Luna mengeratkan rangkulannya di lengan sang ayah. Dia perlu pegangan agar tidak terjatuh karena gugup, dadanya berdebar sangat kencang, sampai dia takut sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah.
Pesta malam ini begitu meriah, lampu-lampu yang tertata apik menambah semarak suasana. Ini bukan kali pertama Luna menemani sang ayah ke sebuah pesta, tapi ini pertama kalinya Luna akan bertemu lagi dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki yang sangat dikaguminya dan selalu menghiasi setiap mimpi-mimpi indahnya. Luna ingat sekali saat sang ayah memberikan selembar foto padanya. Dia menatap foto itu dengan tak percaya. Luna mencubit lengannya sekedar meyakinkan diri, bahwa ini semua nyata. Rasanya dia ingin tertawa bahagia saat dirasakannya sakit di lengannya. Ini memang nyata dan matanya masih cukup normal untuk mengenali foto laki-laki tampan yang menjadi bunga-bunga tidurnya, yang membuatnya seolah terbang ke awan meski hanya melihat kelebat bayangnya. “Bagaimana, Nak, apa kamu mau? Ayah tidak akan memaksa jika ka–“ "Luna mau, Yah.” Sang ayah melotot mendengar Luna memotong ucapannya. Luna dididik dengan baik oleh sang ayah, dan memotong pembicaraan orang yang lebih tua, terlebih ayahnya sangat bertentangan dengan didikan itu. Luna hanya nyengir mendapati ayahnya melotot padanya. Luna terlalu senang, jadi dia tak sadar telah berbuat tak sopan. Tapi ayahnya tersayang pasti akan memaafkannya jika Luna meminta maaf. “Maaf, Yah,” kata Luna sambil menundukkan kepalanya dalam penuh penyesalan. “Kamu itu,” Sang ayah hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. Dan benar saja sang ayah tak marah. "Tanganmu Dingin, kamu baik-baik saja, Nak?" pertanyaan sang ayah berhasil mengembalikan Luna pada saat sekarang. Ah, dia melamun ternyata sampai tak sadar kalau mereka sudah memasuki ruang pesta. Nyonya Widia Sanjaya, yang Luna tahu ibu dari Laksa, sedang berulang tahun hari ini dan tentu saja Luna dan ayahnya juga diundang. "Luna hanya gugup, Yah," jawabnya terus terang yang membuat sang ayah tertawa. "Tenang saja ada ayah di sini, tidak ada yang perlu kamu takutkan." "Luna tahu ayahkan pahlawan bertopeng untuk Luna." "Padahal ayah lebih suka superman." "Idih Luna enggak suka superman dia tidak bisa pake celana dengan benar." Sang ayah tertawa mendengar alasan Luna. Sapaan tuan rumah menghentikan pembicaraan mereka. "Ini yang namanya Luna, cantik sekali." Luna menyalami pasangan paruh baya itu dan tangannya bertambah dingin saat harus bersalaman dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki itu masih setampan yang Luna ingat, tatapan matanya yang tajam membuat Luna seolah menggelepar, Ya Tuhan laki-laki ini akan jadi suaminya. Betapa indahnya hidup ini. *** Para orang tua membiarkan dua orang itu saling mengenal satu sama lain. "Aku ingin bicara, ikut aku." Luna menganggukkan kepalanya dia terlalu senang untuk hanya sekedar bertanya. Laksa membawanya ke taman belakang rumah, memintanya duduk di bangku panjang di sana. Di bawah payungan lembutnya sinar bulan, mereka duduk bersebelahan, tangan Luna yang dari tadi sudah dingin sekarang makin dingin. Luna tidak tahu apa yang harus dilakukan pasangan yang dijodohkan. Jadi dia hanya bisa duduk diam sambil menenangkan debar jantungnya yang menggila. "Langsung saja aku tak ingin berbasa basi, aku menolak perjodohan ini. Aku punya seseorang yang aku inginkan untuk menjadi istri dan itu bukan kamu." Duar! Bagai petir di siang bolong, Luna begitu terkejut dengan ucapan Laksa, dia hanya bisa menatap laki-laki itu dengan nanar. Mimpi indahnya langsung hancur seketika, salahnya juga yang terlalu berharap. Laki-laki seperti Laksa tak mungkin melirik dirinya yang hanya pegawai biasa. Sedapat mungkin Luna berusaha menelan air matanya, Laksa berhak menolak memang. "Terima kasih untuk kejujuranmu, aku sadar aku hanya wanita biasa, kamu yang dari dulu di kelilingi wanita cantik tentu tak kesulitan menemukan pasangan." Laksa mengerutkan keningnya. "Apa kita saling kenal?" Luna tersenyum, dia memang bukan cewek populer dulu jadi wajar kalau Laksa lupa. "Kita satu kampus dulu, mungkin kamu lupa dan aku juga bekerja di hotel keluarga kalian." Laksa menatap wanita di depannya dengan seksama. "Ah ya aku ingat kamu adek tinggatku," katanya, wajahnya yang tadi dingin sedikit lebih ramah. Luna mengangguk senang. "Maafkan aku, kita tidak bisa bersama mungkin kita bisa berteman saja. Aku tahu orang tua kita pasti kecewa tapi aku akan menjelaskannya." Laksa mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Luna hanya bisa menyambut tangan itu dengan pahit. Dia ditolak, bahkan sebelum berkenalan. Rasanya sakit, tapi Luna tidak akan memaksa. Dia sudah kalah sebelum berperang. "Aku mengerti." Dengan canggung Luna akhirnya berdiri dan melangkah mencari ayahnya. Setetes air bening bening mengalir di pipinya, tapi Luna berusaha meyakinkan diri bahwa dia baik-baik saja. Dia bukan gadis lemah. Tapi entah kemana sang ayah, Luna bahkan sudah lelah berkeliling tempat pesta ini tapi tidak juga bertemu ayahnya. Dan itu membuatnya capek dan kehausan. "Silahkan Nona." seorang pelayan memberikan segelas minuman berwarna Orange yang terlihat sangat menggoda. "Terima kasih." Luna langsung mengambil dua buah gelas sekaligus, siapa tahu nanti ayahnya juga haus, jadi dia bisa memberikannya. Tapi sekarang dia ingin mencari tempat duduk terlebih dulu, ayah akan marah kalau dia minum sambil berdiri. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Luna saat menemukan sebuah kursi panjang untuk duduk, tapi di sana juga ada seorang laki-laki yang sudah duduk terlebih dahulu. Luna merutuki pesta yang bahkan tak mau repot-repot menyediakan kursi. "Luna." Rasanya Luna ingin menghilang saja, sifat cerobohnya kenapa tidak juga hilang, dari semua orang kenapa dia harus bertemu Laksa lagi, orang yang baru saja menolaknya dengan kejam. "Itu untukku." Laksa mengambil gelas di tangan Luna dan meneguknya dengan rakus, sepertinya dia haus. Ya sudahlah nanti dia bisa mengambil lagi untuk ayahnya. Sekarang yang penting menyelamatkan diri dulu, hatinya masih tidak baik-baik saja oleh penolakan tadi. "Kamu mau kemana?" "Eh?" Luna yang sudah berdiri menoleh pada Laksa yang terlihat sangat tidak nyaman. Tapi belum juga Luna berpikir lebih jauh tangannya sudah ditarik kasar. "Pak Laksa kita mau kemana? Saya harus mencari ayah saya." Luna bergetar ketakukan tatapan Laksa sangat tidak biasa, dan Luna sangat takut, tubuhnya dingin dan gemetar, dan dia bersumpah bukan karena dekat dengan Laksa. Tanpa mempedulikan penolakan Luna, Laksa menariknya ke lantai dua rumah ini. Kaki kecilnya terseok-seok mengimbangi langkah panjang Laksa, tangannya sakit oleh cengkraman laki-laki itu. Laksa menariknya ke sebuah kamar, dan tanpa basa basi berusaha menyentuh Luna. Merasa bahaya mengancamnya Luna tentu saja memberontak lebih keras, tapi itu malah membuat Laksa bersemangat menyentuhnya di semua sisi, pakaiannya bahkan sudah tak berbentuk lagi. Dan saat sadar Laksa sudah menyatukan tubuh mereka, membuat Luna merasakan sakit yang luar biasa, di hati dan tubuhnya. Luna hancur."Wanita murahan! Rendahan! Apa yang kamu lakukan padaku!" Luna hanya bisa menatap wajah laki-laki yang dikaguminya itu dengan mata terbelalak.Laksa baru saja terbangun dari tidurnya, dan memandang Luna penuh kebencian saat melihat kondisi mereka berdua. Luna tak tahu apa yang sedang terjadi, Laksa yang memperkosanya, dan sekarang laki-laki itu malah meneriakinya seolah Luna hanya seekor anjing yang tak punya perasaan.Tapi Luna terlalu takut untuk membuka suara, seumur hidup dia belum pernah mendapatkan bentakan sekasar itu. Luna bergeming, tubuhnya menggigil oleh semua rasa yang hinggap dalam tubuhnya, dia bahkan berharap saat ini Tuhan mencabut nyawanya saja.Dengan memegang erat selimut yang menyelubungi tubuh polosnya, dia duduk meringkuk dipojokan dengan menyedihkan. Sedangkan laki-laki di depannya masih meneriakkan sumpah serapah. Luna terlonjak saat suara bantingan pintu memenuhi ruangan. Sungguh Luna tak mengerti apa yang terjadi bukankah seharusnya dia yang marah, dia ya
Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu. Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat. “Kita pulang.” Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa. Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi. “Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa. Tapi tak lama keluar Ayah Laksa y
Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja. Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri
“Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.” Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna. Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya. Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu. Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam. Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat i
Luna masih memandang ponselnya yang menggelap, ayahnya adalah orang yang sangat mendukungnya selama ini, Bahkan saat Luna ingin melarikan diri ke rumah neneknya, ayahnya tidak mengatakan keberatan sedikitpun. Tapi kenapa sekarang sang ayah tiba-tiba memintanya pulang. Luna mengacak rambutnya sebal, apa keluarga itu mengancam ayahnya? Bukankah mereka tidak dirugikan sama sekali, seharusnya di sini Lunalah yang berhak marah pada mereka. Luna diperkosa, tapi dialah yang dituduh menjadi dalang dari semua itu belum puas Laksa melakukan hal itu dia juga menghina Luna dan ayahnya, dan laki-laki itu juga tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, kurang apalagi, tidakkah mereka terlalu serakah dan belum puas juga menghancurkannya.Sebenarnya apa salah Luna di sini? Dia hanya mencintai seseorang dan kebetulan orang tua mereka menjodohkan, Luna dan ayahnya juga tidak memaksa jika Laksa tak mau, bagaimanapun Luna masih punya harga diri. Luna selalu merasa malu dengan dirinya sendiri kenapa
Luna bangun karena dering ponselnya yang sangat mengganggu, sejenak dia mengumpulkan nyawanya yang masih melayang di awang-awang, lalu mengucek mata yang masih seperti ketumpahan lem super. Dilihatnya jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, rajin sekali peneleponnya ini, barulah dia meraih ponselnya yang dari tadi terus menjerit. “Ayah,” gumamnya pelan. “Kata nenek kamu jadi pulang hari ini? apa perlu ayah jemput?” ayahnya ini bagaimana kemarin suruh pulang buru-buru sekarang malah harus suruh tunggu dia menjemput. “Luna pulang sendiri saja, Yah.” “Kamu baik-baik saja kan, Nak, ayah minta maaf kemarin ponsel ayah habis baterai.” Huftt ternyata tebakan neneknya benar hati Luna sedikit lega, bayangannya ala sinetron trailer kemarin tak terjadi. “Seharusnya Luna yang bertanya begitu,” jawab Luna sedikit merajuk. Luna bisa membayangkan sang ayah yang akan tersenyum lembut mendengar protesnya. “Ayah minta maaf ya, Nak, sudah membuat p
