Tatiana mengerjapkan mata berkali-kali. Kenyataan ini terlalu mengejutkan baginya. Sejak tadi hingga detik ini dia terus berusaha memercayai dirinya sendiri. Semua ini seperti di luar akal sehatnya. Yang terjadi hingga saat ini Bian tidak melepaskannya dari pelukan. Seolah dengan merenggangkannya sedikit saja maka Tatiana akan lolos dan lari darinya.Sekali lagi Tatiana berusaha memercayai kenyataan. Semua terlalu cepat baginya dan sulit untuk dipercayainya. Nyatanya saat ini kepalanya berada di atas lengan Bian dan menjadikannya sebagai bantal. Sejak tadi juga Bian tidak pernah berhenti mengusap-usap kepalanya. Menelusupkan jari ke tiap helai rambutnya yang panjang dan hitam. Tak terhitung lagi entah sudah berapa kali Bian memberinya kecupan. Tidak hanya di pipi, tapi hampir di seluruh bagian tubuhnya. Bian memperlakukannya bagai boneka yang bisa dia mainkan sepuas hati. Tapi kali ini Tatiana rela. Di menyukai permainan yang Bian lakukan. Sebuah permainan menyenangkan yang membuatny
Sejak keluar dari ruangan dokter, menebus obat di apotik, hingga akhirnya sampai ke mobil, tangan Bian tidak beranjak dari pinggang Tatiana. Sampai-sampai Tatiana merasa agak risih saat beberapa orang yang tidak terbiasa melihat kemesraan mereka melayangkan tatapan aneh.“Ini nanti kamu minum susunya dengan teratur ya, jangan sampai lupa.” Bian memasukkan kembali susu hamil dengan rasa coklat yang tadi dibeli di apotik ke dalam kantong.Lelaki itu kemudian menyalakan mesin mobil. Karena Tatiana tidak kunjung menjawab, dia pun kembali mengingatkan. “Tia, susunya jangan lupa diminum tiga kali sehari.”“Iya, Bi,” sahut Tatiana singkat.“Terus kamu nggak lupa kan kata dokter tadi? Perutnya nggak boleh kosong, nggak apa-apa makannya sedikit tapi sering,” ujar Bian lagi.Dan yang bisa Tatiana lakukan hanya menganggukkan kepala. Perempuan itu seolah kehilangan banyak kata. Hingga saat ini dia masih berupaya beradaptasi dengan perubahan sikap Bi
Tatiana merebahkan diri di kasur. Hari ini cukup melelahkan baginya. Semua yang dialaminya begitu mengejutkan. Mulai dari Bian yang mengajaknya ke rumah, keputusan mendadak untuk balikan lagi, periksa kandungan ke dokter, hingga pernyataan Bian di telepon yang akan memutuskan Gladys. Semua terjadi begitu cepat dan mengejutkannya. Tatiana juga baru ingat sejak keluar dari kantor siang tadi belum memberitahu kalau tidak akan balik lagi. Rei juga tidak menghubunginya. Mungkin dia sudah paham sendiri dan tidak ingin mengganggu.Bian yang baru selesai mengganti baju ikut berbaring miring di sebelah Tatiana. Tangannya kembali melingkar di perut istrinya itu. “Kamu mikirin apa lagi?” tanyanya saat melihat sorot mata Tatiana yang menerawang jauh.“Bi, aku lupa kasih tahu Rei kalau tadi nggak balik lagi ke kantor.”“Udahlah, nggak usah dipikirin. Dia pasti ngerti kok.”Tatiana terdiam sesaat, namun kemudian dia pun teringat sesuatu. “Astaga! Aku belum kasih tahu mama.” Tatiana akan bergerak
To love someone is nothing, to be loved by someone is something, but to be loved by the one you love is everything.Itu quote sederhana dari Bill Russel. Tapi sepertinya mendiskripsikan diri Tatiana dengan begitu baik. Seperti pagi ini, dia berada di sini. Di sisi seseorang yang keberadaannya masih berada di zona abu-abu dalam hati Tatiana. Tapi orang itu mengaku menyayanginya, yang menurut Tatiana mengarah pada cinta. Meski hingga detik ini Bian tidak pernah bilang cinta, hanya sayang. Itu seingatnya.Perlahan kedua kelopak mata Tatiana terbuka. Perempuan itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya lampu di sepasang matanya. Pandangannya kemudian turun ke bawah, memerhatikan dirinya sendiri, tepat pada selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya mencoba mengintip ke balik selimut. Dan dia tidak menemukan penutup yang lain kecuali selimut itu sendiri.Jadi yang kemarin itu nyata? Dari tubuhnya sendiri, mata Tatiana kemudian pindah pada sosok di sebelahnya. Bian masih tertidur pulas.
Bian mengantar Tatiana langsung ke kantornya. Sepanjang perjalanan Tatiana tidak banyak bicara dan lebih memilih memandang jalan. Jujur saja sejak bangun tidur tadi perasaannya mulai tidak enak. Tapi Tatiana terus mencoba berpikir positif dan menepis semua pikiran buruk yang mencoba mengisi penuh kepalanya.“Mikirin apa lagi, Tia?” tegur Bian pada Tatiana yang menyimpan suara sejak tadi. Setiap kali dia menoleh, Tatiana masih tak lepas memandang jalan. “Nggak mikir apa-apa,” jawab Tatiana sembari menyembunyikan keresahan hatinya jauh-jauh.“Kamu mual lagi? Pusing? Atau pengen muntah?” tebak Bian mengira-ngira.Tatiana menggelengkan kepala. “Nggak kok,” jawabnya seraya tersenyum guna meyakinkan Bian kalau dia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Bian tersenyum kecil dan mencoba percaya, lalu kembali memusatkan perhatian pada lalu lintas di depannya. Terbersit rencana untuk mengajak Tatiana makan siang bareng. Namun kemudian berbagai agenda kerjanya hari ini melintas
“Nanti kamu akan tahu baik atau buruknya.” Bian menjawab seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat yang tepat untuk bicara.“Kamu jangan sok-sok pake rahasia gitu deh, bilang aja kenapa sih?” Gladys semakin penasaran oleh apa yang akan disampaikan Bian.Sekali lagi Bian menatap wajah Gladys. Rasa tidak tega sempat muncul, terlebih ketika satu per satu kilasan memori hubungan mereka bergantian melintas. Namun sejauh ini Bian masih mampu bertahan. Dia sudah membulatkan tekad. Satu-satunya pilihan baginya adalah Tatiana. Bian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang Tatiana berikan padanya atau dia kehilangan Tatiana selamanya.“Dys, ayo kita bicara di sana.” Bian menggamit lengan Gladys, mengajaknya menjauh dari keramaian agar bisa bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada gangguan apa pun.“Bilang dulu yang mau dibicarakan cerita baik atau buruk? Pokoknya aku nggak mau dengar kalau cerita buruk.” Gladys menutup telinganya kuat-kuat, bersikeras tid
Situasi tidak nyaman itu pun berakhir setelah sesi wawancara selesai. Dan sekarang hanya tinggal mereka bertiga menyisakan kecanggungan baru. Bian memandang pada Gladys yang berdiri di sisi kirinya. Perempuan itu balas menatap Bian dengan penuh arti. Hanya sesaat, karena kemudian Gladys pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun.Bian tahu, pasti Gladys sedih karena tidak dianggap seperti tadi. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena hatinya sudah bulat untuk memilihTatiana, bukan Gladys.“Kamu nggak jadi ngomong sama pacar kamu?” tanya Tatiana. Tatiana masih ingat janji Bian yang akan berbicara serius dengan Gladys dan mengakhiri hubungan mereka.“Tia, jangan bilang kayak gitu, dia bukan pacarku,” sangkal Bian. Dia tidak suka mendengar sebutan Tatiana untuk Gladys.‘’Selama kamu belum putus sama dia, itu artinya kalian masih punya hubungan,” balas Tatiana berargumen.“Iya, kamu sabar ya, nanti setelah selesai acara kita ngomong bertiga.” Bian berjanji lagi.Tatiana mengganggu
Tatiana berjalan mengikuti arah yang tadi Wiryawan tunjukkan. Dia sedikit memacu langkahnya sebelum terlambat dan memuntahkannya di jalan. Saat berhasil menemukannya dia segera masuk. Ada dua bilik di dalam toilet tersebut.Tatiana tidak masuk ke dalamnya, melainkan langsung muntah di wastafel. Meskipun sering disebut morning sickness, tapi Tatiana mengalaminya tidak hanya saat pagi, melainkan sepanjang hari. Tatiana tidak tahu berapa lama lagi akan menjalani all day sickness seperti ini. Tapi Tatiana sedikit pun tidak akan mengeluh. Dia menikmati setiap prosesnya karena Tatiana yakin apa yang dia alami dalam perjalanan hidupnya sekarang merupakan hal yang akan dirindukannya pada suatu hari nanti.Tatiana mengatur napas sambil menatap refleksi dirinya sendiri di kaca wastafel. Mukanya sedikit pucat. Dan sekarang dia merasa kesusahan menahan ngantuk. Mungkin karena dia kurang tidur akibat Bian yang memaksanya lembur. Ingat itu semua, Tatiana tersenyum getir. Baru