“Tia ...” Sekali lagi Bian memanggil Tatiana yang mematung di hadapannya.“Iya.” Tatiana menjawab sama seperti tadi.“Gimana kabar kamu?” Bian mengulangi kembali pertanyaannya.“Baik,” sahut Tia singkat dengan nada biasa. Sepenting itukah bagi Bian untuk mengetahui keadaannya? Terus setelah dia tahu keadaannya apa dia akan peduli?“Tapi kamu kayak lagi sakit.”“Iya, sakit hati.” Bian langsung terdiam. Dia merasa tersentil oleh jawaban Tatiana barusan.Tatiana lalu menarik langkah melintasi Bian. Dia tidak ingin lebih lama lagi berada di sana. “Tia, tunggu!” Bian menjangkau lengan Tatiana sehingga menghentikan langkah kakinya. “Aku mau bicara sebentar.”“Aku nggak punya banyak waktu, aku harus kerja.” Tatiana mencoba membebaskan tangan dari cekalan Bian.“Hanya sebentar, nggak akan lama.”“Kalau gitu bilang aja sekarang,” ujar Tatiana agar Bian segera mengatakannya. “Nggak di sini tapi. Bisa kan kita ngobrolnya di coffee shop bawah?”Tatiana melirik jam tangannya seraya mempertimba
Meninggalkan coffee shop, Tatiana menarik langkah panjang menuju lantai dua puluh lima. Bukan ke kantornya, tapi dia mampir di toilet. Tatiana rasa dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ucapan dan sikap Bian tadi membuatnya sakit, bahkan teramat sakit.Di depan kaca wastafel Tatiana berdiri sambil memandangi wajahnya sendiri. Berkali-kali dia mengerjap, menahan air matanya yang hampir saja tumpah. ‘Aku nggak boleh nangis, aku nggak boleh lemah. It’s okay, i’m fine.’ Tatiana mensugesti dirinya sendiri sama seperti sebelum-sebelumnya setiap kali dia merasa jatuh. Ini adalah fase paling terendah dalam hidupnya. Tapi sejauh ini Tatiana mampu bertahan. Dan dia yakin kali ini pun pasti bisa. ‘Aku nggak butuh dia. Aku bisa sendiri menjaga anak ini, sampai dia lahir, sampai dia besar, sampai dia dewasa.’Tatiana menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Dia mencoba berpikir positif dan membuang segala pikiran negatif. Ada atau tidak ada Bian hasilnya akan sama saja. Sekarang
Dua hari berlalu sejak pertemuan terakhir Bian dengan Tatiana. Namun hingga detik ini semua kata-kata Tatiana masih terngiang olehnya. Berdenging seperti lebah yang terus mengelilingi telinganya.“Aku hamil anak kamu. Anak kita berdua.”Nggak mungkin. Itu nggak mungkin terjadi. Bagaimana bisa? Sedangkan banyak orang yang sudah menunggu bertahun-tahun atau mungkin belasan tahun namun tak jua dianugerahi keturunan. Lalu apa kabar dengan dirinya dan Tatiana? Kenapa bisa seekspres itu? Melakukannya juga hanya dua kali. Rasanya agak sulit diterima logika Bian.Semakin keras Bian berusaha untuk mengenyahkan pikirannya tentang Tatiana, maka semakin kuat pula bertahta di ingatannya. Kenapa bisa seperti ini? Bian rasa dia butuh seseorang untuk bicara. Seseorang yang bisa mendengar uneg-unegnya lalu memberinya pencerahan. Bukan seseorang yang akan mencecar dan menghakiminya. Tapi siapa? Tora? Meskipun Bian kerap memperlakukan Tora seperti tempat sampah, dalam artian tempat dia membuang seg
“Tia, tolong maafkan aku.” Suara Bian terdengar lagi, menghalau lamunan singkat Tatiana.“Maaf untuk apa?” Tatiana akhirnya bersuara setelah sedari tadi menyimpan kata.“Karena waktu itu aku meragukan kamu dan anak kita.”Tatiana tersenyum miring. “Anak kita? Memangnya sekarang kamu udah yakin kalau dia anak kita? Kita kan baru melakukannya dua kali. Jadi gimana mungkin? Sedangkan orang yang sudah menikah bertahun-tahun saja banyak yang nggak punya anak. Iya kan?”Bian tak berkutik saat Tatiana membalikkan semua argumennya dulu. Sekarang dia merasa seperti menjilat air ludahnya sendiri.“Pulanglah! Sudah malam. Aku rasa kamu perlu beristirahat agar pikiranmu jernih. Oh iya, sekarang kamu nggak lagi mabuk kan? Maaf, aku tutup pintunya dulu.”Terdengar suara pintu yang ditutup setelahnya. Tatiana sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bian yang berdiri sendiri, terpaku dalam sepi.Sepertinya Bian harus mengapresiasi dirinya sendiri karena kali ini mampu membendung emosi. Hebatnya lagi
Pagi ini Bian tiba di kantor dengan kepala berat. Dia sudah terlambat, bahkan sangat terlambat. Tapi dia tidak peduli. Memangnya siapa yang akan menyalahkannya? Bian langsung menghempaskan tubuh ke atas kursi kerjanya yang empuk dan besar setelah masuk ke ruangannya. Mungkin tubuhnya jauh lebih ringan setelah pelepasan solo tadi pagi. Tapi rasa pusing di kepala sisa hangover semalam masih membekas. Sepasang matanya pun memandang nanar pada tumpukan dokumen di atas meja yang harus dia periksa. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Selembar amplop coklat yang tergeletak pasrah di sebelah dokumen-dokumen itu. Paling surat penawaran kerja sama, pikir Bian.Malas-malasan Bian mengambilnya. Mata lelaki itu kemudian melebar saat melihat nama pengirimnya. Dari Pengadilan Agama. Detak jantungnya mengencang saat itu juga. Dengan tidak sabaran Bian segera membuka amplop itu, atau lebih tepatnya merobek. Begitu terbuka Bian segera membacanya. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala tidak pe
Setelah berjibaku dengan kemacetan, serta menunggu lama di traffic light yang lampu hijaunya hanya menyala beberapa detik sedangkan lampu merahnya terasa sangat lama, Bian akhirnya sampai di kantor Rei.Dia memacu langkahnya dengan cepat. Begitu sulit untuk mentoleransi rasa sabar di saat-saat seperti ini. Beberapa orang yang mengenal Bian tersenyum sambil menyapa yang dibalasnya dengan anggukan samar, tanpa lengkungan bibir.Rasanya lantai dua puluh lima begitu jauh. Lift yang membawanya bergerak begitu lambat. Tidak ada bedanya saat berada di mobil tadi.Ting…Bian hampir saja keluar saat lift berhenti dan pintunya pun terbuka begitu seseorang masuk dan ikut bergabung bersamanya serta pengguna lift yang lain. Untung Bian segera sadar kalau sekarang masih berada di lantai lima belas.Ya Tuhan… Ternyata sesusah ini rasanya untuk bersabar. Bahkan untuk menunggu lift segera sampai saja terasa begitu berat.Ting…Pintu lift kembali terbuka. Dan Bian adalah orang paling pertama keluar da
Baru saja Bian pergi, Rei masuk ke ruangan Tatiana. “Bian sudah pergi?” tanyanya.“Sudah, barusan,” sahut Tatiana singkat. Dia sedang tidak ingin berbicara banyak. Sikap Bian tadi jujur saja membuatnya merasa tegang. “Tapi dia nggak nyakitin kamu kan?” tanya Rei tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.“Gimana bisa kamu bilang begitu?”“Yaa… nanya aja sih.” Rei mengembangkan tangan. Tatiana tersenyum tipis. “Nggak. Tadi dia ngomongnya memang agak keras, tapi aku udah kebal. Kalau nggak keras dan nggak suka nyakitin bukan Bian namanya. Iya kan?”Rei meningkahi ucapan Tatiana dengan tawa. Sampai sekarang dia masih terheran-heran kenapa bisa sesantai itu Tatiana menanggapinya.“Terus tadi dia juga mengancamku. Katanya aku belum tahu siapa dia. Memangnya siapa sih dia, Rei?” Tatiana meledakkan tawa diujung kalimatnya. Kadang dia bingung sendiri dengan tingkah Bian yang konyol. Datang-datang langsung marah, men
“Pak Bian, saya stand by di sini atau ada tugas yang lain?” tanya Mario setelah mengantar Bian ke kantor.“Sekarang kamu beli tempat tidur yang baru.”“Untuk di mana, Pak?” tanya Mario dengan kening berkerut. Seingatnya semua kamar di rumah Bian sudah ada tempat tidurnya.“Untuk di kamarku. Jadi yang lama kamu keluarin soalnya udah kotor," ucap Bian. Dia kembali teringat kasurnya yang basah.“Kotor?” ulang Mario masih belum paham. Menurutnya kalau kotor bukankah bisa dibersihkan? Atau cukup dengan mengganti sprei. Tidak perlu sampai harus membeli yang baru. Apa memang nodanya permanen? Ada-ada saja.“Udah deh, Yo, nggak usah banyak tanya, pokoknya pas pulang nanti aku mau tempat tidurku sudah yang baru,” tandas Bian mengakhiri obrolan mereka, lalu turun dari mobil. Mario hanya diam. Yang dia tahu, dia harus segera melaksanakan perintah Bian.Bian tidak menghiraukan sapaan para pegawai yang berpapasan dengannya.Yang dia yakini mereka hanya berbasa-basi dan terlihat baik di depannya. S
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan
“Hal ini biasa saja terjadi pada wanita hamil. Namanya juga hamil muda, nanti mual dan muntahnya akan hilang setelah lewat bulan ketiga,” jelas dokter yang memeriksa Flo sore itu. “Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dok?” tanya Flo khawatir. Seluruh badannya terasa lemas karena sejak tadi sudah muntah berkali-kali. Dan dia rasa hari ini adalah puncaknya. Rasanya Flo tidak kuat.Dokter mengangguk meyakinkan. “Kandungannya sehat dan ibu tidak perlu khawatir. Setelah ini saya beri resep obat yang harus ditebus di apotik. Nanti petugas di sana akan menerangkan aturan dan cara pakainya.”Anne yang menemani Flo sore itu ke dokter kandungan menerima resep dari dokter lalu menuntun Flo keluar dari ruangan dokter. Sedikit pun adik tirinya itu tidak melepaskan pegangan tangannya dari Flo. Dia khawatir kalau sekali saja melepaskan tangannya maka Flo akan jatuh saking lemasnya. Padahal dalam keadaan normal sebenarnya Flo adalah seorang wanita yang kuat.“Tunggu di sini dulu, Flo, biar aku u
Sudah hari kelima Flo menghilang. Rei sudah mencarinya ke mana saja, tapi nihil. Istrinya itu tidak ada di mana-mana. Rei sempat berpikir untuk melapor ke kantor polisi atas kasus orang hilang. Tapi setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak perlu. Rei rasa Flo pasti berada di suatu tempat dan dia bersembunyi di sana. Mungkin pada saatnya nanti Flo akan menunjukkan diri.“Mommy Flo mana, Pa?” tanya Lala keheranan saat Rei yang menjemputnya ke sekolah setelah summer camp selesai.Rei terbatuk. Seharusnya dia sudah memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya dan menyiapkan jawabannya. Putrinya itu pasti tidak akan tinggal diam. Nyatanya Rei malah gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Mommy, mommy pergi, La,” jawabnya kemudian.“Pergi ke mana, Pa?” tanya Lala ingin tahu.“Mommy ke luar kota.”“Ke luar kota? Mommy kerja ya, Pa?” Kening Lala berkerut dalam.Rei terpaksa berbohong lagi. “Iya, Sayang. Mommy diutus kantornya dan harus melaksanakannya.”“Sayang sekali ya, Pa, padahal aku ingin
Pagi hari saat Rei terbangun dia tidak menemukan Flo di sebelahnya. Diedarkannya pandangan melalui matanya yang berat dan belum terbuka sempurna ke setiap penjuru ruangan, tapi tetap tidak ada Flo di sana. Begitu pun saat dia melongok ke kamar mandi, hasilnya sama saja.Lantas Rei teringat apa yang terjadi semalam. Saat itu dia terlibat pertengkaran kecil dengan Flo. Dan… dia teringat akan kalimat terakhirnya.Astaga! Jangan-jangan Flo benar-benar pergi.Rei membuka lemari dan tidak menemukan baju-baju Flo di sana. Begitu dia melihat tempat penyimpanan tas, koper Flo juga sudah lenyap. Jadi benar dugaannya. Flo sudah pergi. Rei membatu di tempatnya. Ternyata begitu cara Flo menghadapi masalah. Flo childish. Bisanya main kabur, kecam Rei kecewa. Maunya Rei, apapun masalah mereka, Flo tetap bertahan di rumah. Karena dirinya pun tidak kemana-mana saat mereka terlibat perselisihan seperti ini.Lama Rei termangu sendiri sambil memikirkan apa yang terjadi. Sebelah tangannya menggenggam han
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”
Jam tiga dini hari.Rei menggeliat ketika merasa ada yang menegang di bagian bawah tubuhnya. Saat membuka mata dia mendapati Flo berada dalam pelukannya. Wajahnya begitu tenang dalam tidurnya yang lelap. Dalam diam Rei mengagumi kecantikannya. Di mata Rei dia semakin terlihat seperti Tatiana dengan muka polos tanpa riasan seperti ini.‘Dia bukan Tia, dia Flo.’ Rei mengingatkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh lagi dihantui bayang-bayang Tatiana. Karena tidak akan adil untuk Flo.Diusapnya rambut Flo dan dibelainya kepala perempuan itu penuh cinta. Adegan demi adegan percintaan mereka masih terbayang jelas di mata Rei. Bagaimana seorang Flo berhasil membangkitkan gairahnya yang sudah lama mati suri dan membahagiakannya sepenuh hati. Yang paling membuat Rei bersyukur Flo masih suci saat dimasukinya. Ternyata perempuan itu bisa menjaga dirinya dengan baik.Rei kembali tersentak ketika ada yang menyentaknya. Bukan istrinya, tapi berasal dari dirinya sendiri. Bagian bawahnya memberontak me