Rumah sakit.
Kata itu memberikan trauma tersendiri untuk Luna, dia tak pernah berkawan baik dengan bangunan megah tempat orang sakit itu.Dia sangat ingat hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekhawatiran saat sang ibu masih di rawat di sana dan akhirnya harus menyerah dan meninggalkan Luna untuk selama-lamanya.Apa ayahnya sakit?Sebuah kesadaran itu membuat tubuh Luna bergetar hebat, dia tak mau kehilangan lagi, hanya ayah yang dia punya saat ini.“Apa ayah sakit? Apa parah?” katanya dengan terbata.“Kamu itu ngomong apa, Lun, bukan ayah yang sakit, tapi kita kesana untuk menjenguk seseorang.”“Syukurlah kalau begitu Luna sudah takut sekali. Jadi kita akan menjenguk siapa?” tanya Luna dengan penasaran karena sang ayah tidak menjelaskan apapun.“Teman ayah.”Perjalanan ke rumah sakit mereka lalui dalam diam entah kenapa menurut Luna sang ayah lebih banyak diam, tak ada lagi pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari Luna, atau sekedar godaa“Nikahi Luna, Nak.” Baik Luna maupun Laksa terbelalak mendengar permintaan itu, sejak awal memang mereka sudah menduga tapi tak menyangka permintaan akan sefrontal itu. “Ma, jangan pikirkan itu dulu, yang penting mama sembuh,” Laksa berkata lembut berusaha menutupi amarah yang siap meledak di dadanya. Bukan pada sang mama tentu saja, tapi pada gadis sok polos di sampingnya yang telah berhasil mengacaukan semua impiannya untuk bersanding dengan wanita pujaannya. “Mama tahu penyakit ini sudah tak dapat lagi disembuhkan, dan sebelum mama pergi mama ingin melihatmu menikah, dan Luna adalah pilihan terbaik untukmu.” Laksa memejamkan matanya. “Bicaralah, Nak.” “Sebentar, Ma, Laksa ingin merangkai kata dulu, supaya tidak ada yang terluka dengan kalimat Laksa.” Laksa tahu itu kata yang sangat kasar untuk mamanya, apalagi wanita yang sangat disayanginya itu sedang terbaring sakit. “Mama ingatkan kalau dia sudah menjebak Laksa, supaya tidur dengannya.”
Pak Erwin memandang putrinya yang langsung terdiam dengan kedatangan pemuda di depannya ini. Tak dapat dipungkiri ingin rasanya dia memukuli Laksa hingga babak belur, sebagai seorang ayah tentu saja dia tak terima putrinya diperlakukan seperti itu. “Silahkan bicara,” kata Pak Erwin tenang.Laksa terlihat tak suka. “Maaf om saya ingin bicara berdua dengannya.”“Luna... nanya Luna bagaimana kamu ingin bicara dengannya, kalau namanya saja kamu tak tahu.” Laksa tahu dia tak dapat mencapai keinginannya kalau keras kepala. “Maaf Om iya saya ingin bicara dengan Luna sebentar.” “Untuk apa, saya ayahnya tentu saja saya tak akan mengijinkan dia disakiti siapapun, apalagi dituduh yang tak jelas hanya untuk menyelamatkan ego seseorang.” “Dia-““Kami permisi.” “Apa karena permintaan mama kalian bersikap seolah-olah sok dibutuhkan,” kata Laksa dengan jengkel. Tapi baik Luna maupun ayahnya sudah biasa menebalkan telinganya menghadapi gunjingan semua orang
Luna menatap Laksa dengan tak mengerti, orang ini apa sudah amnesia siapa kemarin yang bilang kalau dijebak dan tak mau lagi ketemu dengannya. “Pak Laksa tidak ingat kata-kata bapak sendiri, kalau tidak mau bertemu dengan saya, dan saya sudah terima itu, saya juga tidak mau menikah dengan orang yang tidak menginginkan saya.” Laksa memandang gadis di depannya dengan tajam. Posisi Laksa yang masih berdiri di depan pintu dan Luna yang memegang daun pintu dengan kuat, seolah takut sewaktu-waktu Laksa akan masuk ke dalam rumahnya. Dan itu memang yang diinginkan Laksa membuat Luna tahu siapa dirinya. “Kamu kira aku dengan sukarela mau menikahimu, jika bukan karena kamu yang menjebakku-“ “Saya tidak menjebak bapak.” Kata Luna cepat.Laksa memandang Luna dengan sorot mata tajam terlihat sekali kalau dia tak terima dengan perkataan Luna.“Kita akan menikah-““Lho ada tamu rupanya.” Ucapan Laksa langsung terhenti saat mendengar suara di belkangnya, seora
Luna cepat-cepat mengunci pintu, begitu terdengar mobil Laksa menjauh dari rumahnya. Tubuhnya merosot bersandar pada pintu yang telah tertutup, kakinya seolah tak kuat menompang bobot tubuhnya. Dia ingin menangis dan menjerit. Sungguh rasa itu masih ada, bersemayam dalam hatinya. Dia memang bisa berkoar pada semua orang kalau dia baik-baik saja, tapi Luna tahu dia rapuh. Bertemu Laksa tanpa ayahnya ternyata membuatnya takut. Takut karena dia masih mengharapkan laki-laki itu bahkan setelah semua yang terjadi, juga takut kalau Laksa akan melaksanakan ancamannya memberitahukan apa yang terjadi pada para tetangganya di sini.Bukan Luna takut akan digunjing oleh tetangga, dia tidak akan perduli dengan hal itu, dia hanya takut nama baik ayahnyalah yang akan rusak. Ayahnya yang baik itu harus setiap hari digunjingkan orang karena dirinya, tak sanggup dibayangkan oleh Luna, apalagi kalau semua itu terjadi. Tapi untuk menerima Laksa sebagai suaminya Luna juga sangat takut
Sikap sang ayah yang tidak menyalahkannya, dan malah memberikan dukungan padanya untuk membuat keputusan yang diinginkannya, membuat Luna makin merasa bersalah. Dia tak mungkin membuat ayahnya sedih dan menanggung malu seumur hidupnya. Akhirnya disinilah Luna dan ayahnya, kembali ke rumah sakit yang menjadi awal. Luna bukannya tak menyadari sesekali ayahnya mencuri pandang padanya. “Ada yang ingin ayah bicarakan dengan Luna?” “Apa, tidak ada.” “Kenapa ayah memandang memandang Luna begitu?” “Begitu bagaimana?” “Ayah dari tadi terus melihat Luna seolah takut Luna hilang.” Sang ayah tersenyum sayang. “Kamu putri kecil kesayangan ayah, tentu saja ayah takut kamu diculik orang.” “Ayah berlebihan siapa juga yang mau menculik Luna.” Luna tentu tahu apa yang dimaksud dengan kata menculik itu, tapi seperti sang ayah yang berpura-pura semua baik-baik saja demi membuatnya tak bersedih, Lunapun demikian. Luna dan ayahnya tiba di depan ruang
Luna masih ingat bagaimana rasa perih dan ngilu di pangkal pahanya malam itu. Kali pertama Luna berhubungan badan dengan seorang laki-laki. Seharusnya hal itu akan jadi malam yang terindah dia bisa melepaskan mahkota yang selama ini dia jaga pada laki-laki yang memiliki hatinya. Tapi. Semuanya menjadi bencana, menghancurkan mimpi indahnya dan mengoyak harga dirinya, saat semua itu dilakukan sebelum mereka resmi menjadi suami dan istri dan parahnya lagi hal itu dilakukan Laksa secara tak sadar dan dengan sangat kasar. Dan saat Laksa sudah sadar dari semua itu. Boom!Bom atom yang menghancurkan Luna langsung ditembakkan, dengan teganya laki-laki yang baru saja merenggut kesuciannya dengan paksa menuduhnya sebagai dalang dari semua kejadian buruk ini. Luna memilih menyingkir, hatinya tak cukup kuat untuk terus bertahan di sini di tengah semua orang yang menghina dan menghujatnya tanpa tahu apa yang terjadi.Tapi permintaan sang ayah yang ingin dia pulang se
“Segera datang ke rumah sakit, ijab qabul akan diadakan di sini satu jam lagi, jangan coba lari atau mengulur waktu, kamu pasti tahu apa akibatnya.” Kalimat yang diucapkan dengan datar itu masih terngiang jelas di telinga Luna. Membuatnya meyakinkan hati agar setelah ini tak akan tersungkur pada penyesalan. Setidaknya inilah pilihan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Meski dengan konsekuensi setelah ini hidupnya tidak akan sama lagi. Luna menatap sang ayah yang telah rapi dengan kemeja batiknya, tapi sayang sekali senyum yang Luna harapkan tersungging di bibir sang ayah tak dia dapati lagi hari ini. Pijar teduh yang biasanya bersinar di mata ayahnya entah hilang ke mana. “Belum terlambat untuk membatalkan semuanya anakku.”Luna tersenyum. “Dia laki-laki yang baik, Yah, buktinya ayah setuju untuk menjodohkan Luna dengannya waktu itu, anggap saja ini jalan awal yang harus Luna lalui sebelum bahagia.” Luna berusaha bicara seoptimis mungkin, dia tak mau ayahnya
Bahkan setelah tiga jam menunggu, Laksa tak juga kembali ke ruang rawat ibunya. Baik Luna maupun sang ayah sadar kalau kemungkinan laki-laki itu menghindar. Tanpa banyak basa basi lagi Pak Erwin mengajak Luna untuk pulang ke rumahnya, orang tua Laksa yang ada di sana tak mampu berbuat banyak mereka tahu kalau putra mereka sendiri yang salah. Bahkan sang ibu hanya bisa menatap tak berdaya saat Pak Erwin berkata dengan tegas. “Jika putra kalian ingin mengembalikan Luna pada saya tolong hubungi saya secepatnya.” Kalimat sang ayah itu masih terus terngiang di telinga Luna. Semenyedihkan inikah rasa tak diinginkan oleh seseorang, apalagi dia adalah orang yang baru saja mengikat janji pada Tuhan untuk memilikimu.Perayaan kesedihan seolah datang silih berganti dalam hidupnya. Hatinya patah sebelum bertumbuh. Luna bahkan tak mampu menjabarkan perasaannya dengan baik, hatinya seolah mati rasa, hatinya kosong, tertelan kesedihan yang datang menghadang. Luna hanya dudu
"Aku Raya, kamu pasti sudah tahu siapa aku. Bisakah kita bertemu sebentar?" Luna membaca pesan di ponselnya dengan perasaan tak menentu, ternyata rasa pecaya diri mantan pacar suaminya ini sangat tinggi, mungkin itu juga yang membuatnya bisa menjadi model terkenal seperti sekarang. Laksa juga pernah bercerita kalau mantannya itu wanita yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan, jadi pertemuan mereka dulu memang tidak setiap hari. Akan tetapi wanita ini sepertinya mempunyai waktu luang yang lumayan banyak sekarang sampai dia bisa merecoki hubungannya dan Laksa. Bukan LUna ingin berburuk sangka pada wanita masa lalu suaminya, tapi tidakan yang dilakukan wanita itu membuatnya tak bisa berpikir positif. SEkarang untuk apa dia menghubunginya dan meminta bertemu. SElain pelaku yang telah menjebak Luna, tidak ada lagi urusan di anatara mereka dan Raya sepertinya bukan tipe orang yang akan meminta maaf untuk perbuatan salahnya waktu itu.
Bahagia itu sederhana bisa berjalan bergandengan tangan dengan suami seperti ini saja Luna merasa hari ini akan indah. "Mau bagaimana lagi namanya juga lagi hamil. Kalau jalan sampai taman aku pasti kuat, lagipula kata dokter disarankan untuk banyak olahraga ringan." Tawa renyah Laksa langsung terdengar mendengar perkataan Luna. "Tapi aku nggak mau ya kalau harus gendong kamu pulangnya nanti." "Memang aku segendut itu sampai kakak nggak kuat gendong aku," gerutu Luna. "Bukan masalah gendut tapi aku harus menggendong dua orang mana kuat." "Dasar lemah," ejek Luna. "Sudah berani ya ngejek suami." Luna berusaha menghindari gelitikan tangan suaminya yang semakin mendekat, tawa mereka membahana menyambut datangnya matahari yang baru saja bangun dari peraduannya. Pagi yang sangat indah dengan birunya langit yang seolah ikut tersenyum melihat kebersamaan kedua insan itu.
Pagi ini LUna bangun dnegan perasaan senang. Malam tadi Laksa pulang dengan banyak makanan kesukaannya. Kalau dipikir-pikir dia sangat murahan, hanya karena makanan saja perasan kesalnya langsung hilang, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini efek tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Apalagi Laksa juga memanjakannya dengan memijit tubuhnya yang memang gampang merasa pegal setelah kehamilannya bertambah besar. Bukannya LUna tak tahu kalau semua ini hanya sogokan supaya dia tidak marah dengan pertemuan sang suami dengan mantan kekasihnya, apalagi Laksa bilang kalau tadi pagi Raya datang mendatanginya di kantor tadi pagi. Luna hanya berusaha percaya pada sang suami yang tidak akan tergoda lagi oleh mantan kekasihnya itu. Dipandangnya wajah Laksa yang sedang tidur terlelap di sampingnya, begitu damai seperti tanpa beban. Luna kembali menelusupkan kepalanya dalam pelukan hangat Laksa, rasanya dia tidak akan re
Aku tahu. maafakan aku. Penyaki ini seperti karma untukku, karena mengkhianatimu. Andai kamu tahu bagaiman sedihnya aku saat kamu memutuskan hubungan kita." Raya menghela napas berat, dia menatap Laksa yang hanya diam saja hanya menatapnya dengan datar. "Aku depresi dan mengurung diri di dalam kamar, aku pingsan di kamar tanpa seorangpun tahu, untung salah satu temanku kebetulan datang ke kamarku dan menemukanku, dialah yang membawaku ke rumah sakit," lanjut wanita itu lagi. Bahkan setelah Raya selesai bicara, Laksa hanya diam dan seolah tak peduli membuat wanita itu kecewa, tapi dia bukan orang yang mudah putus asa. "Dokter bilang aku menderita magh parah dan juga anemia." "Kenapa tidak makan?" Raya langsung tersenyum mendengar pertanyaan Laksa, laki-laki itu pasti khawatir padanya, dia menatap dengan binar penuh harap laki-laki yang masih sangat dia cintai itu. "Karena aku memi
Gelisah dan marah itu yang Laksa rasakan sekarang. Perasaan itu tak dapat Laksa hindari, menerjang kuat selayaknya ombak yang setiap saat menghantam pasir di tepi pantai. Entah bagaimana caranya untuk menghapus semua rasa itu, otaknya bahkan sudah penuh dengan berbagai hal saat ini, persoalan pekerjaan, persoalan hubungannya dengan sang istri dan keluarga besarnya. Semua persoala itu seperti berlomba untuk mendatanginya, bagai tamu yang datang tanpa diundana meski Laksa sudah mati-matian untuk menolaknya. Laksa pantas gelisah dengan munculnya Raya secara tiba-tiba dikantornya, mungkin dulu itu hal yang biasa saj saat mereka masih pacaran, tapi sekarang dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi ayah, semua orang tahu itu dan juga kehadiran Dirga yang akan memperkerus suasana yang membuatnya semakin terjepit dan itu membuatnya marah. Akan tetapi Raya bukan orang yang mudah, menghadapi Rayaa dia harus tenang. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Laksa langsung. Raya ters
Laksa menjabat tangan laki-laki paruh baya itu dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Akhirnya setelah dia pontang-panting melobi sana sini, event besar itu baru bisa dia dapatkan, dan hanya hotelnya yang akan menjadi tempat acara, restoran miliknya juga akan menjadi penyuplai utama untuk sarapan dan makan siang, acara itu akan diadakan satu bulan dengan tamu orang-orang terkenal dan tentu saja banyak wartawan yang akan datang. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, waktu kerja resmi memang masih satu jam lagi, tapi Laksa sudah begitu sibuk sepagi ini. "Wih, untung besar ini, makan-makan dong." "Kamu seperti kekurangan uang saja, makan-makan nunggu ada momen besar." "Aku tidak sesultan dirimu, jadi ya maklum saja kalau aku lebih suka gratisan, apalagi kalau makanan mewah," kata Dirga menyebalkan.Dirga memang berhak menuntut semua itu, dia sudah banyak sekali membantu Laksa dalam memenangkan tender ini. "Jadi kamu datang kemari sengaja untu
Luna mematut dirinya di cermin panjang yang ada di kamar mereka. Perutnya sudah membesar dan bobot tubuhnya naik dengan drastis, akibat makannya yang gila-gilaan, tiap menit bahkan detik harus ada saja makanan yang harus dia kunyah di mulutnya sampai mulut Luna pegal sendiri, pernah dia mengeluhkan hal itu pada Laksa tapi jawaban suaminya sungguh membuatnya gondok. “Aku tidak keberatan mengunyahkan untukmu nanti aku bisa suapkan langsung dari mulut ke mulut pasti rasanya lebih manis.” Memang Laksa kira Luna anak bayi, dasar suaminya agak sinting. Dulu Luna sangat penasaran, bagaimana rasanya hamil, dan dia sering bertanya pada sepupunya yang hobi sekali hamil saat itu, tapi sang sepupu hanya tertawa dan mengatakan semua akan terbayar sudah saat melihat wajah mungil menggemaskan yang akan memanggilnya ibu. Karena itu Luna sangat tidak sabar menanti buah hatinya lahir, selain untuk membuktikan teori sepupunya, dia jug
"Dia yang tadi pagi telepon ke ponsel kakak, apa kalian janjian bertemu di sini?" tanya Luna saat Laksa sudah menggandeng tangannya keluar dari butik.Laksa seketika menghentikan langkahnya, dan memandang Luna dengan gugup.Luna memang sudah menceritakan telepon yang masuk tadi pagi dan Luna mengangkatnya. Sejak hubungan mereka membaik memang tak jarang Laksa memperbolehkan Luna untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya demikian juga sebaliknya, karena itu Laksa langsung memblokir dan menghapus pesan dari Raya, bukan ingin merahasiakan semua ini dari Luna, tapi hanya tak ingin sang istri merasa terbebani, apalagi kondisi Luna yang tidak boleh terlalu banyak beban pikiran. Laksa memang sudah menduga kalau penelepon nyolot tadi pagi yang dimaksud Luna adalah Raya meski dia hanya mengatakan tak tahu dan nanti akan menelepon balik, tapi jawaban itu ternyata berbuntut panjang.Tentu saja dia tak menelepon kembali, tapi semesta mungkin sedang bercanda denganny
Luna selalu bertanya-tanya kenapa banyak orang terutama wanita suka sekali berbelanja dan bisa kalap hingga sampai jutaan? Ternyata memang berbelanja barang berkualitas tinggi memang sangat menyenangkan seperti ini. Matanya berkeliling mengawasi deretan baju bayi yang dipajang di dalam etalase, baju-baju mungil itu terlihat luar biasa menggemaskan di mata Luna. Berkali-kali dia mengusap perutnya yang mulai membesar, kandungannya memang sudah berusia enam bulan dan tiga bulan lagi dia akan bertemu dengan anaknya, anak yang bermula dari kecelakaan, tapi bagaimanapun proses pembuatan anak ini Luna sangat sayang padanya sekarang, dia sudah tak sabar untuk melihat sang anak lahir ke dunia. Luna teringat saat dia bersama Laksa pergi ke dokter kandungan, dan saat dokter menawarkan untuk melihat jenis kelamin sang bayi, kedua calon orang tua itu mengangguk mengiyakan. “Jagoan ternyata,” seru Laksa kala itu saat dokter menunjukkan menara yang ada di antara kedua kaki bay