Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja.
Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri untuk bercanda. “Kamu akan tetap pergi kerja hari ini?” tanya sang ayah yang sudah siap di meja makan dengan koran paginya. Luna meletakkan sepiring nasi goreng yang baru saja dibuatnya di depan sang ayah. “Luna akan mengundurkan diri dari sana... Luna tidak mau bertemu dia lagi.” Sang ayah tidak perlu bertanya lagi siapa dia yang dimaksud putrinya. “Apa kamu mau ayah membantumu memberikan surat pengunduran diri ke sana?” tanya sang ayah iba. “Tidak ayah, aku akan menghadapi semuanya, aku tidak salah dan tidak akan terus bersembunyi seperti pengecut,” katanya berapi-api. “Tapi apa ayah tidak keberatan punya anak penggangguran?” tanya Luna hati-hati, mereka bukan berasal dari keluarga kaya, keluar dari tempat kerja tentu memberikan dampak yang cukup besar untuk Luna. “Ayah masih mampu memberi makan putri ayah bahkan cucu ayah juga.” Suasana langsung hening dengan ucapan itu, mungkin Luna lupa atau tak pernah terpikirkan kalau perbuatan mereka malam itu mungkin saja menghasilkan janin yang nantinya akan tumbuh di rahimnya. “Maafkan ayah jika mengatakan ini langsung, tapi kamu harus tahu konsekuensi itu.” Ayahnya benar, jika dia tidak ingin bahkan melihat Laksa, tentu dia harus menanggung resiko itu sendirian. “Kenapa ayah tidak marah? Kenapa ayah tidak menampar Luna? Luna tidak bisa menjaga diri, kalau ayah marah dan memukul Luna, Luna pasti akan menerimanya.” Luna kembali menangis tergugu, dia tak tahu takdir apa yang akan menyapa masa depannya nanti. Dia merasa hidupnya sudah berakhir tadi malam, tapi saat ingat sang ayah yang akan sangat sedih dia tinggalkan maka Luna berusaha tegar, tapi saat membicarakan konsekuensi kejadian semalam, Luna tak dapat lagi menahan perih di hatinya. “Ayah di sini ada untukmu, Lun, suatu saat kebenaran pasti akan terungkap.” *** Dengan mobil tua sang ayah Luna berangkat ke tempat kerjanya. Sebuah hotel berbintang yang menawarkan kemewahan untuk pengunjungnya, Luna bekerja sebagai tenaga accounting di sana. “Ayah akan menunggu di sini.” “Tidak perlu Luna bisa naik ojek pulang, lagi pula ayah harus mengajar.” Sang ayah tersenyum teduh. “Murid-murid ayah yang baik itu pasti mengerti kalau gurunya ada urusan sebentar. Pergilah, Nak, ayah di sini.” Luna terharu dengan dukungan ayahnya disaat dia jatuh seperti ini, dipeluknya sang ayah erat. “Luna sayang ayah,” lirihnya. “Ayah tahu, ayah juga sayang Luna, sekarang pergilah, lakukan apa yang ingin kamu lakukan.” Luna mengangguk dan berjalan keluar mobil. Sepanjang lobi, Luna bisa menatap pandangan jijik semua orang yang lewat, apakah ini perasaannya saja yang sedang sensitif ataukah memang semua orang sudah tahu kejadian semalam. Betapa cepatnya kalau begitu, padahal belum sehari. Luna kembali berjalan, tak mempedulikan semua orang yang menatapnya. Ruangan HRD sudah terlihat dan Luna langsung mengetuk pintu dan seorang laki-laki pertengahan empat puluhan mempersilahkannya masuk. “Sa... saya mau menyerahkan ini, Pak,” katanya denga gugup. “Kamu yakin akan mengundurkan diri?” tanya bapak itu. “Iya, Pak,” jawab Luna dengan mantap, dia ingin segera pergi dari sini dan menyembuhkan luka hatinya. Untuk lari dari kenyataan. Teriak batin Luna. “Di sini alasanmu, karena ingin tinggal dengan nenekmu yang