Home / Romansa / Wanita Yang Kau Pilih / 3. Ayah Percaya?

Share

3. Ayah Percaya?

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2025-01-30 10:31:29

Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu.

Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat.

“Kita pulang.”

Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa.

Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi.

“Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa.

Tapi tak lama keluar Ayah Laksa yang sedang membopong seseorang dengan tergesa ke luar rumah, di belakangnya Laksa ingin membantu sang ayah kalimat. “Selesaikan urusanmu, baru temui kami.” Menghentikan langkahnya.

Luna bisa melihat pandangan khawatir Laksa, tapi dia juga tak mampu untuk melawan perintah ayahnya, apalagi setelah apa yang terjadi.

Laksa menoleh pada Luna dan ayahnya yang masih berdiri diam di sana dengan tatapan yang sangata tajam.

“Kita pulang sekarang,” kata sang ayah tegas, membuat Luna yang masih terpaku di tempat tersentak kaget dan buru-buru mengikuti ayahnya.

“Tunggu, Om. Kalian tidak bisa pergi begitu saja setelah apa yang terjadi.”

“Apa lagi maumu, menuduh anakku yang menjebakmu.” Meski hatinya masih ragu tapi ayah Luna tak mungkin membiarkan putri kesayangan dituduh macam-macam oleh pemuda di depannya ini.

Sejak awal dia yang salah menyetujui perjodohan Luna dan Laksa. Mereka hanya keluarga sederhana, sangat timpang denga keluarga ini yang punya segalanya.

“Om tidak perlu buru-buru saya akan buktikan kalau putri om yang menjebak saya.” Laksa memandang Luna dengan jijik.

“Baik ayo kita lihat bukti apa itu.”

Luna mengikuti ayahnya, dia berharap apapun bukti yang dimaksud Laksa bisa membebaskannya dari semua tuduhan menjebak laki-laki itu, Luna bahkan sudah tak ingin lagi melihat Laksa. Dia sakit hati dan merasa terhina.

Laksa mempersilahkan mereka melihat layar besar di ruangan itu, hanya mereka bertiga di sana.

Sebuah video diputar, ternyata CCTV rumah ini, terlihat Luna yang mengambil dua buah minuman dari seorang pelayan, gadis itu lalu berjalan berputar-putar saat mencari ayahnya.

Dan karena lelah dan ingin munim Luna duduk di sebuah kursi panjang, dan terlihat Laksa yang sudah duduk di sana, Luna memberikan minuman itu pada Laksa yang tanpa curiga diminumnya hingga habis.

“Dari sini, sudah jelas bukan kalau putri om yang sengaja memberiku minuman itu,” kata Laksa dingin.

Erwin, ayah Luna mengerutkan keninganya dan menatap Laksa tepat di matanya. “Putriku memang memberimu minuman tapi di sana tidak terlihat memasukkan apapun setelah mengambilnya dari pelayan.”

“Minuman itu tadinya untuk ayah,” Luna angkat bicara, “Luna mencari ayah tapi tidak ketemu. Luna memang tak punya bukti tapi sungguh Luna tidak memasukkan apapun ke minuman itu.”

“Bahkan kamu masih mengelak saat bukti sejelas ini,” kata Laksa geram. “Kalau om masih tidak percaya, ada banyak orang yang menyaksikan putri om memberikan minuman padaku.”

“Adakah bukti bahwa putriku yang memasukkan obat itu, atau kamu hanya sedang mencari kambing hitam saja untuk menyalahkan kami.” Luna bisa melihat ayahnya yang biasanya lembut dan santun mulai kehilangan kontrol dirinya. “Jadi apa maumu sebenarnya, kamu mau cuci tangan dan tidak bertanggung jawab begitu, silahkan aku juga tidak sudi putriku dihina dan soal perjodohan itu kamu tenang saja, aku akan bicara pada kakekmu dan membatalkannya. Kita pulang, Lun.”

Luna kembali berjalan di belakang ayahnya, Luna tahu ayahnya sangat kecewa padanya, tapi ayahnya tetap saja ayah terbaik di dunia bagi Luna, dia tetap menjadi pahlawan untuknya, bahkan saat semua orang lebih mempercayai Laksa.

Luna tak tahu apa yang akan terjadi padanya, dia tak mungkin lebih menyusahkan ayahnya lagi. ayahnya guru yang cukup disegani di kampungnya, nama baik ayahnya sudah pasti akan tercoreng karenanya.

Mereka berkendara dalam diam, tak ada yang membuak suara, mereka larut dalam pemikiran masing-masing.

“Yah,” panggil Luna pelan saat sang ayah sudah memarkir mobilnya di halaman rumah.

“Nanti Lun, istirahatlah dulu.” Sang ayah menginggalkan Luna tanpa menoleh lagi, tidak ada senyuman hangat atau usapan lembut di kepalanya seperti biasa.

Ayahnya yang biasanya berjalan penuh wibawa, hari ini terlihat sangat ringgih dan lemah, Luna menggigit bibirnya kuat-kuat, mencegah air mata meluncur di pipinya.

Kenapa semua ini harus terjadi? Padahal saat berangkat tadi dia begitu bahagia.

Dengan lesu Luna melangkah ke kamarnya, Luna ingin mandi membersihkan semua sisa-sisa laki-laki itu di tubuhnya, bahkan kalau bisa Luna ingin mengelupas kulitnya.

Entah sudah berapa lama Luna ada di kamar mandi, dia mendengar sayup-sayup suara ayahnya memannggil, seluruh tubuhnya menggigil mati rasa.

Luna bukan pengecut yang akan mengakhiri hidupnya, dia tidak akan mungkin membebankan ini semua pada ayahnya. Diharusnya air mata yang mengalir, dia masih punya sang ayah yang percaya padanya, setidaknya itu yang Luna yakini.

“Luna sedang mandi, Yah, maaf lama,” Luna menunduk tak berani menatap ayahnya. Lalu dirasakannya pelukan hangat yang sangat Luna sukai, tapi kali ini pelukan itu berbeda, bahu sang ayah bergetar, dan Luna tahu kalau sang ayah menangis.

“Maafkan ayah, Nak,” kata sang ayah disela tangisnya. “Ayah bukan ayah yang baik, ayah telah gagal menjagamu.”

Luna makin tergugu, ini bukan salah ayahnya, bagi Luna sang ayah adalah ayah terbaik di dunia, pahlawannya yang selalu melindungi Luna. Jika hal buruk terjadi pada Luna, sungguh ini bukan salah ayahnya.

“Ini bukan salah ayah, Luna yang salah tak bisa menjaga diri, tapi sungguh, Yah, Luna tidak pernah menjebak siapapun.”

Sang ayah melonggarkan pelukan mereka dan menatap putrinya yang begitu pucat seperti mayat. “Ayah percaya putri ayah tak akan melakukannya,” kata sang ayah yakin.

Itu cukup untuk Luna.

Kepercayaan ayahnya,

“Yah, ijinkan Luna pergi, Luna tidak ingin karena aib ini ayah nama baik ayah menjadi rusak.” Mereka duduk di atas ranjang Luna, sang ayah menatap putrinya terkejut.

“Ayah tidak peduli dengan nama baik, suatu saat pasti kebenarnya akan terungkap, bagaimanapun kamu tetap putri ayah.”

“Luna tahu, Yah, Luna akan pergi ke rumah nenek untuk semantara waktu, Luna janji akan kembali saat Luna sudah pulih. Luna janji akan baik-baik saja, ayah bisa mengunjungi Luna di rumah nenek.”

Sang ayah menatap Luna lama, dia sungguh tak rela berpisah dengan putrinya dengan cara seperti ini. Tapi Luna benar, dia butuh sedikit ruang, jauh dari gangguan keluarga Sanjaya.

Dengan berat hati sang ayah mengangguk.

“Terima kasih, Yah,” kata Luna parau.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Wanita Yang Kau Pilih   4. Memilih Mundur

    Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja. Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri

    Last Updated : 2025-01-30
  • Wanita Yang Kau Pilih   5. Suasana Baru

    “Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.” Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna. Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya. Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu. Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam. Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat i

    Last Updated : 2025-01-30
  • Wanita Yang Kau Pilih   6. Pekat

    Luna masih memandang ponselnya yang menggelap, ayahnya adalah orang yang sangat mendukungnya selama ini, Bahkan saat Luna ingin melarikan diri ke rumah neneknya, ayahnya tidak mengatakan keberatan sedikitpun. Tapi kenapa sekarang sang ayah tiba-tiba memintanya pulang. Luna mengacak rambutnya sebal, apa keluarga itu mengancam ayahnya? Bukankah mereka tidak dirugikan sama sekali, seharusnya di sini Lunalah yang berhak marah pada mereka. Luna diperkosa, tapi dialah yang dituduh menjadi dalang dari semua itu belum puas Laksa melakukan hal itu dia juga menghina Luna dan ayahnya, dan laki-laki itu juga tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, kurang apalagi, tidakkah mereka terlalu serakah dan belum puas juga menghancurkannya.Sebenarnya apa salah Luna di sini? Dia hanya mencintai seseorang dan kebetulan orang tua mereka menjodohkan, Luna dan ayahnya juga tidak memaksa jika Laksa tak mau, bagaimanapun Luna masih punya harga diri. Luna selalu merasa malu dengan dirinya sendiri kenapa

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Yang Kau Pilih   7. Devano

    Luna bangun karena dering ponselnya yang sangat mengganggu, sejenak dia mengumpulkan nyawanya yang masih melayang di awang-awang, lalu mengucek mata yang masih seperti ketumpahan lem super. Dilihatnya jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, rajin sekali peneleponnya ini, barulah dia meraih ponselnya yang dari tadi terus menjerit.  “Ayah,” gumamnya pelan. “Kata nenek kamu jadi pulang hari ini? apa perlu ayah jemput?” ayahnya ini bagaimana kemarin suruh pulang buru-buru sekarang malah harus suruh tunggu dia menjemput. “Luna pulang sendiri saja, Yah.” “Kamu baik-baik saja kan, Nak, ayah minta maaf kemarin ponsel ayah habis baterai.” Huftt ternyata tebakan neneknya benar hati Luna sedikit lega,  bayangannya ala sinetron trailer kemarin tak terjadi. “Seharusnya Luna yang bertanya begitu,” jawab Luna sedikit merajuk. Luna bisa membayangkan sang ayah yang akan tersenyum lembut mendengar protesnya. “Ayah minta maaf ya, Nak, sudah membuat p

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Yang Kau Pilih   8. Tak Terlihat

    Luna meninggalkan Vano yang masih mengoceh di belakang, teman seperjalannya itu terasa sangat menyebalkan, meski Luna akuiVano begitu baik dan sabar menerima sikap ketus dan juteknya yang terlanjur malu dan kesal karena ulah ajaib kakak beradik itu. Mereka sudah sampai di stasiun Malang kota baru, sialnya lagi Luna lupa mencharge ponselnya di kereta. Tadi di rumah nenek dia sibuk mengupas bawang dan melupakan sejenak eksistensi ponselnya, sekarang dikereta dia terlalu pusing degan omonganVano jadi lupa lagi. Dengan memanggung tas ransel yang tidak terlalu berat mata Luna jelalatan mencari dimana kira-kira dia bisa mengisi daya ponselnya. “Kamu kehilangan dompet?” tanyaVano yang tiba-tiba sudah berdiri dengan manis di sampingnya. “Kak Vano tidak langsung pergi?” “Aku menunggu jemputan temanku, kamu sudah di jemput atau bareng aku saja, lumayankan hemat ongkos.” Ayahnya pasti akan marah kalau tahu lebih memilih naik ojek dari pada menghubunginya. “Aku me

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Yang Kau Pilih   9. Sebuah Permintaan

    Rumah sakit. Kata itu memberikan trauma tersendiri untuk Luna, dia tak pernah berkawan baik dengan bangunan megah tempat orang sakit itu. Dia sangat ingat hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekhawatiran saat sang ibu masih di rawat di sana dan akhirnya harus menyerah dan meninggalkan Luna untuk selama-lamanya. Apa ayahnya sakit?Sebuah kesadaran itu membuat tubuh Luna bergetar hebat, dia tak mau kehilangan lagi, hanya ayah yang dia punya saat ini. “Apa ayah sakit? Apa parah?” katanya dengan terbata. “Kamu itu ngomong apa, Lun, bukan ayah yang sakit, tapi kita kesana untuk menjenguk seseorang.”“Syukurlah kalau begitu Luna sudah takut sekali. Jadi kita akan menjenguk siapa?” tanya Luna dengan penasaran karena sang ayah tidak menjelaskan apapun. “Teman ayah.” Perjalanan ke rumah sakit mereka lalui dalam diam entah kenapa menurut Luna sang ayah lebih banyak diam, tak ada lagi pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari Luna, atau sekedar godaa

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Yang Kau Pilih   10. Dilema

    “Nikahi Luna, Nak.” Baik Luna maupun Laksa terbelalak mendengar permintaan itu, sejak awal memang mereka sudah menduga tapi tak menyangka permintaan akan sefrontal itu. “Ma, jangan pikirkan itu dulu, yang penting mama sembuh,” Laksa berkata lembut berusaha menutupi amarah yang siap meledak di dadanya. Bukan pada sang mama tentu saja, tapi pada gadis sok polos di sampingnya yang telah berhasil mengacaukan semua impiannya untuk bersanding dengan wanita pujaannya. “Mama tahu penyakit ini sudah tak dapat lagi disembuhkan, dan sebelum mama pergi mama ingin melihatmu menikah, dan Luna adalah pilihan terbaik untukmu.” Laksa memejamkan matanya. “Bicaralah, Nak.” “Sebentar, Ma, Laksa ingin merangkai kata dulu, supaya tidak ada yang terluka dengan kalimat Laksa.” Laksa tahu itu kata yang sangat kasar untuk mamanya, apalagi wanita yang sangat disayanginya itu sedang terbaring sakit. “Mama ingatkan kalau dia sudah menjebak Laksa, supaya tidur dengannya.”

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Yang Kau Pilih   11. Bukan Pengecut

    Pak Erwin memandang putrinya yang langsung terdiam dengan kedatangan pemuda di depannya  ini. Tak dapat dipungkiri ingin rasanya dia memukuli Laksa hingga babak belur, sebagai seorang ayah tentu saja dia tak terima putrinya diperlakukan seperti itu. “Silahkan bicara,” kata Pak Erwin tenang.Laksa terlihat tak suka. “Maaf om saya ingin bicara berdua dengannya.”“Luna... nanya Luna bagaimana kamu ingin bicara dengannya, kalau namanya saja kamu tak tahu.” Laksa tahu dia tak dapat mencapai keinginannya kalau keras kepala. “Maaf Om iya saya ingin bicara dengan Luna sebentar.” “Untuk apa, saya ayahnya tentu saja saya tak akan mengijinkan dia disakiti siapapun, apalagi dituduh yang tak jelas hanya untuk menyelamatkan ego seseorang.” “Dia-““Kami permisi.” “Apa karena permintaan mama kalian bersikap seolah-olah sok dibutuhkan,” kata Laksa dengan jengkel. Tapi baik Luna maupun ayahnya sudah biasa menebalkan telinganya menghadapi gunjingan semua orang

    Last Updated : 2025-02-13

Latest chapter

  • Wanita Yang Kau Pilih   116. Wanita Sepertimu

    Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak

  • Wanita Yang Kau Pilih   115. Rencana Jahat

    Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r

  • Wanita Yang Kau Pilih   114. Dia yang Tak Merindu

    Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari

  • Wanita Yang Kau Pilih   112. Jujur lebih Baik

    Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej

  • Wanita Yang Kau Pilih   113. Bimbang

    Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero

  • Wanita Yang Kau Pilih   111. Cinta dan Luka

    Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it

  • Wanita Yang Kau Pilih   110. Usaha Dong

    Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min

  • Wanita Yang Kau Pilih   109. Bahagia dalam Gelap

    “Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a

  • Wanita Yang Kau Pilih   108. Ada Kamu di Dompetku

    Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status