Aku tahu. maafakan aku. Penyaki ini seperti karma untukku, karena mengkhianatimu. Andai kamu tahu bagaiman sedihnya aku saat kamu memutuskan hubungan kita." Raya menghela napas berat, dia menatap Laksa yang hanya diam saja hanya menatapnya dengan datar. "Aku depresi dan mengurung diri di dalam kamar, aku pingsan di kamar tanpa seorangpun tahu, untung salah satu temanku kebetulan datang ke kamarku dan menemukanku, dialah yang membawaku ke rumah sakit," lanjut wanita itu lagi. Bahkan setelah Raya selesai bicara, Laksa hanya diam dan seolah tak peduli membuat wanita itu kecewa, tapi dia bukan orang yang mudah putus asa. "Dokter bilang aku menderita magh parah dan juga anemia." "Kenapa tidak makan?" Raya langsung tersenyum mendengar pertanyaan Laksa, laki-laki itu pasti khawatir padanya, dia menatap dengan binar penuh harap laki-laki yang masih sangat dia cintai itu. "Karena aku memi
Pagi ini LUna bangun dnegan perasaan senang. Malam tadi Laksa pulang dengan banyak makanan kesukaannya. Kalau dipikir-pikir dia sangat murahan, hanya karena makanan saja perasan kesalnya langsung hilang, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini efek tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Apalagi Laksa juga memanjakannya dengan memijit tubuhnya yang memang gampang merasa pegal setelah kehamilannya bertambah besar. Bukannya LUna tak tahu kalau semua ini hanya sogokan supaya dia tidak marah dengan pertemuan sang suami dengan mantan kekasihnya, apalagi Laksa bilang kalau tadi pagi Raya datang mendatanginya di kantor tadi pagi. Luna hanya berusaha percaya pada sang suami yang tidak akan tergoda lagi oleh mantan kekasihnya itu. Dipandangnya wajah Laksa yang sedang tidur terlelap di sampingnya, begitu damai seperti tanpa beban. Luna kembali menelusupkan kepalanya dalam pelukan hangat Laksa, rasanya dia tidak akan re
Bahagia itu sederhana bisa berjalan bergandengan tangan dengan suami seperti ini saja Luna merasa hari ini akan indah. "Mau bagaimana lagi namanya juga lagi hamil. Kalau jalan sampai taman aku pasti kuat, lagipula kata dokter disarankan untuk banyak olahraga ringan." Tawa renyah Laksa langsung terdengar mendengar perkataan Luna. "Tapi aku nggak mau ya kalau harus gendong kamu pulangnya nanti." "Memang aku segendut itu sampai kakak nggak kuat gendong aku," gerutu Luna. "Bukan masalah gendut tapi aku harus menggendong dua orang mana kuat." "Dasar lemah," ejek Luna. "Sudah berani ya ngejek suami." Luna berusaha menghindari gelitikan tangan suaminya yang semakin mendekat, tawa mereka membahana menyambut datangnya matahari yang baru saja bangun dari peraduannya. Pagi yang sangat indah dengan birunya langit yang seolah ikut tersenyum melihat kebersamaan kedua insan itu.
"Aku Raya, kamu pasti sudah tahu siapa aku. Bisakah kita bertemu sebentar?" Luna membaca pesan di ponselnya dengan perasaan tak menentu, ternyata rasa pecaya diri mantan pacar suaminya ini sangat tinggi, mungkin itu juga yang membuatnya bisa menjadi model terkenal seperti sekarang. Laksa juga pernah bercerita kalau mantannya itu wanita yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan, jadi pertemuan mereka dulu memang tidak setiap hari. Akan tetapi wanita ini sepertinya mempunyai waktu luang yang lumayan banyak sekarang sampai dia bisa merecoki hubungannya dan Laksa. Bukan LUna ingin berburuk sangka pada wanita masa lalu suaminya, tapi tidakan yang dilakukan wanita itu membuatnya tak bisa berpikir positif. SEkarang untuk apa dia menghubunginya dan meminta bertemu. SElain pelaku yang telah menjebak Luna, tidak ada lagi urusan di anatara mereka dan Raya sepertinya bukan tipe orang yang akan meminta maaf untuk perbuatan salahnya waktu itu.
Luna mengeratkan rangkulannya di lengan sang ayah. Dia perlu pegangan agar tidak terjatuh karena gugup, dadanya berdebar sangat kencang, sampai dia takut sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah. Pesta malam ini begitu meriah, lampu-lampu yang tertata apik menambah semarak suasana. Ini bukan kali pertama Luna menemani sang ayah ke sebuah pesta, tapi ini pertama kalinya Luna akan bertemu lagi dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki yang sangat dikaguminya dan selalu menghiasi setiap mimpi-mimpi indahnya.Luna ingat sekali saat sang ayah memberikan selembar foto padanya.Dia menatap foto itu dengan tak percaya. Luna mencubit lengannya sekedar meyakinkan diri, bahwa ini semua nyata. Rasanya dia ingin tertawa bahagia saat dirasakannya sakit di lengannya. Ini memang nyata dan matanya masih cukup normal untuk mengenali foto laki-laki tampan yang menjadi bunga-bunga tidurnya, yang membuatnya seolah terbang ke awan meski hanya melihat kelebat bayangnya. “Bagaimana, Nak, apa kamu mau? Ayah tidak ak
"Wanita murahan! Rendahan! Apa yang kamu lakukan padaku!" Luna hanya bisa menatap wajah laki-laki yang dikaguminya itu dengan mata terbelalak.Laksa baru saja terbangun dari tidurnya, dan memandang Luna penuh kebencian saat melihat kondisi mereka berdua. Luna tak tahu apa yang sedang terjadi, Laksa yang memperkosanya, dan sekarang laki-laki itu malah meneriakinya seolah Luna hanya seekor anjing yang tak punya perasaan.Tapi Luna terlalu takut untuk membuka suara, seumur hidup dia belum pernah mendapatkan bentakan sekasar itu. Luna bergeming, tubuhnya menggigil oleh semua rasa yang hinggap dalam tubuhnya, dia bahkan berharap saat ini Tuhan mencabut nyawanya saja.Dengan memegang erat selimut yang menyelubungi tubuh polosnya, dia duduk meringkuk dipojokan dengan menyedihkan. Sedangkan laki-laki di depannya masih meneriakkan sumpah serapah. Luna terlonjak saat suara bantingan pintu memenuhi ruangan. Sungguh Luna tak mengerti apa yang terjadi bukankah seharusnya dia yang marah, dia ya
Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu. Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat. “Kita pulang.” Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa. Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi. “Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa. Tapi tak lama keluar Ayah Laksa y
Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja. Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri
"Aku Raya, kamu pasti sudah tahu siapa aku. Bisakah kita bertemu sebentar?" Luna membaca pesan di ponselnya dengan perasaan tak menentu, ternyata rasa pecaya diri mantan pacar suaminya ini sangat tinggi, mungkin itu juga yang membuatnya bisa menjadi model terkenal seperti sekarang. Laksa juga pernah bercerita kalau mantannya itu wanita yang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan, jadi pertemuan mereka dulu memang tidak setiap hari. Akan tetapi wanita ini sepertinya mempunyai waktu luang yang lumayan banyak sekarang sampai dia bisa merecoki hubungannya dan Laksa. Bukan LUna ingin berburuk sangka pada wanita masa lalu suaminya, tapi tidakan yang dilakukan wanita itu membuatnya tak bisa berpikir positif. SEkarang untuk apa dia menghubunginya dan meminta bertemu. SElain pelaku yang telah menjebak Luna, tidak ada lagi urusan di anatara mereka dan Raya sepertinya bukan tipe orang yang akan meminta maaf untuk perbuatan salahnya waktu itu.
Bahagia itu sederhana bisa berjalan bergandengan tangan dengan suami seperti ini saja Luna merasa hari ini akan indah. "Mau bagaimana lagi namanya juga lagi hamil. Kalau jalan sampai taman aku pasti kuat, lagipula kata dokter disarankan untuk banyak olahraga ringan." Tawa renyah Laksa langsung terdengar mendengar perkataan Luna. "Tapi aku nggak mau ya kalau harus gendong kamu pulangnya nanti." "Memang aku segendut itu sampai kakak nggak kuat gendong aku," gerutu Luna. "Bukan masalah gendut tapi aku harus menggendong dua orang mana kuat." "Dasar lemah," ejek Luna. "Sudah berani ya ngejek suami." Luna berusaha menghindari gelitikan tangan suaminya yang semakin mendekat, tawa mereka membahana menyambut datangnya matahari yang baru saja bangun dari peraduannya. Pagi yang sangat indah dengan birunya langit yang seolah ikut tersenyum melihat kebersamaan kedua insan itu.
Pagi ini LUna bangun dnegan perasaan senang. Malam tadi Laksa pulang dengan banyak makanan kesukaannya. Kalau dipikir-pikir dia sangat murahan, hanya karena makanan saja perasan kesalnya langsung hilang, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini efek tak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Apalagi Laksa juga memanjakannya dengan memijit tubuhnya yang memang gampang merasa pegal setelah kehamilannya bertambah besar. Bukannya LUna tak tahu kalau semua ini hanya sogokan supaya dia tidak marah dengan pertemuan sang suami dengan mantan kekasihnya, apalagi Laksa bilang kalau tadi pagi Raya datang mendatanginya di kantor tadi pagi. Luna hanya berusaha percaya pada sang suami yang tidak akan tergoda lagi oleh mantan kekasihnya itu. Dipandangnya wajah Laksa yang sedang tidur terlelap di sampingnya, begitu damai seperti tanpa beban. Luna kembali menelusupkan kepalanya dalam pelukan hangat Laksa, rasanya dia tidak akan re
Aku tahu. maafakan aku. Penyaki ini seperti karma untukku, karena mengkhianatimu. Andai kamu tahu bagaiman sedihnya aku saat kamu memutuskan hubungan kita." Raya menghela napas berat, dia menatap Laksa yang hanya diam saja hanya menatapnya dengan datar. "Aku depresi dan mengurung diri di dalam kamar, aku pingsan di kamar tanpa seorangpun tahu, untung salah satu temanku kebetulan datang ke kamarku dan menemukanku, dialah yang membawaku ke rumah sakit," lanjut wanita itu lagi. Bahkan setelah Raya selesai bicara, Laksa hanya diam dan seolah tak peduli membuat wanita itu kecewa, tapi dia bukan orang yang mudah putus asa. "Dokter bilang aku menderita magh parah dan juga anemia." "Kenapa tidak makan?" Raya langsung tersenyum mendengar pertanyaan Laksa, laki-laki itu pasti khawatir padanya, dia menatap dengan binar penuh harap laki-laki yang masih sangat dia cintai itu. "Karena aku memi
Gelisah dan marah itu yang Laksa rasakan sekarang. Perasaan itu tak dapat Laksa hindari, menerjang kuat selayaknya ombak yang setiap saat menghantam pasir di tepi pantai. Entah bagaimana caranya untuk menghapus semua rasa itu, otaknya bahkan sudah penuh dengan berbagai hal saat ini, persoalan pekerjaan, persoalan hubungannya dengan sang istri dan keluarga besarnya. Semua persoala itu seperti berlomba untuk mendatanginya, bagai tamu yang datang tanpa diundana meski Laksa sudah mati-matian untuk menolaknya. Laksa pantas gelisah dengan munculnya Raya secara tiba-tiba dikantornya, mungkin dulu itu hal yang biasa saj saat mereka masih pacaran, tapi sekarang dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi ayah, semua orang tahu itu dan juga kehadiran Dirga yang akan memperkerus suasana yang membuatnya semakin terjepit dan itu membuatnya marah. Akan tetapi Raya bukan orang yang mudah, menghadapi Rayaa dia harus tenang. "Apa yang kamu inginkan?" tanya Laksa langsung. Raya ters
Laksa menjabat tangan laki-laki paruh baya itu dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Akhirnya setelah dia pontang-panting melobi sana sini, event besar itu baru bisa dia dapatkan, dan hanya hotelnya yang akan menjadi tempat acara, restoran miliknya juga akan menjadi penyuplai utama untuk sarapan dan makan siang, acara itu akan diadakan satu bulan dengan tamu orang-orang terkenal dan tentu saja banyak wartawan yang akan datang. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, waktu kerja resmi memang masih satu jam lagi, tapi Laksa sudah begitu sibuk sepagi ini. "Wih, untung besar ini, makan-makan dong." "Kamu seperti kekurangan uang saja, makan-makan nunggu ada momen besar." "Aku tidak sesultan dirimu, jadi ya maklum saja kalau aku lebih suka gratisan, apalagi kalau makanan mewah," kata Dirga menyebalkan.Dirga memang berhak menuntut semua itu, dia sudah banyak sekali membantu Laksa dalam memenangkan tender ini. "Jadi kamu datang kemari sengaja untu
Luna mematut dirinya di cermin panjang yang ada di kamar mereka. Perutnya sudah membesar dan bobot tubuhnya naik dengan drastis, akibat makannya yang gila-gilaan, tiap menit bahkan detik harus ada saja makanan yang harus dia kunyah di mulutnya sampai mulut Luna pegal sendiri, pernah dia mengeluhkan hal itu pada Laksa tapi jawaban suaminya sungguh membuatnya gondok. “Aku tidak keberatan mengunyahkan untukmu nanti aku bisa suapkan langsung dari mulut ke mulut pasti rasanya lebih manis.” Memang Laksa kira Luna anak bayi, dasar suaminya agak sinting. Dulu Luna sangat penasaran, bagaimana rasanya hamil, dan dia sering bertanya pada sepupunya yang hobi sekali hamil saat itu, tapi sang sepupu hanya tertawa dan mengatakan semua akan terbayar sudah saat melihat wajah mungil menggemaskan yang akan memanggilnya ibu. Karena itu Luna sangat tidak sabar menanti buah hatinya lahir, selain untuk membuktikan teori sepupunya, dia jug
"Dia yang tadi pagi telepon ke ponsel kakak, apa kalian janjian bertemu di sini?" tanya Luna saat Laksa sudah menggandeng tangannya keluar dari butik.Laksa seketika menghentikan langkahnya, dan memandang Luna dengan gugup.Luna memang sudah menceritakan telepon yang masuk tadi pagi dan Luna mengangkatnya. Sejak hubungan mereka membaik memang tak jarang Laksa memperbolehkan Luna untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya demikian juga sebaliknya, karena itu Laksa langsung memblokir dan menghapus pesan dari Raya, bukan ingin merahasiakan semua ini dari Luna, tapi hanya tak ingin sang istri merasa terbebani, apalagi kondisi Luna yang tidak boleh terlalu banyak beban pikiran. Laksa memang sudah menduga kalau penelepon nyolot tadi pagi yang dimaksud Luna adalah Raya meski dia hanya mengatakan tak tahu dan nanti akan menelepon balik, tapi jawaban itu ternyata berbuntut panjang.Tentu saja dia tak menelepon kembali, tapi semesta mungkin sedang bercanda denganny
Luna selalu bertanya-tanya kenapa banyak orang terutama wanita suka sekali berbelanja dan bisa kalap hingga sampai jutaan? Ternyata memang berbelanja barang berkualitas tinggi memang sangat menyenangkan seperti ini. Matanya berkeliling mengawasi deretan baju bayi yang dipajang di dalam etalase, baju-baju mungil itu terlihat luar biasa menggemaskan di mata Luna. Berkali-kali dia mengusap perutnya yang mulai membesar, kandungannya memang sudah berusia enam bulan dan tiga bulan lagi dia akan bertemu dengan anaknya, anak yang bermula dari kecelakaan, tapi bagaimanapun proses pembuatan anak ini Luna sangat sayang padanya sekarang, dia sudah tak sabar untuk melihat sang anak lahir ke dunia. Luna teringat saat dia bersama Laksa pergi ke dokter kandungan, dan saat dokter menawarkan untuk melihat jenis kelamin sang bayi, kedua calon orang tua itu mengangguk mengiyakan. “Jagoan ternyata,” seru Laksa kala itu saat dokter menunjukkan menara yang ada di antara kedua kaki bay