Share

Bab 3. Tidak Bisa Mengontrol Diri?!

Pembalasan dendam baru saja dimulai, Evan berhasil membunuh Richard yakni adik laki-laki keyangan Julian yang selama ini telah dilatih untuk menjadi seorang mafia yang tangguh. Sang pimpinan mafia Cosa Nostra itu membunuh Richard dengan cara yang sama kejamnya saat Julian membunuh sang istri tercinta, tak hanya itu saja, Evan juga menghancurkan berhektar-hekar kebun anggur milik Julian yang sudah siap dipanen dengan cara yang epic.

Evan tersenyum saat melihat bumbungan asap hitam dan tebal ke langit, cahaya terang yang  berasal dari kobaran api ladang anggur Julian tampak begitu indah menerangi gelapnya malam di kota Milan, Italia. Mobil yang ditumpangi Evan kini melaju menuju ke hanggar, ia sedang bersiap untuk kembali ke kota asalnya di Roma, Italia.

Jet tipe Falcon 7X milik Evan kini bersiap lepas landas meninggalkan hanggar setelah sang pimpinan mafia Cosa Nostra masuk di dalam jet yang dilengkapi dengan fasilitas mewah tersebut, lelaki gagah itu duduk di seberang Peter yang tengah berbaring. 

"Hei, apa kau baik-baik saja?" Tanya Evan.

"Menerbangkan jet pribadi dari Amerika ke Italia, lalu menerbangkan helikopter kemudian diterbangkan 2 kali dengan kursi pelontar dan di pagi buta harus berenang di lautan yang bersuhu rendah. Tubuhku rasanya seperti sedang mengalami guncangan gempa berkekuatan 10 skala richter yang membuat tubuhku rasanya hampir retak," jawab Peter tanpa membuka matanya.

Evan tersenyum simpul mendengarkan ocehan Peter. "Tapi kau sangat hebat hari ini dan kau selalu bisa aku andalkan," pujinya.

"Apakah Richard mati dengan cara mengenaskan?" Tanya Peter.

"Ya ... kematian Richard sangat mengenaskan, sama seperti kematian Freya." Netra Evan berkaca-kaca lalu ia mengalihkan tatapannya ke jendela.

"Baguslah, aku sangat senang mendengarnya. Aku akan bersamamu sampai akhir hingga dendam kematian Freya benar-benar terbayar lunas," ucap Peter.

"Hmm."

Evan dan Peter sama-sama terdiam, suasana hening sampai jet mewah itu mendarat dan kedua lelaki gagah masuk ke dalam Limousin hitam yang membawa mereka menuju ke mansion mewah. Kaki Evan gemetaran saat hendak melangkah masuk ke dalam, dulu setiap kali ia pulang ke rumah, Freya selalu menyambutnya dengan senyuman serta pelukan hangat tapi sekarang tidak ada lagi yang menyambutnya sehingga ia kembali merasakan rasa sakit mendalam setelah ditinggalkan oleh sang istri.

"Sedang apa? Ayo masuk," ajak Peter, menepuk pelan pundak Evan.

Evan masuk ke dalam rumah, kaki panjang nan kokohnya berjalan mantap menuju ke kamarnya. Evan membuka pintu kasar hingga menimbulkan suara berdebam cukup kencang yang membuat sang tawanan terkejut, sang pimpinan Cosa Nostra mengambil kursi yang ia letakkan di samping ranjang dan ia mengambil sumpal lalu melepaskan tali ikatan tangan serta kaki Iris sebelum ia duduk kursi sambil menatap tajam adik perempuan Julian.

"Kau ...."

"Aku telah membunuh Richard," aku Evan.

"Tidak mungkin, kau pasti bohong. Sebelum kau berhasil membunuh kak Richard pastinya kepalamu sudah ditembak terlebih dahulu oleh kak Julian," sangkal Iris.

"Haruskah kuputar rekaman video saat aku menembakkan rudal ke tubuh Richard hingga hancur berkeping-keping? Apa kau ingin melihat kepala kakakmu menggelinding ke tanah?" Ujar Evan.

"Kau memang bajingan!! Kau tidak punya hati," teriak Iris.

Iris melompat dari ranjang lalu berlari menyerang Evan tapi tangan langsingnya berakhir dicengkeram tangan kekar sang pimpinan mafia Cosa Nostra, tubuh langsingnya dibanting ke atas ranjang lalu ditindih oleh tubuh kekar Evan.

"Aku memang pria berengsek dan keparat tapi aku tidak pernah membunuh wanita hamil atau menyakiti anak-anak demi mencapai tujuanku, seharusnya kau tujukan kata-katamu itu kepada Julian," ujar Evan.

"Lalu apa yang kau inginkan dariku sekarang?" Mata Iris menatap tajam mata Evan.

Tangan kekar Evan meremas dada Iris, tanpa melepaskan tatapan mata tajamnya pada manik indah sang gadis. "Sentuhan ini, kau tahu apa artinya, bukan? Aku bukan lelaki lembut dan penyabar, jika kau berani kabur maka aku akan mengambil semua yang kau miliki dengan cara yang sangat kasar."

"Bunuh saja aku seperti kau membunuh kak Richard," balas Iris.

"Aku tidak akan membunuhmu, tapi aku akan menyiksamu pelan-pelan dengan menjadikanmu budak ranjangku. Setiap malam kau akan menangis merasakan perih di sekujur tubuhmu dan itu adalah hukuman dariku sebagai ganti karena aku tidak membunuhmu," ujar Evan dengan suara beratnya.

"Apa itu ancaman? Bagiku ancamanmu hanya sekadar lelucon karena wanita dari keluarga Marchetti tidak pernah takut dengan apapun," timpal Iris, manik berwarna hazel indahnya kini sedang menatap tajam manik hijau Evan.

"Jangan pernah menantangku!! Aku bukan pria lembut yang bisa luluh dengan tangisan atau rengekanmu, sekali saja kau membuatku marah maka akan kupastikan suara teriakanmu terdengar menggema di seluruh Luciano castile saat aku menghujamkan juniorku ke inti tubuhmu," ancam Evan.

Jarak antara wajah Evan dan Alice hanya sekitar beberapa saja, kedua hidung mancung saling bersentuhan sehingga keduanya bisa merasakan hembusan nafas dari lawan bicara. Dada Iris ditindih oleh dada kokoh Evan sehingga gadis itu agak sesak serta kesulitan untuk bernapas, sekarang ini setiap senti tubuh Iris sudah berada di dalam rengkuhan tubuh kekar sang pimpinan mafia Cosa Nostra yang terkenal sangat kejam dalam menghabisi musuhnya.

Evan menatap bibir sensual yang sedikit terbuka, bibir merah merekah bagai mawar mekar begitu menggoda hasratnya. Evan mendekatkan bibirnya ke bibir Iris tapi gadis itu reflek memalingkan wajahnya ke samping sehingga bibir Evan gagal mendapatkan bibir Iris.

Evan tersenyum sinis. "Sekarang aku bisa melihat ketakutan di mata gadis Marchetti yang terkenal sangat pemberani, haruskah aku teruskan untuk membuatmu tunduk kepadaku?"

Tangan Evan mengelus paha mulus Iris, bergerak perlahan ke atas dan semakin masuk ke dalam lalu berhenti saat akan menyentuh inti tubuh Iris.

"Dasar pria berengsek!! Jangan sentuh aku!!" Iris kembali melakukan perlawanan hingga ....

PLAK!! Iris reflek menampar pipi Evan, seluruh tubuhnya kini gemetaran menanti reaksi apa yang akan ditunjukkan oleh sang penguasa sebagian negara Italia tersebut. Manik hazelnya tidak berani menatap wajah Evan yang kini berubah merah padam dan rahangnya telah mengeras.

"Kau!! Berani sekali kau menamparku, hah?!" Bentak Evan.

"Lalu kau mau apa? Mencekikku? Atau kau mau menembakku, membunuhku?  Lakukan saja karena aku tidak takut," tantang Iris.

"Fuck!! Kau menantangku!! Akan kutunjukkan kepadamu kemarahan seorang Evan Luciano," ujar Evan.

Napas Evan tak beraturan, dadanya kembang kempis menahan amarah. Lelaki jangkung bertubuh kekar itu membopong tubuh Iris ke suatu ruangan tersembunyi yang berada di dalam kamarnya, lampu kamar berwarna merah dan di ruangan itu dipenuhi oleh alat-alat penyiksaan. 

Tubuh Iris dilempar begitu saja ke atas ranjang, kedua tangan serta kakinya diikat merentang di keempat sisi yang berbeda. Sudut ekor mata Evan menangkap ekspresi wajah Iris yang tampak ketakutan, sama sekali tidak sesuai dengan ucapan yang terlontar di mulutnya tadi ketika menantang Evan.

Evan melepaskan kaosnya, mengekspos dada bidang nan kokoh serta enam kotak di perut. Kedua tangan kekar berpegangan pada kedua tiang ranjang, dan manik hijau menatap keindahan tubuh sang gadis yang tersaji di hadapannya.

"Hei, little girl. Aku lihat kau sedang ketakutan sekarang, gadis dari keluarga Marchetti memang tidak takut pada kematian tapi aku sekarang tahu apa ketakutan terbesarmu," ujar Evan.

Mata Iris berkaca-kaca, ia terus saja memberontak dan berusaha melepaskan ikatan tangannya tapi tidak berhasil.

Evan menaiki ranjang, mendekati Iris dan menindih tubuh molek sang gadis.

"A ... apa yang kamu lakukan? Tolong jangan lakukan ini," ucap Iris dengan suara bergetar menahan tangis.

"Sekarang ini aku bebas melakukan apapun yang aku mau dan inginkan, termasuk menyentuh tubuhmu lalu menikmati setiap inci lekuk tubuh indahmu," ujar Evan seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Iris.

Evan mencium pipi serta leher Iris, aroma harum tubuh sang gadis sama dengan aroma tubuh mendiang istrinya sehingga sang pimpinan Cosa Nostra itu menjadi hilang kendali.

"Jangan lakukan ini, aku mohon kepadamu. Tolong hentikan, Evan!!" Iris berteriak, menangis ketakutan ketika Evan menciumi seluruh tubuhnya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status