sudah tua.” Demi Tuhan kenapa juga mengundurkan diri harus diinterogasi seperti pencuri. “Benar, Pak beliau sudah tua dan mulai sakit-sakitan.” Luna hanya bisa berdoa pada Tuhan kalau omongannya tak akan jadi kenyataan, neneknya bahkan masih mampu mengangkat sebakul besar nasi yang akan dijual. “Baiklah jika itu maumu.” Luna bersyukur sesi interogasi ini akhirnya berakhir dengan baik. Tapi seperti si bapak niat sekali membuat kejutan. “Apa bukan karena kamu akan menikah dengan pak Laksa?” mungkin bagi laki-laki itu hanya pertanyaan biasa tapi bagi Luna itu seperti bom yang dijatuhkan tepat di depan mukanya. Jadi benar kejadian semalam memang sudah terdengar sampai kantor, memang ada beberapa orang yang masih ada di pesta malam itu. Tapi Luna sama sekali tak menyangka kecepatan lidah mereka. “Saya hanya pegawai biasa, tidak mungkin menikah dengan Pak Laksa.” Dan Luna buru-buru permisi sebelum si bapak bertanya lebih lanjut, sudah cukup buruk penderitaannya semalam, Luna tidak perlu lagi hakim dadakan yang mengevaluasi hidupnya. Secara resmi Laksa memang menjabat sebagai CEO di hotel keluarganya. Tapi seperti yang dikatakan Laksa pada pertemuan mereka tadi malam, laki-laki itu sama sekali tidak mengenalinya. Karena memang tidak penting, dia mungkin hanya tahu Luna dari data saja. “Tidak tahu malu! Jadi benar kamu menjebak pak Laksa hingga tidur denganmu, kupikir kamu gadis polos ternyata ular berbisa.” Luna memandang wanita yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya itu dengan pandangan tak terbaca, padahal selama ini mereka cukup dekat, tapi semua orang sepertinya sepakat untuk mempercayai mentah-mentah ucapan Laksa dan mengorbankan dirinya. Luna berlalu tanpa menjawab sepatah katapun, beberapa teman yang dikenalnya ada yang memandangnya iba juga tapi tak sedikit yang terlihat jijik padanya. Sepertinya aku berubah menjadi ulat bulu, Luna mencoba melucu di saat yang tidak lucu ini. Yang ingin dia lakukan saat ini adalah pergi jauh dari sini. “Ternyata kamu benar-benar kerja di sini.” Luna mengangkat wajahnya dan terbelalak melihat siapa yang berdiri di depannya dengan wajah dingin. Laksa. Laki-laki itu masih setampan yang Luna ingat, detak itu masih ada, apalagi saat berdiri berhadapan seperti ini. Hatinya memang bandel, tak bisa diatur, padahal karena laki-laki inilah hidupnya hancur dalam semalam. “Mulai hari ini tidak lagi, saya sudah resign.” “Kamu mengharapkan aku menanggung hidupmu,” ejek Laksa. Luna menatap laki-laki itu dengan kemarahan yang berkobar, entah hilang kemana detak jantung untuk orang ini. Yang ada sekarang hanya kemarahan. Luna bukan pengemis, dan dia tak butuh belas kasihan orang lain. “Anda tidak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun, silahkan nikmati hidup anda.” Luna kembali melangkah meninggalkan Laksa yang terperangah ditempatnya berdiri.“Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.” Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna. Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya. Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu. Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam. Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat i
Luna masih memandang ponselnya yang menggelap, ayahnya adalah orang yang sangat mendukungnya selama ini, Bahkan saat Luna ingin melarikan diri ke rumah neneknya, ayahnya tidak mengatakan keberatan sedikitpun. Tapi kenapa sekarang sang ayah tiba-tiba memintanya pulang. Luna mengacak rambutnya sebal, apa keluarga itu mengancam ayahnya? Bukankah mereka tidak dirugikan sama sekali, seharusnya di sini Lunalah yang berhak marah pada mereka. Luna diperkosa, tapi dialah yang dituduh menjadi dalang dari semua itu belum puas Laksa melakukan hal itu dia juga menghina Luna dan ayahnya, dan laki-laki itu juga tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, kurang apalagi, tidakkah mereka terlalu serakah dan belum puas juga menghancurkannya.Sebenarnya apa salah Luna di sini? Dia hanya mencintai seseorang dan kebetulan orang tua mereka menjodohkan, Luna dan ayahnya juga tidak memaksa jika Laksa tak mau, bagaimanapun Luna masih punya harga diri. Luna selalu merasa malu dengan dirinya sendiri kenapa
Luna bangun karena dering ponselnya yang sangat mengganggu, sejenak dia mengumpulkan nyawanya yang masih melayang di awang-awang, lalu mengucek mata yang masih seperti ketumpahan lem super. Dilihatnya jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, rajin sekali peneleponnya ini, barulah dia meraih ponselnya yang dari tadi terus menjerit. “Ayah,” gumamnya pelan. “Kata nenek kamu jadi pulang hari ini? apa perlu ayah jemput?” ayahnya ini bagaimana kemarin suruh pulang buru-buru sekarang malah harus suruh tunggu dia menjemput. “Luna pulang sendiri saja, Yah.” “Kamu baik-baik saja kan, Nak, ayah minta maaf kemarin ponsel ayah habis baterai.” Huftt ternyata tebakan neneknya benar hati Luna sedikit lega, bayangannya ala sinetron trailer kemarin tak terjadi. “Seharusnya Luna yang bertanya begitu,” jawab Luna sedikit merajuk. Luna bisa membayangkan sang ayah yang akan tersenyum lembut mendengar protesnya. “Ayah minta maaf ya, Nak, sudah membuat p
Luna meninggalkan Vano yang masih mengoceh di belakang, teman seperjalannya itu terasa sangat menyebalkan, meski Luna akuiVano begitu baik dan sabar menerima sikap ketus dan juteknya yang terlanjur malu dan kesal karena ulah ajaib kakak beradik itu. Mereka sudah sampai di stasiun Malang kota baru, sialnya lagi Luna lupa mencharge ponselnya di kereta. Tadi di rumah nenek dia sibuk mengupas bawang dan melupakan sejenak eksistensi ponselnya, sekarang dikereta dia terlalu pusing degan omonganVano jadi lupa lagi. Dengan memanggung tas ransel yang tidak terlalu berat mata Luna jelalatan mencari dimana kira-kira dia bisa mengisi daya ponselnya. “Kamu kehilangan dompet?” tanyaVano yang tiba-tiba sudah berdiri dengan manis di sampingnya. “Kak Vano tidak langsung pergi?” “Aku menunggu jemputan temanku, kamu sudah di jemput atau bareng aku saja, lumayankan hemat ongkos.” Ayahnya pasti akan marah kalau tahu lebih memilih naik ojek dari pada menghubunginya. “Aku me
Rumah sakit. Kata itu memberikan trauma tersendiri untuk Luna, dia tak pernah berkawan baik dengan bangunan megah tempat orang sakit itu. Dia sangat ingat hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekhawatiran saat sang ibu masih di rawat di sana dan akhirnya harus menyerah dan meninggalkan Luna untuk selama-lamanya. Apa ayahnya sakit?Sebuah kesadaran itu membuat tubuh Luna bergetar hebat, dia tak mau kehilangan lagi, hanya ayah yang dia punya saat ini. “Apa ayah sakit? Apa parah?” katanya dengan terbata. “Kamu itu ngomong apa, Lun, bukan ayah yang sakit, tapi kita kesana untuk menjenguk seseorang.”“Syukurlah kalau begitu Luna sudah takut sekali. Jadi kita akan menjenguk siapa?” tanya Luna dengan penasaran karena sang ayah tidak menjelaskan apapun. “Teman ayah.” Perjalanan ke rumah sakit mereka lalui dalam diam entah kenapa menurut Luna sang ayah lebih banyak diam, tak ada lagi pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari Luna, atau sekedar godaa
