"Jangan lakukan ini, aku mohon kepadamu. Tolong hentikan," teriak Iris, menangis ketakutan ketika Evan menciumi seluruh tubuhnya.
Evan tersenyum sinis, kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Iris yang masih menangis. Tangannya kembali mencengkeram leher jenjang Iris, menindas sang gadis dengan kekerasan serta sentuhan untuk membuat adik musuhnya itu bertekuk lutut.
"Hey little girl. Aku hanya menciumi seluruh tubuhmu dan kau sudah menangis tersedu-sedu, sekarang aku tahu kalau keluarga Marchetti hanyalah sekumpulan pengecut yang bermulut besar. Perhatikan ucapanmu atau aku akan membungkammu dengan caraku," ujar Evan sembari mengelus paha mulus Iris.
"Aku mengerti," ucap Iris.
Iris mengangguk cepat dan tidak mampu berkata-kata lagi, Evan kemudian melepaskan ikatan kedua tangan serta kedua kaki sang gadis lalu membawanya ke satu kamar yang akan menjadi kamar untuk menyekap wanita yang kini menjadi tawanan cantiknya.
Evan membopong tubuh Iris yang sudah lemas kemudian membaringkannya di ranjang, ia mengambil beberapa baju wanita yang sempat dibeli oleh Freya tapi belum pernah dipakai sama sekali. Lelaki gagah itu melemparkan bajunya ke atas ranjang lalu ia menatap lekuk tubuh indah Iris dengan seksama.
"Pakai baju itu, aku rasa ukuran tubuhmu dan juga Freya sama jadi baju itu pasti cocok dengan tubuhmu," ujar Evan. "Aku peringatkan kepadamu untuk tidak coba-coba kabur dari sini atau aku akan membuatmu lemas karena melayaniku semalaman di atas ranjang. Apa kau mengerti, huh?!" ancamnya kemudian sembari memukul lemari dengan bogeman mentahnya.
"I ... iya, aku mengerti."
Evan berjalan keluar dari kamar Iris lalu mengunci pintunya rapat-rapat supaya sang tawanan tidak bisa kabur, ia berjalan menuju ke ruang kerjanya untuk menemui Peter yang sedang mengerjakan pekerjaannya.
"Sudah selesai bersenang-senang dengan adik Julian di atas ranjang?" Tanya Peter tanpa melepaskan tatapan matanya dari layar laptop.
Evan melemparkan tubuh kekarnya di atas sofa seraya menghela napas panjang. "Apa kau sudah gila? Freya baru saja meninggal jadi mana mungkin aku bisa begitu mudahnya bersenang-senang dengan gadis lain apalagi gadis itu adik si keparat yang sudah membunuh istriku."
"Jadi maksudmu kau hanya ingin menjadikan Iris sebagai tawanan untuk menekan Julian ataukah kau akan menjadikannya wanita penghibur untuk memuaskan hasratmu di atas ranjang?" Peter menatap sang pimpinan dengan tatapan penuh selidik.
"Keduanya," jawab Evan singkat.
"Kau memang benar-benar gila, Evan. Dan aku sangat menyukai kegilaanmu," ucap Peter.
"Peter, kirimkan karangan bunga untuk Julian. Aku ingin membuat pria keparat itu merasa sangat-sangat terhina dengan kiriman bunga dariku," titah Evan kepada Peter.
"Karangan bunga untuk membuat Julian merasa terhina, huh? Oke, aku akan memesannya sekarang, apakah kau mau menambahkan surat cinta di karangan bunga itu? Seperti ucapan ... selamat atas meninggalnya Richard atau sebagainya?" Tanya Peter.
"Terserah kau saja, tulis kata-kata hinaan apapun yang bisa membuat Julian semakin marah. Kau 'kan sangat ahli dalam hal membuat orang marah," jawab Evan.
"Noted. Apakah aku perlu menuliskan namamu atau namaku sebagai pengirimnya? Aku bingung harus memakai namamu ataukah namaku karena aku akan memakai uangmu untuk membeli karangan bunga tapi surat cintanya adalah hasil dari karangan bebasku," tanya Peter lagi untuk memastikan.
Evan menatap Peter dengan tatapan tajam, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan karena pertanyaan Peter yang konyol. "Apa kau mau kuberi misi meledakkan kepala Julian dan kembali terlempar ke laut dengan kursi pelontar? Atau kau mau aku beri tugas menghitung jumlah plankton di Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik? Tinggal pilih saja tugas mana yang kau mau."
Peter menggeleng cepat lalu ia berkata. "Tidak!! Aku tidak mau mendapat misi konyol seperti itu, aku akan pergi memesan bunga sekarang juga. Sekarang," ucapnya sambil tersenyum getir.
Peter menutup laptopnya lalu ia bergegas pergi untuk memesan karangan bunga sesuai permintaan Evan sebelum sang pemimpin mafia itu kembali memberinya misi yang di luar nalar.
****
Kediaman keluarga Marchetti.
Julian terus menatap bingkai foto sang adik tercinta, lelaki bertubuh jangkung itu sedang berduka atas kematian sang adik yang telah tiada setelah diledakkan oleh musuh bebuyutannya. Masih memakai setelan kemeja warna hitam, Julian masih belum bisa merasa tenang karena sampai saat ini ia belum mengetahui keadaan adik bungsunya yang sedang disekap oleh Evan.
"Leon, apa kau sudah mendapatkan kabar Iris? Apakah adikku baik-baik saja?" Tanya Julian kepada sang tangan kanan.
"Masih belum, Tuan. Pertahanan klan Cosa Nostra terlalu kuat untuk ditembus oleh orang-orang kita sehingga kita tidak mempunyai satu pun mata-mata yang bisa kita gunakan untuk mengorek informasi,," jawab Leon.
"FUCK!! Suap saja salah satu anak buah Evan dengan uang yang sangat banyak agar mau berkhianat dan memihak pada kita, kenapa kau sangat bodoh Leon?! Lakukan segala cara agar orang kita bisa menyusup masuk ke klan keparat itu!!" Julian mengamuk, wajahnya merah padam dan tampak bengis.
"Saya akan terus mencobanya," ucap Leon.
"Aku sudah kehilangan Richard dan aku tidak mau kehilangan Iris!! Lakukan segala cara agar kita bisa mengetahui dimana Evan menyembunyikan Iris," bentak Julian.
Napas Julian terengah-engah dan dadanya naik turun, emosinya terus meledak-ledak tanpa bisa ia kontrol lagi, pikirannya sekarang ini sedang bercabang kemana-mana dan ia tidak ingin kehilangan adik perempuan yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati. Julian tidak mau Iris bernasib sama seperti Richard yang mati dengan cara yang teramat mengenaskan.
Seorang anak buah Julian berjalan mendekati Leon lalu membisikkan sesuatu yang membuat ekspresi wajah tangan kanan Julian itu seketika berubah masam dan perubahan ekspresi wajah Leon bisa dengan mudah terbaca oleh sang pimpinan.
"Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?" Tanya Julian.
"Di luar ada kiriman karangan bunga dari Evan tapi ... sepertinya mereka mengirim karangan bunga itu untuk membuat anda marah," jawab Leon,
"Dimana karangan bunga itu sekarang?" Tanya Julian dengan ekspresi wajah datar.
"Di luar," jawab Leon.
Julian meninggalkan mini bar dan menuju ke halaman depan rumahnya, karangan bunga yang dikirim Evan bukanlah bunga mawar atau sejenisnya melainkan bunga-bunga liar yang tumbuh di jalanan. Tak hanya menggunakan bunga liar saja tapi mereka juga menggunakan rumput sebagai hiasan pinggirannya.
Manik biru Jullian menatap tajam ke tulisan yang terpampang di karangan bunga yang merupakan hasil karangan bebas Peter, tulisan itu memakai bahasa Italia yang ternyata sukses memancing amarah Julian.
'Selamat menikmati masa berkabung atas kematian adik keparatmu itu dan aku sangat bahagia saat melihat ekspresi wajah ketakutan adikmu dan suara jerit ketakutan Richard di detik-detik aku meledakkan tubuhnya terdengar sangat merdu di telingaku. Mangia merde e morte!! A fanabla, Richard!!'
Begitulah tulisan yang terpampang di karangan bunga yang mengandung kata-kata umpatan kasar dan hinaan, dan Peter harus diacungi sepuluh jempol karena keahliannya dalam memilih kata-kata hinaan untuk Julian.
"Fuck you, Evan!! Aku pasti akan membunuhmu, aku akan mencincang tubuhmu lalu membuangnya ke laut untuk santapan ikan-ikan di laut," teriak Julian penuh emosi.
Julian meninju papan karangan bunga itu hingga jebol kemudian ia menginjak-injak papan karangan bunga itu hancur, ia seperti orang kesetanan yang tidak bisa dikendalikan lagi. Wajah Julian berubah merah padam, dan ia terus saja berteriak emosi sambil terus menginjak-injak papan karangan bunga kiriman Evan.
****
Kediaman Luciano.
Iris duduk di sudut ranjang, ia tertidur setelah lelah menangis seharian bahkan tubuhnya tampak lemas karena menolak untuk makan. Bahkan saking lelapnya Iris tertidur ia sampai tidak menyadari kedatangan Evan di kamarnya, lelaki gagah itu duduk di sofa sambil menatap wajah Iris yang sedang tertidur.
Entah apa yang sedang Evan pikirkan ketika menatap wajah cantik Iris, ekspresi wajahnya pun terlihat datar sehingga sulit untuk dibaca. Tatapan mata Evan tiba-tiba teralihkan ke arah lain ketika ia mendengar suara lenguhan Iris, ekor mata sang pimpinan mafia itu sesekali melirik sang gadis yang kini sudah terbangun.
"Kamu?! Kenapa kau bisa masuk padahal aku sudah mengunci pintu kamar rapat-rapat? Cepat pergi dari sini atau--" Iris terlihat panik, ia dengan cepat menarik sellimut yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya.
"Atau apa, huh?! Sekarang ini kau sudah berada di dalam genggamanku dan kau tidak bisa berbuat apapun," tukas Evan.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Iris.
"Tidak ada, aku hanya datang untuk melihat kondisi tawananku. Kenapa kau tidak mau makan, apa kau takut kalau aku menaburkan racun ke dalam makananmu?!" Jawab Evan dengan nada suara datar.
"Aku justru akan memakannya jika kau benar-benar membubuhkan racun," ucap Iris dengan lantang.
Iris sekilas menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, ia akhirnya mendapatkan celah untuk bisa kabur dan kesempatan ini tidak akan pernah ia sia-siakan begitu saja. Ia hanya perlu berlari kencang keluar dari mansion lalu berteriak sekeras mungkin berharap akan ada orang yang bisa mendengar teriakannya lalu datang menolong, itu lah yang sekarang Iris pikirkan di dalam otaknya.
Evan tersenyum sinis ke arah Iris. "Keangkuhan keluarga Marchetti memang berada di level tertinggi dan tidak ada yang bisa mengalahkannya."
Iris berdiri perlahan-lahan lalu ia berjalan seakan-akan hendak mendekati Evan. "Dan aku tidak perduli, Figlio di troia!!"
Iris mengumpat kasar kepada Evan lalu ia berlari kencang keluar dari kamar, meski sempat kebingungan mencari jalan keluar akhirnya gadis cantik bertubuh seksi itu menemukan sebuah pintu besar yang ia yakini sebagai pintu keluar.
Akan tetapi ada yang salah, Iris merasa heran dengan penjaga di mansion Evan. Anak buah Evan sangat banyak akan tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha menangkap atau menghalanginya, tapi rasa heran Iris akhirnya terjawab sudah ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat oleh satu tangan kekar yang melingkar di perut rampingnya dan hanya dalam hitungan detik tubuhnya kini telah berpindah di atas bahu kokoh Evan.
"Turunkan aku!! Tolong!! Toloong aku!!" Teriak Iris sambil terus memukuli punggung Evan.
Evan membopong Iris dan membawa gadis cantik itu kembali ke kamar, ia melemparkan tubuh sang gadis ke atas ranjang lalu kembali menindih tubuh Iris dengan tubuhnya supaya tidak bisa bergerak bebas.
"Kau ....!! Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku tidak bisa bersikap lembut? Dan kau malah mengumpatiku dengan kata-kata kasar lalu mencoba untuk kabur, apa kau benar-benar ingin menguji kesabaranku, huh?!" Ujar Evan.
"Tolong lepaskan aku, aku ingin pulang!! Biarkan aku pergi dari sini," teriak Iris.
"Jangan uji kesabaranku, Iris!!"
"Kau memang lelaki jahat dan kejam, pergi saja ke nera--"
Evan melumat bibir Iris, membungkam mulut sang gadis dengan ciuman penuh gairah sehingga Iris tidak bisa lagi berteriak ataupun memberontak karena sang pimpinan mafia Cosa Nostra itu tidak memberikan sedikitpun ruang gerak untuk wanita yang sekarang ini menjadi mainan barunya.
"Lepaskan aku, jangan sentuh aku, Evan!! Tolong!! Tolong!!" Teriak Iris.
Bersambung.
"Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak kabur, huh?! Kau sudah membuatku marah dan kau akan mendapatkan hukuman berat yang akan membuatmu menyesalinya seumur hidup," ujar Evan."Aku tidak mau!! Hentikan, Evan!! Tolong hentikan," teriak Iris sambil menangis.Iris terus memberontak dengan cara menghalangi serta menjauhkan bibir Evan dari tubuhnya akan tetapi kedua tangannya langsung dicengkeram lalu dikungkung di atas kepalanya oleh tangan kekar sehingga ia tidak bisa lagi melindungi tubuhnya dari serangan hasrat sang pimpinan mafia kejam yang membuatnya benar-benar tidak berdaya.Evan kembali melucuti baju yang dikenakan oleh Iris, baik emosi serta hasratnya kembali tersulut oleh pembangkangan sang wanita sehingga ia tidak bisa lagi mentolerirnya. Tubuh seksi Iris akan menjadi pelampiasan amarahnya, hanya tinggal sedikit lagi dan ia bisa benar-benar memuaskan hasratnya akan tetapi tiba-tiba saja ia mendengar suara tembakan lalu pintu kamar diketuk kencang oleh seseorang sehing
"Aku akan menghamili adikmu tercinta, lalu ... boom!! Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan? Sama persis seperti yang kau lakukan kepada istriku," ujar Evan yang semakin membuat Julian bertambah geram.Julian meremas gagang pistolnya, wajahnya berubah merah padam dan rahangnya mengeras seiring amarahnya yang kian membesar terhadap Evan. Lelaki berjambang tipis dengan tubuh tinggi kekar itu tak rela jika adik perempuannya disakiti atau digunakan oleh musuhnya sebagai senjata untuk melawan dirinya dan membuatnya tidak berdaya seperti seorang pengecut.Julian secepat kilat menyerang Peter dengan memukulkan gagang pistolnya ke kepala serta punggung anak buah Evan hingga ambruk di atas tanah, kaki kuat nan kokohnya dengan cepat menginjak punggung Peter beberapa kali seperti hendak meremukkan seluruh tulang sang pria."Kau tidak akan pernah bisa melakukannya, Evan!!" Ujar Julian."Jangan menantangku atau kau akan menyesal," timpal Evan seraya mengambil pisau lipat dari kantong celana
"Evan!! Maafkan aku, maafkan aku!! Jangan telanjangi aku." Iris memeluk tubuhnya sendiri dan berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan kedua tangan serta duduk meringkuk di sudut bathtub.Evan memegang dagu Iris dengan kasar setelah ia selesai melepas paksa semua baju yang menempel di tubuh sang gadis, matanya melotot dan dari pancaran sinar matanya menunjukkan rasa dendam serta amarah saat melihat kemiripan wajah Iris dengan wajah musuh bebuyutannya, yakni Julian."KALAU KAU INGIN MENYELAMATKAN HARGA DIRI DAN TUBUHMU MAKA KAU HARUS PATUH DENGAN SEMUA PERINTAHKU!! Aku tidak akan segan-segan menyakitimu kalau kau berani membangkang," bentak Evan sambil membanting botol sabun dan isi di dalamnya meluber ke lantai. "APA KAU MENGERTI?!" Tanyanya dengan penuh penegasan."Aku mengerti ... maafkan aku, aku akan mematuhi se ... semua perintahmu," jawab Iris sambil menangis tersedu-sedu."Tetap berendam di sini sampai aku datang dan mengizinkanmu keluar dari bathtub, apa kau mengerti?!" Evan
"iris, Iris!! Buka matamu," seru Evan sambil terus memberi napas buatan serta menekan dada Iris. "Damn!! Buka matamu, Iris!! Kau tidak boleh mati," lanjutnya.Iris terbatuk-batuk sambil memuntahkan semua air yang tertelan dari mulutnya, dengan keadaan setengah tersadar tubuhnya diangkat oleh Evan dan dibawa kembali ke kamar lalu direbahkan di atas ranjang."Jangan buka," lirih Iris sambil mempertahankan pakaian dalamnya agar tidak dilucuti Evan dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.Namun, tidak ada satu pun yang bisa menghentikan Evan saat ini bahkan tangisan Iris sekalipun karena sejatinya hati Evan sudah membeku laksana gunung es kokoh yang tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh apa pun ataupun siapa pun.Evan menelanjangi tubuh Iris agar ia bisa mengganti pakaian sang wanita akan tetapi Evan tiba-tiba terhenti, jatungnya berdebar kencang dan ia menelan salivanya saat ia menatap keindahan tubuh Iris yang membius kesadarannya. Tubuh Evan bergerak perlahan mendekati tubuh Iris, dik
"IRIS, BUKA PINTU!!"BRAAAK!! BRAAAK!! Evan seperti orang kesetanan yang terus mendobrak pintu kamar mandi untuk memberikan si gadis sombong dari klan Marchetti sebuah pelajaran karena telah berani menghina mendiang Freya. Kekuatan dobrakannya bertambah semakin besar hingga membuat seluruh dinding bergetar hebat dan pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu jati mulai retak.Tangis Iris pecah dan ia memeras otaknya mencari cara untuk memblokade pintu yang hampir jebol, ia melihat sebuah meja dan ia berdiri cepat menyambar jubah mandi yang ia kenakan untuk menutupi tubuh moleknya. Iris berusaha sekuat tenaga menggeser meja kecil yang akan ia gunakan untuk mengganjal pintu agar tidak bisa ditembus oleh Evan."FUCK!!" Teriak Evan kencang sambil terus mendobrak pintu.Namun, meski Iris sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi pintu dari dobrakan Evan akan tetapi tenaga dan kekuatan sang pimpinan mafia itu tetap tidak bisa ditandingi. Pintu yang terlihat kokoh dan telah diganjal oleh
"Kau harus mati, Evan!! Hiyaaa," pekik Iris saat ia menghujam pecahan kaca ke tubuh Evan dengan mata tertutup.TEPP!! Pergelangan tangan Iris dicengkeram erat oleh tangan kekar Evan yang tiba-tiba terbangun setelah mendengar suara Iris, lelaki bertubuh kekar itu merampas pecahan kaca dari tangan Iris dan tidak sengaja menggores telapak tangan sang gadis hingga berdarah."Berani sekali kau melakukan hal ini kepadaku!! Apa kau masih belum jera setelah keperawananmu aku renggut, huh?!" Bentak Evan sambil melempar pecahan kaca ke lantai.Evan mendorong kasar tubuh Iris hingga terjatuh ke ranjang lalu ia merangkak naik ke atas tubuh sang wanita yang kemudian ia tindih dengan tubuh kekarnya, wajahnya merah padam dan ia benar-benar marah karena perbuatan Iris yang mencoba membunuhnya sehingga berencana untuk memberikan pelajaran kepada tawanannya"Kau pantas mati!! Pergilah ke neraka menyusul istrimu," teriak Iris."Apakah hukumanku masih kurang, huh?! Apa kau ingin aku buat lemas dulu baru
"MEREKA BUKAN ANAK BUAH JULIAN, IRIS!! DASAR GADIS BODOH," hardik Evan yang marah besar melihat kecerobohan serta kebodohan yang dilakukan Iris sehingga tawanannya itu kini jatuh ke tangan musuh.Evan meremas rambut hitamnya yang tebal dan mulutnya tidak berhenti mengumpat kesal, tangannya sudah sangat gatal ingin segera menghabisi anak buah Edgar yang berani menapaki mansion megah miliknya. Namun, untuk saat ini Evan tidak bisa bertindak gegabah karena ia tidak ingin wanita tawanannya dilukai oleh anak buah Edgar yang terkenal sangat bengis dan tidak segan untuk menghabisi tawanannya."Apa yang dikatakan oleh Evan itu benar? Kalian bukan anak buah kak Julian?" Tanya Iris kepada pria yang sedang menyandera dirinya."Heeiizzhh!! Masih bertanya lagi, astaga!! Sebenarnya semua keluarga Marchetti itu benar-benar bodoh atau lugu, sih?" Peter malah ikut-ikutan Evan mengomeli Iris karena ia gemas dengan ulah sang gadis yang menurutnya sangat bodoh."Diam, jangan bicara lagi. Ikuti saja perin
"Korbankan Iris, Julian!! Kau sudah kehilangan Richard dan kau juga harus merelakan Iris agar Evan ataupun Edgar tidak lagi bisa menekanmu," ujar Henry.Dada Julian seketika panas dan wajahnya berubah merah padam setelah mendengar ucapan sang paman yang membuat darahnya mendidih, ia sudah kehilangan satu adik kesayangannya dengan tragis dan sekarang pamannya malah menyuruhnya untuk mengorban satu-satunya adik perempuan yang tersisa."Aku memang orang berengsek dan berhati iblis tapi aku tidak akan pernah mau mengorbankan adikku, paman!! Kau memang sudah gila, tua bangka!! Lebih baik kau yang mati daripada aku melihat Iris terluka," teriak Julian.Kemarahan Julian semakin menjadi-jadi bahkan ia membalik dan menendangi meja kerjanya hingga patah di semua bagian hanya untuk melampiaskan amarahnya, ia mengeluarkan pistolnya dan memilih untuk menembaki semua barang yang ada di depannya saat ia bernafsu ingin menembak kepala sang paman hingga hancur."JULIAN!! Apa kau sudah gila?!" Hardik H