Luna meninggalkan Vano yang masih mengoceh di belakang, teman seperjalannya itu terasa sangat menyebalkan, meski Luna akuiVano begitu baik dan sabar menerima sikap ketus dan juteknya yang terlanjur malu dan kesal karena ulah ajaib kakak beradik itu. Mereka sudah sampai di stasiun Malang kota baru, sialnya lagi Luna lupa mencharge ponselnya di kereta. Tadi di rumah nenek dia sibuk mengupas bawang dan melupakan sejenak eksistensi ponselnya, sekarang dikereta dia terlalu pusing degan omonganVano jadi lupa lagi. Dengan memanggung tas ransel yang tidak terlalu berat mata Luna jelalatan mencari dimana kira-kira dia bisa mengisi daya ponselnya. “Kamu kehilangan dompet?” tanyaVano yang tiba-tiba sudah berdiri dengan manis di sampingnya. “Kak Vano tidak langsung pergi?” “Aku menunggu jemputan temanku, kamu sudah di jemput atau bareng aku saja, lumayankan hemat ongkos.” Ayahnya pasti akan marah kalau tahu lebih memilih naik ojek dari pada menghubunginya. “Aku me
Rumah sakit. Kata itu memberikan trauma tersendiri untuk Luna, dia tak pernah berkawan baik dengan bangunan megah tempat orang sakit itu. Dia sangat ingat hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekhawatiran saat sang ibu masih di rawat di sana dan akhirnya harus menyerah dan meninggalkan Luna untuk selama-lamanya. Apa ayahnya sakit?Sebuah kesadaran itu membuat tubuh Luna bergetar hebat, dia tak mau kehilangan lagi, hanya ayah yang dia punya saat ini. “Apa ayah sakit? Apa parah?” katanya dengan terbata. “Kamu itu ngomong apa, Lun, bukan ayah yang sakit, tapi kita kesana untuk menjenguk seseorang.”“Syukurlah kalau begitu Luna sudah takut sekali. Jadi kita akan menjenguk siapa?” tanya Luna dengan penasaran karena sang ayah tidak menjelaskan apapun. “Teman ayah.” Perjalanan ke rumah sakit mereka lalui dalam diam entah kenapa menurut Luna sang ayah lebih banyak diam, tak ada lagi pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari Luna, atau sekedar godaa
"Aku Raya, kamu pasti sudah tahu siapa aku. Bisakah kita bertemu sebentar?" Luna membaca pesan di ponselnya dengan perasaan tak menentu, ternyata rasa pecaya diri mantan pacar suaminya ini sangat tinggi, mungkin itu juga yang membuatnya bisa menjadi model terkenal seperti sekarang. Laksa juga pernah bercerita kalau mantannya itu wanita yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan, jadi pertemuan mereka dulu memang tidak setiap hari. Akan tetapi wanita ini sepertinya mempunyai waktu luang yang lumayan banyak sekarang sampai dia bisa merecoki hubungannya dan Laksa. Bukan LUna ingin berburuk sangka pada wanita masa lalu suaminya, tapi tidakan yang dilakukan wanita itu membuatnya tak bisa berpikir positif. SEkarang untuk apa dia menghubunginya dan meminta bertemu. SElain pelaku yang telah menjebak Luna, tidak ada lagi urusan di anatara mereka dan Raya sepertinya bukan tipe orang yang akan meminta maaf untuk perbuatan salahnya waktu itu.
Bahagia itu sederhana bisa berjalan bergandengan tangan dengan suami seperti ini saja Luna merasa hari ini akan indah. "Mau bagaimana lagi namanya juga lagi hamil. Kalau jalan sampai taman aku pasti kuat, lagipula kata dokter disarankan untuk banyak olahraga ringan." Tawa renyah Laksa langsung terdengar mendengar perkataan Luna. "Tapi aku nggak mau ya kalau harus gendong kamu pulangnya nanti." "Memang aku segendut itu sampai kakak nggak kuat gendong aku," gerutu Luna. "Bukan masalah gendut tapi aku harus menggendong dua orang mana kuat." "Dasar lemah," ejek Luna. "Sudah berani ya ngejek suami." Luna berusaha menghindari gelitikan tangan suaminya yang semakin mendekat, tawa mereka membahana menyambut datangnya matahari yang baru saja bangun dari peraduannya. Pagi yang sangat indah dengan birunya langit yang seolah ikut tersenyum melihat kebersamaan kedua insan itu.
Pagi ini LUna bangun dnegan perasaan senang. Malam tadi Laksa pulang dengan banyak makanan kesukaannya. Kalau dipikir-pikir dia sangat murahan, hanya karena makanan saja perasan kesalnya langsung hilang, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini efek tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Apalagi Laksa juga memanjakannya dengan memijit tubuhnya yang memang gampang merasa pegal setelah kehamilannya bertambah besar. Bukannya LUna tak tahu kalau semua ini hanya sogokan supaya dia tidak marah dengan pertemuan sang suami dengan mantan kekasihnya, apalagi Laksa bilang kalau tadi pagi Raya datang mendatanginya di kantor tadi pagi. Luna hanya berusaha percaya pada sang suami yang tidak akan tergoda lagi oleh mantan kekasihnya itu. Dipandangnya wajah Laksa yang sedang tidur terlelap di sampingnya, begitu damai seperti tanpa beban. Luna kembali menelusupkan kepalanya dalam pelukan hangat Laksa, rasanya dia tidak akan re
Aku tahu. maafakan aku. Penyaki ini seperti karma untukku, karena mengkhianatimu. Andai kamu tahu bagaiman sedihnya aku saat kamu memutuskan hubungan kita." Raya menghela napas berat, dia menatap Laksa yang hanya diam saja hanya menatapnya dengan datar. "Aku depresi dan mengurung diri di dalam kamar, aku pingsan di kamar tanpa seorangpun tahu, untung salah satu temanku kebetulan datang ke kamarku dan menemukanku, dialah yang membawaku ke rumah sakit," lanjut wanita itu lagi. Bahkan setelah Raya selesai bicara, Laksa hanya diam dan seolah tak peduli membuat wanita itu kecewa, tapi dia bukan orang yang mudah putus asa. "Dokter bilang aku menderita magh parah dan juga anemia." "Kenapa tidak makan?" Raya langsung tersenyum mendengar pertanyaan Laksa, laki-laki itu pasti khawatir padanya, dia menatap dengan binar penuh harap laki-laki yang masih sangat dia cintai itu. "Karena aku memi
Gelisah dan marah itu yang Laksa rasakan sekarang. Perasaan itu tak dapat Laksa hindari, menerjang kuat selayaknya ombak yang setiap saat menghantam pasir di tepi pantai. Entah bagaimana caranya untuk menghapus semua rasa itu, otaknya bahkan sudah penuh dengan berbagai hal saat ini, persoalan pekerjaan, persoalan hubungannya dengan sang istri dan keluarga besarnya. Semua persoala itu seperti berlomba untuk mendatanginya, bagai tamu yang datang tanpa diundana meski Laksa sudah mati-matian untuk menolaknya. Laksa pantas gelisah dengan munculnya Raya secara tiba-tiba dikantornya, mungkin dulu itu hal yang biasa saj saat mereka masih pacaran, tapi sekarang dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi ayah, semua orang tahu itu dan juga kehadiran Dirga yang akan memperkerus suasana yang membuatnya semakin terjepit dan itu membuatnya marah. Akan tetapi Raya bukan orang yang mudah, menghadapi Rayaa dia harus tenang. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Laksa langsung. Raya ters
Laksa menjabat tangan laki-laki paruh baya itu dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Akhirnya setelah dia pontang-panting melobi sana sini, event besar itu baru bisa dia dapatkan, dan hanya hotelnya yang akan menjadi tempat acara, restoran miliknya juga akan menjadi penyuplai utama untuk sarapan dan makan siang, acara itu akan diadakan satu bulan dengan tamu orang-orang terkenal dan tentu saja banyak wartawan yang akan datang. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, waktu kerja resmi memang masih satu jam lagi, tapi Laksa sudah begitu sibuk sepagi ini. "Wih, untung besar ini, makan-makan dong." "Kamu seperti kekurangan uang saja, makan-makan nunggu ada momen besar." "Aku tidak sesultan dirimu, jadi ya maklum saja kalau aku lebih suka gratisan, apalagi kalau makanan mewah," kata Dirga menyebalkan.Dirga memang berhak menuntut semua itu, dia sudah banyak sekali membantu Laksa dalam memenangkan tender ini. "Jadi kamu datang kemari sengaja untu
Luna mematut dirinya di cermin panjang yang ada di kamar mereka. Perutnya sudah membesar dan bobot tubuhnya naik dengan drastis, akibat makannya yang gila-gilaan, tiap menit bahkan detik harus ada saja makanan yang harus dia kunyah di mulutnya sampai mulut Luna pegal sendiri, pernah dia mengeluhkan hal itu pada Laksa tapi jawaban suaminya sungguh membuatnya gondok. “Aku tidak keberatan mengunyahkan untukmu nanti aku bisa suapkan langsung dari mulut ke mulut pasti rasanya lebih manis.” Memang Laksa kira Luna anak bayi, dasar suaminya agak sinting. Dulu Luna sangat penasaran, bagaimana rasanya hamil, dan dia sering bertanya pada sepupunya yang hobi sekali hamil saat itu, tapi sang sepupu hanya tertawa dan mengatakan semua akan terbayar sudah saat melihat wajah mungil menggemaskan yang akan memanggilnya ibu. Karena itu Luna sangat tidak sabar menanti buah hatinya lahir, selain untuk membuktikan teori sepupunya, dia jug
"Dia yang tadi pagi telepon ke ponsel kakak, apa kalian janjian bertemu di sini?" tanya Luna saat Laksa sudah menggandeng tangannya keluar dari butik.Laksa seketika menghentikan langkahnya, dan memandang Luna dengan gugup.Luna memang sudah menceritakan telepon yang masuk tadi pagi dan Luna mengangkatnya. Sejak hubungan mereka membaik memang tak jarang Laksa memperbolehkan Luna untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya demikian juga sebaliknya, karena itu Laksa langsung memblokir dan menghapus pesan dari Raya, bukan ingin merahasiakan semua ini dari Luna, tapi hanya tak ingin sang istri merasa terbebani, apalagi kondisi Luna yang tidak boleh terlalu banyak beban pikiran. Laksa memang sudah menduga kalau penelepon nyolot tadi pagi yang dimaksud Luna adalah Raya meski dia hanya mengatakan tak tahu dan nanti akan menelepon balik, tapi jawaban itu ternyata berbuntut panjang.Tentu saja dia tak menelepon kembali, tapi semesta mungkin sedang bercanda denganny
Luna selalu bertanya-tanya kenapa banyak orang terutama wanita suka sekali berbelanja dan bisa kalap hingga sampai jutaan? Ternyata memang berbelanja barang berkualitas tinggi memang sangat menyenangkan seperti ini. Matanya berkeliling mengawasi deretan baju bayi yang dipajang di dalam etalase, baju-baju mungil itu terlihat luar biasa menggemaskan di mata Luna. Berkali-kali dia mengusap perutnya yang mulai membesar, kandungannya memang sudah berusia enam bulan dan tiga bulan lagi dia akan bertemu dengan anaknya, anak yang bermula dari kecelakaan, tapi bagaimanapun proses pembuatan anak ini Luna sangat sayang padanya sekarang, dia sudah tak sabar untuk melihat sang anak lahir ke dunia. Luna teringat saat dia bersama Laksa pergi ke dokter kandungan, dan saat dokter menawarkan untuk melihat jenis kelamin sang bayi, kedua calon orang tua itu mengangguk mengiyakan. “Jagoan ternyata,” seru Laksa kala itu saat dokter menunjukkan menara yang ada di antara kedua kaki bay