Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.
Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.
“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.
“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.
Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.
“Nggak, Nak. Kamu nggak akan jadi babu di sana,” ucap Daisy mencoba memberi pengertian pada Aleasha.
“Di perjanjian itu, kalau utang Ayah mencapai satu juta dollar dan Ayah nggak bisa membayarnya, maka ayah harus menikahkan anak ayah dengan anak Pak Richard,” ucap Mateo.
Seperti disambar petir, Aleasha membeku. Dia mencoba untuk memproses ucapan dari ayahnya itu. Jadi, dia akan menikah dengan anak Richard? Siapa? Kenapa? Apa untungnya?
“Maksud Ayah apa? Kenapa aku harus nikah sama anak Pak Richard? Apa untungnya bagi dia menikahkan aku sama anaknya? Kita kan dari keluarga yang berbeda. Bukannya dia keluarga kaya raya? Kenapa mau menantu dari keluarga miskin kayak kita?” Aleasha memberondong pertanyaan pada Mateo.
Dia benar-benar tidak paham dengan keadaan yang terjadi. Jika dipikir secara logis, tentu saja Richard bisa mendapatkan menantu dari kalangan kaya seperti dirinya. Kenapa dia mau dari kalangan miskin seperti keluarga Aleasha? Lagi pula, Aleasha juga tidak cantik. Kulitnya sawo matang cenderung gelap, hidungnya pesek dan tubuhnya sedikit gemuk. Sama sekali tidak enak dipandang.
"Kalau aku menolak buat dinikahkan dengan anaknya gimana?" tanya Aleasha.
"Kalau pernikahan itu gagal, Ayah bisa masuk penjara karena Pak Richard akan membawa kasus utang tersebut ke pengadilan," jawab Mateo.
“Maafin Ayah sama Ibu, ya, Nak. Kami nggak seharusnya melakukan hal ini. Tapi keadaan waktu itu benar-benar membuat kami harus mengambil keputusan ini,” ucap Daisy sambil memeluk anaknya.
Aleasha bingung. Namun, sebisa mungkin dia mencoba bersikap dewasa dan memaafkan kedua orang tuanya. Meski masih ada perasaan marah dan kecewa dalam dirinya, Aleasha merasa dia harus menyimpannya sendiri. Orang tuanya selama ini sudah berada dalam kesusahan. Jika dia tidak bisa membantu untuk keluar dari masalah tersebut, setidaknya dia tidak ingin menambah beban kedua orang tuanya.
“Terus, sekarang aku harus ngapain, Yah?” tanya Aleasha yang mencoba untuk berdamai dengan keadaan.
“Besok, kamu akan ketemu sama Pak Richard. Katanya anaknya sedang di Jakarta karena harus mengurus bisnis mereka, jadi belum bisa bertemu dengan kamu. Untuk sekarang kamu ketemu dulu sama Pak Richard. Mungkin, kamu bisa banyak bertanya ke dia,” ucap Mateo.
Aleasha membelalakkan matanya, “Aku sendirian ketemu sama Pak Richard?”
“Mereka minta kamu sendirian. Nanti ketemu di restoran Hotel Ariana jam satu siang. Pak Richard orang yang baik tapi tegas. Ayah harap kamu tidak mengecewakannya dan menambah masalah pada keluarga kita,” ucap Mateo yang penuh dengan harapan.
“Kamu harus ngasih kesan yang baik ke Pak Richard. Dia memang sudah tahu banyak tentang kamu, tapi kan kalian belum pernah mengobrol secara langsung. Jadi, kamu harus jaga sikap, ya, Nak,” sambung Daisy.
***
Sepertinya pertemuan dengan Richard tidak main-main. Pria yang sudah memberikan banyak uang kepada keluarganya itu bahkan mengirimkan supir untuk menjemput Aleasha tepat pukul dua belas siang. Aleasha juga diminta untuk berdandan yang rapi dan sopan untuk bertemu calon mertuanya itu.
Setelah lama berpikir dan menimbang, akhirnya Aleasha hanya mengenakan salah satu baju terbaik yang sering dipakainya saat kuliah dulu. Sebuah atasan putih polos dengan lengan pendek dan dipadu dengan celana denim biru tua. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai begitu saja. Sangat sederhana. Dia juga tidak memakai riasan yang berlebihan.
“Pokoknya, kamu harus jaga sikap, ya, Nak. Jangan bikin mereka kecewa atau marah sama kamu,” ucap Daisy kembali mengingatkan.
“Ingat, nasib keluarga kita ada di tangan kamu sekarang,” lanjut Mateo.
Ucapan tersebut tentu sangat membebaninya. Mengingatkannya bahwa nasib keluarga mereka sedang berada di tangannya, oleh karena itu dia tidak boleh membuat Richard marah atau kecewa. Untuk sekarang, Aleasha tidak tahu apa yang akan terjadi pada keluarganya jika dia mengecewakan Richard, namun dia yakin sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Ya udah, aku berangkat, Yah, Bu,” pamit Aleasha.
Di depan rumahnya, sebuah mobil sedan hitam mewah sudah menunggu dengan seorang sopir suruhan Richard. Dan tanpa mengulur waktu lebih banyak, mobil tersebut langsung melaju ke Hotel Ariana, salah satu hotel mewah yang ada di Jogjakarta.
Sampainya di lobi hotel, Aleasha langsung disambut oleh seorang laki-laki mengenakan jas hitam rapi dengan badan tegap, “Selamat siang, Mbak Alea. Anda sudah ditunggu Pak Richard. Mari saya antar,” ucapnya dengan suara berat.
Mereka melewati lobi dan langsung menuju restoran hotel yang letaknya berada di belakang lobi. Untuk pertama kalinya Aleasha masuk ke sebuah hotel mewah bintang lima yang ada di kotanya itu. Desain interior dari hotel tersebut sangat menakjubkan dengan ukiran batik di langit-langit restoran. Sangat khas dengan budaya Indonesia.
Setelah cukup lama berjalan, pria itu berhenti di salah satu meja bundar yang besar. Di sana sudah duduk seorang pria dengan rambut yang sudah hampir putih semua. “Silakan duduk di sana,” perintahnya.
“Selamat siang, Pak Richard,” sapa Aleasha seramah yang dia bisa ketika berdiri tepat di meja bundar itu.
Pria tua itu mendongakkan kepalanya, “Siang. Aleasha?” panggilnya.
Gadis berkulit sawo matang itu menganggukkan kepala, “Benar, Pak. Saya Aleasha, anaknya Mateo.”
“Silakan duduk,” titahnya.
Dengan perlahan Aleasha duduk tepat di depan pria tua itu. Dari pakaian dan penampilannya saja sudah sangat menggambarkan kekayaannya. Dia mengenakan jas hitam yang rapi dan terlihat mahal. Di tambah dengan sentuhan jam tangan hitam dan emas yang tak kalah mahal. Sangat berbeda dengan penampilan Aleasha sekarang.
“Jadi, kata ayah saya, bapak ingin berbicara dengan saya. Kalau boleh tahu, bicara apa, ya, Pak?” tanya Aleasha langsung pada intinya.
Aleasha tidak tahu harus membuka obrolan dengan basa-basi seperti apa, jadi dia memutuskan untuk langsung pada pertanyaannya.
“Besok anak sulung saya akan ke Jogja. Belakangan ini dia sangat sibuk untuk mengurus bisnis baru saya. Apalagi sekarang dia punya perusahaan sendiri di luar pekerjaannya sebagai penerus bisnis saya,” ucap Richard dengan suara beratnya.
Aleasha hanya menganggukkan kepala. Masih belum mengerti dengan inti dari dipanggilnya dia ke hotel ini.
“Jadi, karena dia yang begitu sibuk, dia tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan pernikahan kalian. Jadi besok, saat kamu berkenalan dengan dia, saya ingin kamu dan anak saya langsung membahas tentang pernikahan kalian.”
“Hah?! Langsung membahas pernikahan?”
Aleasha kaget bukan main. Secepat itukah dia harus menikah?
Richard menganggukkan kepalanya. "Benar. Dan saya harap kamu tidak mengecewakan saya, Aleasha. Kamu harus ingat apa yang sudah saya berikan kepada orang tuamu. Sudah saatnya kamu membalas hal tersebut dengan tidak mengecewakan saya," ucap pria tua itu penuh penekanan.
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer