkannya padamu. Gimana?”“Tentu saja aku mau. Berapa bayarann
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan
“Hal ini biasa saja terjadi pada wanita hamil. Namanya juga hamil muda, nanti mual dan muntahnya akan hilang setelah lewat bulan ketiga,” jelas dokter yang memeriksa Flo sore itu. “Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dok?” tanya Flo khawatir. Seluruh badannya terasa lemas karena sejak tadi sudah muntah berkali-kali. Dan dia rasa hari ini adalah puncaknya. Rasanya Flo tidak kuat.Dokter mengangguk meyakinkan. “Kandungannya sehat dan ibu tidak perlu khawatir. Setelah ini saya beri resep obat yang harus ditebus di apotik. Nanti petugas di sana akan menerangkan aturan dan cara pakainya.”Anne yang menemani Flo sore itu ke dokter kandungan menerima resep dari dokter lalu menuntun Flo keluar dari ruangan dokter. Sedikit pun adik tirinya itu tidak melepaskan pegangan tangannya dari Flo. Dia khawatir kalau sekali saja melepaskan tangannya maka Flo akan jatuh saking lemasnya. Padahal dalam keadaan normal sebenarnya Flo adalah seorang wanita yang kuat.“Tunggu di sini dulu, Flo, biar aku u
Sudah hari kelima Flo menghilang. Rei sudah mencarinya ke mana saja, tapi nihil. Istrinya itu tidak ada di mana-mana. Rei sempat berpikir untuk melapor ke kantor polisi atas kasus orang hilang. Tapi setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak perlu. Rei rasa Flo pasti berada di suatu tempat dan dia bersembunyi di sana. Mungkin pada saatnya nanti Flo akan menunjukkan diri.“Mommy Flo mana, Pa?” tanya Lala keheranan saat Rei yang menjemputnya ke sekolah setelah summer camp selesai.Rei terbatuk. Seharusnya dia sudah memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya dan menyiapkan jawabannya. Putrinya itu pasti tidak akan tinggal diam. Nyatanya Rei malah gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Mommy, mommy pergi, La,” jawabnya kemudian.“Pergi ke mana, Pa?” tanya Lala ingin tahu.“Mommy ke luar kota.”“Ke luar kota? Mommy kerja ya, Pa?” Kening Lala berkerut dalam.Rei terpaksa berbohong lagi. “Iya, Sayang. Mommy diutus kantornya dan harus melaksanakannya.”“Sayang sekali ya, Pa, padahal aku ingin
Pagi hari saat Rei terbangun dia tidak menemukan Flo di sebelahnya. Diedarkannya pandangan melalui matanya yang berat dan belum terbuka sempurna ke setiap penjuru ruangan, tapi tetap tidak ada Flo di sana. Begitu pun saat dia melongok ke kamar mandi, hasilnya sama saja.Lantas Rei teringat apa yang terjadi semalam. Saat itu dia terlibat pertengkaran kecil dengan Flo. Dan… dia teringat akan kalimat terakhirnya.Astaga! Jangan-jangan Flo benar-benar pergi.Rei membuka lemari dan tidak menemukan baju-baju Flo di sana. Begitu dia melihat tempat penyimpanan tas, koper Flo juga sudah lenyap. Jadi benar dugaannya. Flo sudah pergi. Rei membatu di tempatnya. Ternyata begitu cara Flo menghadapi masalah. Flo childish. Bisanya main kabur, kecam Rei kecewa. Maunya Rei, apapun masalah mereka, Flo tetap bertahan di rumah. Karena dirinya pun tidak kemana-mana saat mereka terlibat perselisihan seperti ini.Lama Rei termangu sendiri sambil memikirkan apa yang terjadi. Sebelah tangannya menggenggam han
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”