Share

Bab 4. Wanita Seksi Tawanan Sang Pimpinan Mafia.

"Jangan lakukan ini, aku mohon kepadamu. Tolong hentikan," teriak Iris, menangis ketakutan ketika Evan menciumi seluruh tubuhnya.

Evan tersenyum sinis, kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Iris yang masih menangis. Tangannya kembali mencengkeram leher jenjang Iris, menindas sang gadis dengan kekerasan serta sentuhan untuk membuat adik musuhnya itu bertekuk lutut.

"Hey little girl. Aku hanya menciumi seluruh tubuhmu dan kau sudah menangis tersedu-sedu, sekarang aku tahu kalau keluarga Marchetti hanyalah sekumpulan pengecut yang bermulut besar. Perhatikan ucapanmu atau aku akan membungkammu dengan caraku," ujar Evan sembari mengelus paha mulus Iris.

"Aku mengerti," ucap Iris.

Iris mengangguk cepat dan tidak mampu berkata-kata lagi, Evan kemudian melepaskan ikatan kedua tangan serta kedua kaki sang gadis lalu membawanya ke satu kamar yang akan menjadi kamar untuk menyekap wanita yang kini menjadi tawanan cantiknya.

Evan membopong tubuh Iris yang sudah lemas kemudian membaringkannya di ranjang, ia mengambil beberapa baju wanita yang sempat dibeli oleh Freya tapi belum pernah dipakai sama sekali. Lelaki gagah itu melemparkan bajunya ke atas ranjang lalu ia menatap lekuk tubuh indah Iris dengan seksama.

"Pakai baju itu, aku rasa ukuran tubuhmu dan juga Freya sama jadi baju itu pasti cocok dengan tubuhmu," ujar Evan. "Aku peringatkan kepadamu untuk tidak coba-coba kabur dari sini atau aku akan membuatmu lemas karena melayaniku semalaman di atas ranjang. Apa kau mengerti, huh?!" ancamnya kemudian sembari memukul lemari dengan bogeman mentahnya.

"I ... iya, aku mengerti." 

Evan berjalan keluar dari kamar Iris lalu mengunci pintunya rapat-rapat supaya sang tawanan tidak bisa kabur, ia berjalan menuju ke ruang kerjanya untuk menemui Peter yang sedang mengerjakan pekerjaannya. 

"Sudah selesai bersenang-senang dengan adik Julian di atas ranjang?" Tanya Peter tanpa melepaskan tatapan matanya dari layar laptop.

Evan melemparkan tubuh kekarnya di atas sofa seraya menghela napas panjang. "Apa kau sudah gila? Freya baru saja meninggal jadi mana mungkin aku bisa begitu mudahnya bersenang-senang dengan gadis lain apalagi gadis itu adik si keparat yang sudah membunuh istriku."

"Jadi maksudmu kau hanya ingin menjadikan Iris sebagai tawanan untuk menekan Julian ataukah kau akan menjadikannya wanita penghibur untuk memuaskan hasratmu di atas ranjang?" Peter menatap sang pimpinan dengan tatapan penuh selidik.

"Keduanya," jawab Evan singkat.

"Kau memang benar-benar gila, Evan. Dan aku sangat menyukai kegilaanmu," ucap Peter.

"Peter, kirimkan karangan bunga untuk Julian. Aku ingin membuat pria keparat itu merasa sangat-sangat terhina dengan kiriman bunga dariku," titah Evan kepada Peter.

"Karangan bunga untuk membuat Julian merasa terhina, huh? Oke, aku akan memesannya sekarang, apakah kau mau menambahkan surat cinta di karangan bunga itu? Seperti ucapan ... selamat atas meninggalnya Richard atau sebagainya?" Tanya Peter.

"Terserah kau saja, tulis kata-kata hinaan apapun yang bisa membuat Julian semakin marah. Kau 'kan sangat ahli dalam hal membuat orang marah," jawab Evan.

"Noted. Apakah aku perlu menuliskan namamu atau namaku sebagai pengirimnya? Aku bingung harus memakai namamu ataukah namaku karena aku akan memakai uangmu untuk membeli karangan bunga tapi surat cintanya adalah hasil dari karangan bebasku," tanya Peter lagi untuk memastikan.

Evan menatap Peter dengan tatapan tajam, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan karena pertanyaan Peter yang konyol. "Apa kau mau kuberi misi meledakkan kepala Julian dan kembali terlempar ke laut dengan kursi pelontar? Atau kau mau aku beri tugas menghitung jumlah plankton di Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik? Tinggal pilih saja tugas mana yang kau mau."

Peter menggeleng cepat lalu ia berkata. "Tidak!! Aku tidak mau mendapat misi konyol seperti itu, aku akan pergi memesan bunga sekarang juga. Sekarang," ucapnya sambil tersenyum getir.

Peter menutup laptopnya lalu ia bergegas pergi untuk memesan karangan bunga sesuai permintaan Evan sebelum sang pemimpin mafia itu kembali memberinya misi yang di luar nalar. 

****

Kediaman keluarga Marchetti.

Julian terus menatap bingkai foto sang adik tercinta, lelaki bertubuh jangkung itu sedang berduka atas kematian sang adik yang telah tiada setelah diledakkan oleh musuh bebuyutannya. Masih memakai setelan kemeja warna hitam, Julian masih belum bisa merasa tenang karena sampai saat ini ia belum mengetahui keadaan adik bungsunya yang sedang disekap oleh Evan.

"Leon, apa kau sudah mendapatkan kabar Iris? Apakah adikku baik-baik saja?" Tanya Julian kepada sang tangan kanan.

"Masih belum, Tuan. Pertahanan klan Cosa Nostra terlalu kuat untuk ditembus oleh orang-orang kita sehingga kita tidak mempunyai satu pun mata-mata yang bisa kita gunakan untuk mengorek informasi,," jawab Leon.

"FUCK!! Suap saja salah satu anak buah Evan dengan uang yang sangat banyak agar mau berkhianat dan memihak pada kita, kenapa kau sangat bodoh Leon?! Lakukan segala cara agar orang kita bisa menyusup masuk ke klan keparat itu!!" Julian mengamuk, wajahnya merah padam dan tampak bengis.

"Saya akan terus mencobanya," ucap Leon.

"Aku sudah kehilangan Richard dan aku tidak mau kehilangan Iris!! Lakukan segala cara agar kita bisa mengetahui dimana Evan menyembunyikan Iris," bentak Julian.

Napas Julian terengah-engah dan dadanya naik turun, emosinya terus meledak-ledak tanpa bisa ia kontrol lagi, pikirannya sekarang ini sedang bercabang kemana-mana dan ia tidak ingin kehilangan adik perempuan yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati. Julian tidak mau Iris bernasib sama seperti Richard yang mati dengan cara yang teramat mengenaskan.

Seorang anak buah Julian berjalan mendekati Leon lalu membisikkan sesuatu yang membuat ekspresi wajah tangan kanan Julian itu seketika berubah masam dan  perubahan ekspresi wajah Leon bisa dengan mudah terbaca oleh sang pimpinan.

"Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?" Tanya Julian.

"Di luar ada kiriman karangan bunga dari Evan tapi ... sepertinya mereka mengirim karangan bunga itu untuk membuat anda marah," jawab Leon,

"Dimana karangan bunga itu sekarang?" Tanya Julian dengan ekspresi wajah datar.

"Di luar," jawab Leon.

Julian meninggalkan mini bar dan menuju ke halaman depan rumahnya, karangan bunga yang dikirim Evan bukanlah bunga mawar atau sejenisnya melainkan bunga-bunga liar yang tumbuh di jalanan. Tak hanya menggunakan bunga liar saja tapi mereka juga menggunakan rumput sebagai hiasan pinggirannya.

Manik biru Jullian menatap tajam ke tulisan yang terpampang di karangan bunga yang merupakan hasil karangan bebas Peter, tulisan itu memakai bahasa Italia yang ternyata sukses memancing amarah Julian.

'Selamat menikmati masa berkabung atas kematian adik keparatmu itu dan aku sangat bahagia saat melihat ekspresi wajah ketakutan adikmu dan suara jerit ketakutan Richard di detik-detik aku meledakkan tubuhnya terdengar sangat merdu di telingaku. Mangia merde e morte!! A fanabla, Richard!!'

Begitulah tulisan yang terpampang di karangan bunga yang mengandung kata-kata umpatan kasar dan hinaan, dan Peter harus diacungi sepuluh jempol karena keahliannya dalam memilih kata-kata hinaan untuk Julian.

"Fuck you, Evan!! Aku pasti akan membunuhmu, aku akan mencincang tubuhmu lalu membuangnya ke laut untuk santapan ikan-ikan di laut," teriak Julian penuh emosi.

Julian meninju papan karangan bunga itu hingga jebol kemudian ia menginjak-injak papan karangan bunga itu hancur, ia seperti orang kesetanan yang tidak bisa dikendalikan lagi. Wajah Julian berubah merah padam, dan ia terus saja berteriak emosi sambil terus menginjak-injak papan karangan bunga kiriman Evan.

****

Kediaman Luciano.

Iris duduk di sudut ranjang, ia tertidur setelah lelah menangis seharian bahkan tubuhnya tampak lemas karena menolak untuk makan. Bahkan saking lelapnya Iris tertidur ia sampai tidak menyadari kedatangan Evan di kamarnya, lelaki gagah itu duduk di sofa sambil menatap wajah Iris yang sedang tertidur.

Entah apa yang sedang Evan pikirkan ketika menatap wajah cantik Iris, ekspresi wajahnya pun terlihat datar sehingga sulit untuk dibaca. Tatapan mata Evan tiba-tiba teralihkan ke arah lain ketika ia mendengar suara lenguhan Iris, ekor mata sang pimpinan mafia itu sesekali melirik sang gadis yang kini sudah terbangun.

"Kamu?! Kenapa kau bisa masuk padahal aku sudah mengunci pintu kamar rapat-rapat? Cepat pergi dari sini atau--" Iris terlihat panik, ia dengan cepat menarik sellimut yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya.

"Atau apa, huh?! Sekarang ini kau sudah berada di dalam genggamanku dan kau tidak bisa berbuat apapun," tukas Evan.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Iris.

"Tidak ada, aku hanya datang untuk melihat kondisi tawananku. Kenapa kau tidak mau makan, apa kau takut kalau aku menaburkan racun ke dalam makananmu?!" Jawab Evan dengan nada suara datar.

"Aku justru akan memakannya jika kau benar-benar membubuhkan racun," ucap Iris dengan lantang.

Iris sekilas menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, ia akhirnya mendapatkan celah untuk bisa kabur dan kesempatan ini tidak akan pernah ia sia-siakan begitu saja. Ia hanya perlu berlari kencang keluar dari mansion lalu berteriak sekeras mungkin berharap akan ada orang yang bisa mendengar teriakannya lalu datang menolong, itu lah yang sekarang Iris pikirkan di dalam otaknya.

Evan tersenyum sinis ke arah Iris. "Keangkuhan keluarga Marchetti memang berada di level tertinggi dan tidak ada yang bisa mengalahkannya."

Iris berdiri perlahan-lahan lalu ia berjalan seakan-akan hendak mendekati Evan. "Dan aku tidak perduli, Figlio di troia!!"

Iris mengumpat kasar kepada Evan lalu ia berlari kencang keluar dari kamar, meski sempat kebingungan mencari jalan keluar akhirnya gadis cantik bertubuh seksi itu menemukan sebuah pintu besar yang ia yakini sebagai pintu keluar. 

Akan tetapi ada yang salah, Iris merasa heran dengan penjaga di mansion Evan. Anak buah Evan sangat banyak akan tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha menangkap atau menghalanginya, tapi rasa heran Iris akhirnya terjawab sudah ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat oleh satu tangan kekar yang melingkar di perut rampingnya dan hanya dalam hitungan detik tubuhnya kini telah berpindah di atas bahu kokoh Evan.

"Turunkan aku!! Tolong!! Toloong aku!!"  Teriak Iris sambil terus memukuli  punggung Evan.

Evan membopong Iris dan membawa gadis cantik itu kembali ke kamar, ia melemparkan tubuh sang gadis ke atas ranjang lalu kembali menindih tubuh Iris dengan tubuhnya supaya tidak bisa bergerak bebas.

"Kau ....!! Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku tidak bisa bersikap lembut? Dan kau malah mengumpatiku dengan kata-kata kasar lalu mencoba untuk kabur, apa kau benar-benar ingin menguji kesabaranku, huh?!" Ujar Evan.

"Tolong lepaskan aku, aku ingin pulang!! Biarkan aku pergi dari sini," teriak Iris.

"Jangan uji kesabaranku, Iris!!"

"Kau memang lelaki jahat dan kejam, pergi saja ke nera--"

Evan melumat bibir Iris, membungkam mulut sang gadis dengan ciuman penuh gairah sehingga Iris tidak bisa lagi berteriak ataupun memberontak karena sang pimpinan mafia Cosa Nostra itu tidak memberikan sedikitpun ruang gerak untuk wanita yang sekarang ini menjadi mainan barunya.

"Lepaskan aku, jangan sentuh aku, Evan!! Tolong!! Tolong!!" Teriak Iris.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status