“Nikahi Luna, Nak.” Baik Luna maupun Laksa terbelalak mendengar permintaan itu, sejak awal memang mereka sudah menduga tapi tak menyangka permintaan akan sefrontal itu. “Ma, jangan pikirkan itu dulu, yang penting mama sembuh,” Laksa berkata lembut berusaha menutupi amarah yang siap meledak di dadanya. Bukan pada sang mama tentu saja, tapi pada gadis sok polos di sampingnya yang telah berhasil mengacaukan semua impiannya untuk bersanding dengan wanita pujaannya. “Mama tahu penyakit ini sudah tak dapat lagi disembuhkan, dan sebelum mama pergi mama ingin melihatmu menikah, dan Luna adalah pilihan terbaik untukmu.” Laksa memejamkan matanya. “Bicaralah, Nak.” “Sebentar, Ma, Laksa ingin merangkai kata dulu, supaya tidak ada yang terluka dengan kalimat Laksa.” Laksa tahu itu kata yang sangat kasar untuk mamanya, apalagi wanita yang sangat disayanginya itu sedang terbaring sakit. “Mama ingatkan kalau dia sudah menjebak Laksa, supaya tidur dengannya.”
Pak Erwin memandang putrinya yang langsung terdiam dengan kedatangan pemuda di depannya ini. Tak dapat dipungkiri ingin rasanya dia memukuli Laksa hingga babak belur, sebagai seorang ayah tentu saja dia tak terima putrinya diperlakukan seperti itu. “Silahkan bicara,” kata Pak Erwin tenang.Laksa terlihat tak suka. “Maaf om saya ingin bicara berdua dengannya.”“Luna... nanya Luna bagaimana kamu ingin bicara dengannya, kalau namanya saja kamu tak tahu.” Laksa tahu dia tak dapat mencapai keinginannya kalau keras kepala. “Maaf Om iya saya ingin bicara dengan Luna sebentar.” “Untuk apa, saya ayahnya tentu saja saya tak akan mengijinkan dia disakiti siapapun, apalagi dituduh yang tak jelas hanya untuk menyelamatkan ego seseorang.” “Dia-““Kami permisi.” “Apa karena permintaan mama kalian bersikap seolah-olah sok dibutuhkan,” kata Laksa dengan jengkel. Tapi baik Luna maupun ayahnya sudah biasa menebalkan telinganya menghadapi gunjingan semua orang
Luna menatap Laksa dengan tak mengerti, orang ini apa sudah amnesia siapa kemarin yang bilang kalau dijebak dan tak mau lagi ketemu dengannya. “Pak Laksa tidak ingat kata-kata bapak sendiri, kalau tidak mau bertemu dengan saya, dan saya sudah terima itu, saya juga tidak mau menikah dengan orang yang tidak menginginkan saya.” Laksa memandang gadis di depannya dengan tajam. Posisi Laksa yang masih berdiri di depan pintu dan Luna yang memegang daun pintu dengan kuat, seolah takut sewaktu-waktu Laksa akan masuk ke dalam rumahnya. Dan itu memang yang diinginkan Laksa membuat Luna tahu siapa dirinya. “Kamu kira aku dengan sukarela mau menikahimu, jika bukan karena kamu yang menjebakku-“ “Saya tidak menjebak bapak.” Kata Luna cepat.Laksa memandang Luna dengan sorot mata tajam terlihat sekali kalau dia tak terima dengan perkataan Luna.“Kita akan menikah-““Lho ada tamu rupanya.” Ucapan Laksa langsung terhenti saat mendengar suara di belkangnya, seora
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak