"Wanita murahan! Rendahan! Apa yang kamu lakukan padaku!" Luna hanya bisa menatap wajah laki-laki yang dikaguminya itu dengan mata terbelalak.
Laksa baru saja terbangun dari tidurnya, dan memandang Luna penuh kebencian saat melihat kondisi mereka berdua. Luna tak tahu apa yang sedang terjadi, Laksa yang memperkosanya, dan sekarang laki-laki itu malah meneriakinya seolah Luna hanya seekor anjing yang tak punya perasaan. Tapi Luna terlalu takut untuk membuka suara, seumur hidup dia belum pernah mendapatkan bentakan sekasar itu. Luna bergeming, tubuhnya menggigil oleh semua rasa yang hinggap dalam tubuhnya, dia bahkan berharap saat ini Tuhan mencabut nyawanya saja. Dengan memegang erat selimut yang menyelubungi tubuh polosnya, dia duduk meringkuk dipojokan dengan menyedihkan. Sedangkan laki-laki di depannya masih meneriakkan sumpah serapah. Luna terlonjak saat suara bantingan pintu memenuhi ruangan. Sungguh Luna tak mengerti apa yang terjadi bukankah seharusnya dia yang marah, dia yang mencaci maki laki-laki itu bukan sebaliknya. Luna memang hanya anak seorang guru saja, yang gajinya tak seberapa tapi sang ayah menerapkan pendidikan moral yang sangat baik untuk Luna. Mungkin bagi sebagian orang kehilangan keperawaan di luar nikah bukan hal yang perlu dirisaukan, tapi bagi Luna itu dosa besar yang harus dia tanggung seumur hidup. Tubuhnya yang serasa remuk redam, tak bisa mengalahkan rasa sakit di dalam hatinya, Luka tergugu, apalagi saat membayangkan wajah ayahnya yang sudah pasti akan kecewa padanya. Lagi-lagi bantingan pintu mengagetkan Luna, Laksa keluar kamar mandi rambutnya terlihat basah. Laki-laki itu terlihat menawan dengan kaos oblong dan celana jins panjang, kaosnya yang tidak terlalu tebal memperlihatkan bentuk tubuhnya yang menawan, pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya apalagi dia juga seorang Ceo di hotel milik keluarganya. Luna yang biasanya tak terlalu peduli dengan tampilan laki-laki kali ini juga tidak imun dengan penampilan Laksa. Tapi tatapan Laksa yang langsung menghujam bola matanya membuat Luna merinding. "Kupikir kamu wanita baik-baik, tapi kamu sama saja dengan wanita lain yang menghalalkan segala cara," katanya dingin. "Apa kamu pikir cara ini bisa membuatmu mengikatku, mimpimu terlalu tinggi." Laksa menatap sinis Luna yang masih duduk meringkuk dengan menyedihkan tak ada rasa iba sedikitpun pada gadis yang baru saja dia ambil keperawanannya itu. Laksa terlalu jijik melihat gadis-gadis bertampang polos yang munafik, dan sialnya kali ini dia masuk dalam jebakan gadis ini. "Apa maksudmu, kamu yang memperkosaku!" entah keberanian dari mana Luna menjerit histeris dan tak terima. "Menjijikkan bahkan kamu masih saja sok polos," kata Laksa dengan kernyitan jijik yang tidak dia tutup-tutupi. "Apa maksudmu? Aku korban di sini, masa depanku hancur karena kamu." Laksa berdecih melihat Luna yang menangis. "Kamu memilih cara rendahan dengan memberikan obat perangsang dalam minumanku, apa itu yang kamu maksud sebagai korban?" "Minuman... Minuman ap- maksudmu gelas yang aku berikan padamu, mana mungkin, aku tidak memasukkan apapun ke dalamnya." Luna bahkan tidak habis pikir bagaimana mungkin Laksa berpikir kalau dia yang memasukkan sesuatu dalam minuman itu, itu minuman yang akan dia berikan pada ayahnya, bukan untuk Laksa. "Sudah ingat, atau kamu akan tetap pura lupa," ejeknya sinis. Laksa memandang baju gadis itu yang bertebaran di lantai dengan kilatan mata marah, bagaimana mungkin dia melakukan hal sebrutal itu. Gadis ini benar-benar sangat murahan andai saja dia laki-laki Laksa pasti tak akan ragu untuk menempelengnya. "Pakai baju ini dan pergi dari kamarku, aku tidak sudi bertemu lagi denganmu." Dengan kasar Laksa melemparkan kaos yang tadi diambilnya dari almari, dia memang marah tapi otaknya masih bekerja dengan baik. Dia tak mungkin membiarkan gadis ini keluar kamarnya hanya dengan selimutnya atau baju yang sudah koyak dibeberapa tempat. Andai saja di luar tidak sedang banyak orang tentu Laksa akan dengan senang hati menyeretnya keluar. Tapi belum juga Luna beranjak dari duduknya pintu kamar yang kali ini dibuka dengan kasar. Beberapa orang berdiri di sana menyatap mereka berdua dengan pandangan beragam. Pandangan Luna langsung bersitatap dengan laki-laki paruh baya yang sangat dia sayangi. Ayahnya pahlawan dalam hidupnya memandangnya dengan kekecewaan di matanya. Bahkan Luna bisa melihat mata sang ayah berkaca-kaca. Orang tua Laksa juga ada di sana memandang keduanya dengan kecewa. "Ini tidak seperti yang mama pikir, Laksa dijebak dengan obat perangsang," Laksa meraih tangan mamanya dan berlutut di hadapan wanita yang sudah melahirkannya. "Mama harus percaya sama aku, aku tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu, dia memberiku minuman dengan obat perangsang di dalamnya." tunjuk Laksa pada Luna. Luna tak tahu harus bagaimana, dia tak bisa membela dirinya, lidahnya seolah kelu dan kaku tak bisa untuk berkata, pandangan kecewa ayahnya cukup membuatnya mati rasa. Luna bahkan tak peduli kalau semua orang tak mempercayainya, asalkan ayahnya tidak. Luna tak sanggup kalau ayahnya juga tak percaya padanya. "Ma, Pa, tolong percaya pada Laksa." Terdengar lagi suara Laksa yang berusaha menjelaskan pada orang tuanya. Laksa berdiri dan menatap mamanya dengan memohon, tapi wanita itu hanya menangis sambil memegangi dadanya lalu terkulai lemah dalam pelukan suaminya. Laksa langsung panik dan berniat menggendong mamanya tapi tatapan tajam sang papa menghentikannya. "Selesaikan masalahmu." hanya itu kata yang dia keluarkan lalu tanpa mempedulikan apapun menggendong sang istri. Semua orang masih membeku ditempatnya. Laksa memandang Luna dan juga ayah wanita itu secara bergantian dengan pandangan marah. "Saya tidak tahu kalau putri, om, akan melakukan hal serendah ini untuk menjebak saya dalam perjodohan gila kalian," seru Laksa marah. Perjodohan mereka memang permintaan kakeknya dan ayah gadis itu. "Putriku tidak mungkin berbuat seperti itu," jawabnya tak terima. Luna putrinya yang manis dan manja tak mungkin berbuat senekad itu, dia tahu dari reaksi Luna kalau dia mencintai laki-laki di depannya. Dan mereka sudah dijodohkan jadi tak mungkin Luna berbuat begitu. "Tanyakan saja pada anak om, kenapa dia memberiku obat itu, perlu om tahu saya sudah bicara padanya baik-baik kalau saya punya wanita lain yang ingin saya nikahi, tapi ternyata gadis yang diceritakan kakek tak sebaik itu, atau mungkin om juga terlibat." "Cukup!" Luna berteriak keras tak terima ayahnya disalahkan. "Aku tidak memasukkan apapun pada minuman itu, dari tadi kamu menyalahkan aku, seolah hanya kamu orang suci yang tidak berdosa." Luna lalu berdiri menyambar gaunnya yang sudah sangat menyedihkan dan kaos yang tadi dilempar Laksa ke mukanya, dia harus berganti baju dan pergi dari sini. Luna tak terima ayahnya dihina, meski oleh laki-laki yang dia kagumi. Dia tak peduli lagi dengan semua kemarahan membuatnya begitu muak berada satu tempat dengan Laksa. Dadanya berdebar kencang, bukan karena berdekatan dengan Laksa tapi karena kemarahan yang menenggelamkannya.Luna keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos Laksa dan gaunya yang sudah sobek dibeberapa bagian, dia tak punya pilihan lain selain menerima sedikit kebaikan laki-laki itu. Ayahnya masih setia menunggunya dengan wajah menunduk. Duduk di atas ranjang. Sejanak Luna ragu untuk menghampiri ayahnya. Tapi sang ayah segera menoleh padanya membuat Luna tak punya pilihan lain selain mendekat. “Kita pulang.” Luna hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, percuma juga mengatakan kebenarannya sekarang, ayahnya sudah terlanjur kecewa. Pesta sudah berakhir beberapa jam yang lalu meninggalkan kekacauan di sana-sini termasuk pada Luna. Beberapa orang sedang sibuk membereskan semuanya, tapi kesibukan itu berhenti oleh teriakan seorang laki-laki yang membahana. Luna hanya bisa mengeratkan genggaman tangannya satu sama lain, dia terlalu malu untuk menggandeng ayahnya setelah apa yang terjadi. “Siapkan mobil cepat!” teriak suara itu entah ditujukan pada siapa. Tapi tak lama keluar Ayah Laksa y
Pagi harinya Luna bangun dengan badan yang seperti remuk, setelah pembicaraan penuh emosi dengan sang ayah, Luna memilih mengistirahatkan dirinya, meski matanya berkhianat tak mau terpejam, sampai menjelang subuh. Praktis dia hanya bisa tidur sekitar dua jam saja. Kepalanya terasa berat tapi di pagi hari banyak hal yang harus dia lakukan, hidup berdua saja dengan sang ayah tanpa ibu membuat Luna terbiasa mengambil semua pekerjaan rumah. Luna menatap ke arah cermin, wajahnya begitu pucat dan matanya sembab efek dari menangis tadi malam. Sekarang dia bukan lagi Luna yang sama seperti kemarin, seorang gadis perawan dengan aktifitas monoton antara rumah, sanggar dan kantor saja. Luna memang pernah mengeluhkan kemonotonan hidupnya, tapi sepertinya sekarang Tuhan terlalu cepat mengabulkan semua keinginannya. Hidupnya yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat, bahkan mungkin lebih seru dari sinetron yang sering ditonton ibu-ibu tetangganya. Kadang Tuhan memang punya cara sendiri
“Anda tak perlu khawatir saya tidak akan menuntut apapun dari anda, silahkan nikmati hidup anda.” Luna tak peduli dengan kata-kata kasar yang dia ucapkan, bahkan beberapa orang juga ikut menatapnya antara takjub dan juga mencemooh. Mungkin seumur hidup Laksa belum ada orang yang berani terang-terangan mendebatnya di depan umum seperti Luna. Luna memang sosok yang ceria dan manja, tapi dia juga didik dengan keras oleh ayahnya untuk tidak mudah patah oleh cobaan hidup yang menerjangnya. Dan mulai hari ini pasti akan ada banyak cemoohan dan hinaan untuknya, Luna mempercepat langkahnya, matanya sudah mulai berembun, dia tidak akan sudi terlihat lemah di hadapan orang-orang itu. Luna menarik napas lega saat dia sudah menginjakkan kakinya di halaman hotel, masih ramai orang lalu lalang memang tapi setidaknya di sini tidak ada yang memandangnya dengan hina seperti di dalam. Untuk terakhir kalinya Luna menatap bangunan megah hotel milik keluarga Sanjaya ini dengan tatapan hampa, tempat i
Luna masih memandang ponselnya yang menggelap, ayahnya adalah orang yang sangat mendukungnya selama ini, Bahkan saat Luna ingin melarikan diri ke rumah neneknya, ayahnya tidak mengatakan keberatan sedikitpun. Tapi kenapa sekarang sang ayah tiba-tiba memintanya pulang. Luna mengacak rambutnya sebal, apa keluarga itu mengancam ayahnya? Bukankah mereka tidak dirugikan sama sekali, seharusnya di sini Lunalah yang berhak marah pada mereka. Luna diperkosa, tapi dialah yang dituduh menjadi dalang dari semua itu belum puas Laksa melakukan hal itu dia juga menghina Luna dan ayahnya, dan laki-laki itu juga tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, kurang apalagi, tidakkah mereka terlalu serakah dan belum puas juga menghancurkannya.Sebenarnya apa salah Luna di sini? Dia hanya mencintai seseorang dan kebetulan orang tua mereka menjodohkan, Luna dan ayahnya juga tidak memaksa jika Laksa tak mau, bagaimanapun Luna masih punya harga diri. Luna selalu merasa malu dengan dirinya sendiri kenapa
Luna bangun karena dering ponselnya yang sangat mengganggu, sejenak dia mengumpulkan nyawanya yang masih melayang di awang-awang, lalu mengucek mata yang masih seperti ketumpahan lem super. Dilihatnya jam di nakas masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, rajin sekali peneleponnya ini, barulah dia meraih ponselnya yang dari tadi terus menjerit. “Ayah,” gumamnya pelan. “Kata nenek kamu jadi pulang hari ini? apa perlu ayah jemput?” ayahnya ini bagaimana kemarin suruh pulang buru-buru sekarang malah harus suruh tunggu dia menjemput. “Luna pulang sendiri saja, Yah.” “Kamu baik-baik saja kan, Nak, ayah minta maaf kemarin ponsel ayah habis baterai.” Huftt ternyata tebakan neneknya benar hati Luna sedikit lega, bayangannya ala sinetron trailer kemarin tak terjadi. “Seharusnya Luna yang bertanya begitu,” jawab Luna sedikit merajuk. Luna bisa membayangkan sang ayah yang akan tersenyum lembut mendengar protesnya. “Ayah minta maaf ya, Nak, sudah membuat p
Luna meninggalkan Vano yang masih mengoceh di belakang, teman seperjalannya itu terasa sangat menyebalkan, meski Luna akuiVano begitu baik dan sabar menerima sikap ketus dan juteknya yang terlanjur malu dan kesal karena ulah ajaib kakak beradik itu. Mereka sudah sampai di stasiun Malang kota baru, sialnya lagi Luna lupa mencharge ponselnya di kereta. Tadi di rumah nenek dia sibuk mengupas bawang dan melupakan sejenak eksistensi ponselnya, sekarang dikereta dia terlalu pusing degan omonganVano jadi lupa lagi. Dengan memanggung tas ransel yang tidak terlalu berat mata Luna jelalatan mencari dimana kira-kira dia bisa mengisi daya ponselnya. “Kamu kehilangan dompet?” tanyaVano yang tiba-tiba sudah berdiri dengan manis di sampingnya. “Kak Vano tidak langsung pergi?” “Aku menunggu jemputan temanku, kamu sudah di jemput atau bareng aku saja, lumayankan hemat ongkos.” Ayahnya pasti akan marah kalau tahu lebih memilih naik ojek dari pada menghubunginya. “Aku me
Rumah sakit. Kata itu memberikan trauma tersendiri untuk Luna, dia tak pernah berkawan baik dengan bangunan megah tempat orang sakit itu. Dia sangat ingat hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kekhawatiran saat sang ibu masih di rawat di sana dan akhirnya harus menyerah dan meninggalkan Luna untuk selama-lamanya. Apa ayahnya sakit?Sebuah kesadaran itu membuat tubuh Luna bergetar hebat, dia tak mau kehilangan lagi, hanya ayah yang dia punya saat ini. “Apa ayah sakit? Apa parah?” katanya dengan terbata. “Kamu itu ngomong apa, Lun, bukan ayah yang sakit, tapi kita kesana untuk menjenguk seseorang.”“Syukurlah kalau begitu Luna sudah takut sekali. Jadi kita akan menjenguk siapa?” tanya Luna dengan penasaran karena sang ayah tidak menjelaskan apapun. “Teman ayah.” Perjalanan ke rumah sakit mereka lalui dalam diam entah kenapa menurut Luna sang ayah lebih banyak diam, tak ada lagi pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari Luna, atau sekedar godaa
“Nikahi Luna, Nak.” Baik Luna maupun Laksa terbelalak mendengar permintaan itu, sejak awal memang mereka sudah menduga tapi tak menyangka permintaan akan sefrontal itu. “Ma, jangan pikirkan itu dulu, yang penting mama sembuh,” Laksa berkata lembut berusaha menutupi amarah yang siap meledak di dadanya. Bukan pada sang mama tentu saja, tapi pada gadis sok polos di sampingnya yang telah berhasil mengacaukan semua impiannya untuk bersanding dengan wanita pujaannya. “Mama tahu penyakit ini sudah tak dapat lagi disembuhkan, dan sebelum mama pergi mama ingin melihatmu menikah, dan Luna adalah pilihan terbaik untukmu.” Laksa memejamkan matanya. “Bicaralah, Nak.” “Sebentar, Ma, Laksa ingin merangkai kata dulu, supaya tidak ada yang terluka dengan kalimat Laksa.” Laksa tahu itu kata yang sangat kasar untuk mamanya, apalagi wanita yang sangat disayanginya itu sedang terbaring sakit. “Mama ingatkan kalau dia sudah menjebak Laksa, supaya tidur dengannya.”
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak