Baru saja Bian pergi, Rei masuk ke ruangan Tatiana. “Bian sudah pergi?” tanyanya.“Sudah, barusan,” sahut Tatiana singkat. Dia sedang tidak ingin berbicara banyak. Sikap Bian tadi jujur saja membuatnya merasa tegang. “Tapi dia nggak nyakitin kamu kan?” tanya Rei tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.“Gimana bisa kamu bilang begitu?”“Yaa… nanya aja sih.” Rei mengembangkan tangan. Tatiana tersenyum tipis. “Nggak. Tadi dia ngomongnya memang agak keras, tapi aku udah kebal. Kalau nggak keras dan nggak suka nyakitin bukan Bian namanya. Iya kan?”Rei meningkahi ucapan Tatiana dengan tawa. Sampai sekarang dia masih terheran-heran kenapa bisa sesantai itu Tatiana menanggapinya.“Terus tadi dia juga mengancamku. Katanya aku belum tahu siapa dia. Memangnya siapa sih dia, Rei?” Tatiana meledakkan tawa diujung kalimatnya. Kadang dia bingung sendiri dengan tingkah Bian yang konyol. Datang-datang langsung marah, men
“Pak Bian, saya stand by di sini atau ada tugas yang lain?” tanya Mario setelah mengantar Bian ke kantor.“Sekarang kamu beli tempat tidur yang baru.”“Untuk di mana, Pak?” tanya Mario dengan kening berkerut. Seingatnya semua kamar di rumah Bian sudah ada tempat tidurnya.“Untuk di kamarku. Jadi yang lama kamu keluarin soalnya udah kotor," ucap Bian. Dia kembali teringat kasurnya yang basah.“Kotor?” ulang Mario masih belum paham. Menurutnya kalau kotor bukankah bisa dibersihkan? Atau cukup dengan mengganti sprei. Tidak perlu sampai harus membeli yang baru. Apa memang nodanya permanen? Ada-ada saja.“Udah deh, Yo, nggak usah banyak tanya, pokoknya pas pulang nanti aku mau tempat tidurku sudah yang baru,” tandas Bian mengakhiri obrolan mereka, lalu turun dari mobil. Mario hanya diam. Yang dia tahu, dia harus segera melaksanakan perintah Bian.Bian tidak menghiraukan sapaan para pegawai yang berpapasan dengannya.Yang dia yakini mereka hanya berbasa-basi dan terlihat baik di depannya. S
Pagi-pagi sekali Tatiana sudah dikejutkan oleh kehadiran Hummer silver yang parkir di depan rumahnya. Itu mobil Bian yang selama ini dia pakai kemana-mana. Baru saja dia akan bertanya bagaimana bisa mobil itu ada di sini, rasa ingin tahunya itu segera terjawab saat Reza keluar dari dalam mobil itu.“Bu Tia, saya disuruh Pak Bian untuk menjemput Ibu.”“Mau ke mana memangnya?” tanya Tatiana. Dia tidak memiliki janji apa pun dengan siapa pun apalagi dengan Bian.“Ke kantor, Bu. Saya yang akan mengantar jemput Ibu mulai hari ini dan seterusnya.”“Duh, Za, sebelumnya makasih, tapi saya bisa berangkat sendiri kok. Maaf ya…,” tolak Tatiana halus. Dia tidak mengerti entah apalagi maksud Bian dan rencana yang sedang dijalankannya.“Tolonglah, Bu, nanti Pak Bian bisa marah sama saya, Bu.”“Itu sudah risikomu. Maaf ya, saya tutup pintunya, saya mau mandi dulu.” Tatiana langsung menghilang di balik pintu meninggalkan Reza yang termangu sendiri.Pasti Bian akan marah besar kalau begini. Padahal t
Bian pikir kalau dia tidak melakukan apa-apa dan tetap berada di kantor, tidak akan ada gunanya. Mungkin dia harus langsung menemui Tatiana dan mengajaknya makan siang. Biarlah, apa pun hasilnya itu urusan nanti. Yang penting dia harus menunjukkan niat baiknya dulu.Pukul setengah dua belas, Bian sudah berada di parkiran mobil. Dia sudah membulatkan tekad untuk menemui Tatiana langsung di kantornya.“Kamu nggak usah ikut, biar aku pergi sendiri,” ujar Bian pada Mario.“Baik, Pak, ini kuncinya.” Mario memberikan kunci mobil pada Bian. Bian memang kerap pergi sendiri pada waktu-waktu tertentu apalagi kalau akan menemui Gladys. Dan Mario tidak tahu sekarang Bian akan ke mana. Ingin bertanya tapi takut kena marah. Apalagi akhir-akhir ini Bian terlihat seperti harimau kelaparan.***Tatiana sedang berada di ruangannya ketika pintu tiba-tiba dibuka dari luar tanpa aba-aba. Tidak ada ketukan atau suara pengetuk yang akan meminta izin ingin memasuki ruangannya. Tatiana sedikit kaget saat meli
Tatiana menepis rangkulan tangan Bian di pinggangnya, namun Bian melingkarkannya lagi. Begitu terus sampai tiga kali.Mengedarkan mata, Tatiana mengamati setiap sudut rumah Bian. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sama sekali. Satu-satunya yang paling dirindukan Tatiana dari rumah itu adalah kamarnya bersama Bian. “Jadi kamu mau ke kamar dulu atau langsung makan?” tanya Bian saat melihat mata Tatiana yang berhenti di pintu kamar.“Makan aja,” sahut Tatiana singkat.Bian kembali merangkul Tatiana menuju ruang makan. Dari jauh Tatiana sudah menghirup aroma bawang goreng yang mengundang rasa mualnya datang. Sontak dia menutup hidung guna menghalangi agar bau itu tidak terlalu dalam terhirup olehnya.“Kamu kenapa, Tia?” Bian bertanya melihat Tatiana yang menutup hidungnya.“Aku mual, Bi, aku nggak suka bau bawang, kepalaku langsung pusing,” keluh Tatiana menyampaikan apa yang dirasakannya.“Kalau gitu kamu istirahat di kamar dulu sampai pusingnya hilang, gimana?”“Di kamar?”“I
Tatiana menggeliat pelan, kemudian membuka matanya perlahan. Dia berusaha mengenali tempatnya berada sekarang. Ini bukan kamar yang berada di rumah masa kecilnya. Tapi…Tatiana terkesiap saat menoleh ke samping dan melihat Bian berbaring di sebelahnya dengan tangan melingkar ke perutnya. Secepat kilat Tatiana menepis tangan Bian dan segera duduk. Apa ini memang Bian? Apa dia tidak sedang bermimpi? Astaga! Apa yang sudah terjadi? Kenapa dia berada di sini? Tatiana berusaha mengumpulkan serpihan ingatan guna mengingat apa yang sudah terjadi. Dia butuh waktu beberapa detik hingga ingatannya terkumpul menjadi satu.Ah, iya… Tadi dia menumpang istirahat karena kepalanya pusing. Maksudnya hanya sebentar, tahu-tahu malah ketiduran.Tunggu dulu! Sudah jam berapa sekarang? Seingatnya tadi dia keluar dari kantor jam dua belas lewat.Astaga! Tatiana kembali kaget saat matanya beradu dengan jam dinding. Jarum pendek berada di angka empat, sedangkan jarum panjang di angka dua. Ternyata sudah
Tatiana mengerjapkan mata berkali-kali. Kenyataan ini terlalu mengejutkan baginya. Sejak tadi hingga detik ini dia terus berusaha memercayai dirinya sendiri. Semua ini seperti di luar akal sehatnya. Yang terjadi hingga saat ini Bian tidak melepaskannya dari pelukan. Seolah dengan merenggangkannya sedikit saja maka Tatiana akan lolos dan lari darinya.Sekali lagi Tatiana berusaha memercayai kenyataan. Semua terlalu cepat baginya dan sulit untuk dipercayainya. Nyatanya saat ini kepalanya berada di atas lengan Bian dan menjadikannya sebagai bantal. Sejak tadi juga Bian tidak pernah berhenti mengusap-usap kepalanya. Menelusupkan jari ke tiap helai rambutnya yang panjang dan hitam. Tak terhitung lagi entah sudah berapa kali Bian memberinya kecupan. Tidak hanya di pipi, tapi hampir di seluruh bagian tubuhnya. Bian memperlakukannya bagai boneka yang bisa dia mainkan sepuas hati. Tapi kali ini Tatiana rela. Di menyukai permainan yang Bian lakukan. Sebuah permainan menyenangkan yang membuatny
Sejak keluar dari ruangan dokter, menebus obat di apotik, hingga akhirnya sampai ke mobil, tangan Bian tidak beranjak dari pinggang Tatiana. Sampai-sampai Tatiana merasa agak risih saat beberapa orang yang tidak terbiasa melihat kemesraan mereka melayangkan tatapan aneh.“Ini nanti kamu minum susunya dengan teratur ya, jangan sampai lupa.” Bian memasukkan kembali susu hamil dengan rasa coklat yang tadi dibeli di apotik ke dalam kantong.Lelaki itu kemudian menyalakan mesin mobil. Karena Tatiana tidak kunjung menjawab, dia pun kembali mengingatkan. “Tia, susunya jangan lupa diminum tiga kali sehari.”“Iya, Bi,” sahut Tatiana singkat.“Terus kamu nggak lupa kan kata dokter tadi? Perutnya nggak boleh kosong, nggak apa-apa makannya sedikit tapi sering,” ujar Bian lagi.Dan yang bisa Tatiana lakukan hanya menganggukkan kepala. Perempuan itu seolah kehilangan banyak kata. Hingga saat ini dia masih berupaya beradaptasi dengan perubahan sikap Bi
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan
“Hal ini biasa saja terjadi pada wanita hamil. Namanya juga hamil muda, nanti mual dan muntahnya akan hilang setelah lewat bulan ketiga,” jelas dokter yang memeriksa Flo sore itu. “Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dok?” tanya Flo khawatir. Seluruh badannya terasa lemas karena sejak tadi sudah muntah berkali-kali. Dan dia rasa hari ini adalah puncaknya. Rasanya Flo tidak kuat.Dokter mengangguk meyakinkan. “Kandungannya sehat dan ibu tidak perlu khawatir. Setelah ini saya beri resep obat yang harus ditebus di apotik. Nanti petugas di sana akan menerangkan aturan dan cara pakainya.”Anne yang menemani Flo sore itu ke dokter kandungan menerima resep dari dokter lalu menuntun Flo keluar dari ruangan dokter. Sedikit pun adik tirinya itu tidak melepaskan pegangan tangannya dari Flo. Dia khawatir kalau sekali saja melepaskan tangannya maka Flo akan jatuh saking lemasnya. Padahal dalam keadaan normal sebenarnya Flo adalah seorang wanita yang kuat.“Tunggu di sini dulu, Flo, biar aku u
Sudah hari kelima Flo menghilang. Rei sudah mencarinya ke mana saja, tapi nihil. Istrinya itu tidak ada di mana-mana. Rei sempat berpikir untuk melapor ke kantor polisi atas kasus orang hilang. Tapi setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak perlu. Rei rasa Flo pasti berada di suatu tempat dan dia bersembunyi di sana. Mungkin pada saatnya nanti Flo akan menunjukkan diri.“Mommy Flo mana, Pa?” tanya Lala keheranan saat Rei yang menjemputnya ke sekolah setelah summer camp selesai.Rei terbatuk. Seharusnya dia sudah memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya dan menyiapkan jawabannya. Putrinya itu pasti tidak akan tinggal diam. Nyatanya Rei malah gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Mommy, mommy pergi, La,” jawabnya kemudian.“Pergi ke mana, Pa?” tanya Lala ingin tahu.“Mommy ke luar kota.”“Ke luar kota? Mommy kerja ya, Pa?” Kening Lala berkerut dalam.Rei terpaksa berbohong lagi. “Iya, Sayang. Mommy diutus kantornya dan harus melaksanakannya.”“Sayang sekali ya, Pa, padahal aku ingin
Pagi hari saat Rei terbangun dia tidak menemukan Flo di sebelahnya. Diedarkannya pandangan melalui matanya yang berat dan belum terbuka sempurna ke setiap penjuru ruangan, tapi tetap tidak ada Flo di sana. Begitu pun saat dia melongok ke kamar mandi, hasilnya sama saja.Lantas Rei teringat apa yang terjadi semalam. Saat itu dia terlibat pertengkaran kecil dengan Flo. Dan… dia teringat akan kalimat terakhirnya.Astaga! Jangan-jangan Flo benar-benar pergi.Rei membuka lemari dan tidak menemukan baju-baju Flo di sana. Begitu dia melihat tempat penyimpanan tas, koper Flo juga sudah lenyap. Jadi benar dugaannya. Flo sudah pergi. Rei membatu di tempatnya. Ternyata begitu cara Flo menghadapi masalah. Flo childish. Bisanya main kabur, kecam Rei kecewa. Maunya Rei, apapun masalah mereka, Flo tetap bertahan di rumah. Karena dirinya pun tidak kemana-mana saat mereka terlibat perselisihan seperti ini.Lama Rei termangu sendiri sambil memikirkan apa yang terjadi. Sebelah tangannya menggenggam han
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”
Jam tiga dini hari.Rei menggeliat ketika merasa ada yang menegang di bagian bawah tubuhnya. Saat membuka mata dia mendapati Flo berada dalam pelukannya. Wajahnya begitu tenang dalam tidurnya yang lelap. Dalam diam Rei mengagumi kecantikannya. Di mata Rei dia semakin terlihat seperti Tatiana dengan muka polos tanpa riasan seperti ini.‘Dia bukan Tia, dia Flo.’ Rei mengingatkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh lagi dihantui bayang-bayang Tatiana. Karena tidak akan adil untuk Flo.Diusapnya rambut Flo dan dibelainya kepala perempuan itu penuh cinta. Adegan demi adegan percintaan mereka masih terbayang jelas di mata Rei. Bagaimana seorang Flo berhasil membangkitkan gairahnya yang sudah lama mati suri dan membahagiakannya sepenuh hati. Yang paling membuat Rei bersyukur Flo masih suci saat dimasukinya. Ternyata perempuan itu bisa menjaga dirinya dengan baik.Rei kembali tersentak ketika ada yang menyentaknya. Bukan istrinya, tapi berasal dari dirinya sendiri. Bagian bawahnya memberontak me