Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.
Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini.
"Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.
Aleasha membulatkan matanya dengan sedikit kebingungan. Dikecilkan lagi? Dia merasa gaun itu sudah sangat sesak di bagian pinggangnya. Roby beberapa kali telah meminta untuk merevisi beberapa bagian, termasuk bagian pinggang yang menurutnya belum menampilkan lekukan tubuh yang signifikan. Tapi Aleasha berusaha mempercayai penilaian Roby yang tentunya memiliki keahlian dalam bidangnya.
"Terus dibagian dada, potongannya harus lebih rendah lagi. Collar bone milik Aleasha harus menjadi fokusnya," ucap Roby lagi, memberikan instruksi detail tentang perubahan yang harus dilakukan pada gaun pengantin Aleasha.
Aleasha merasakan kekesalan mulai menyelinap saat mendengar permintaan tersebut. Mengapa Roby tidak sekalian menelanjanginya saja? Pikiran itu muncul dalam benaknya saat ia menyaksikan Roby dengan sigap memangkas setiap jahitan di gaun yang menyelimuti tubuhnya.
Awalnya, gaun pengantin itu memiliki desain dengan lengan panjang dan bentuk seperti gaun putri raja. Namun, menurut pandangan Roby, itu terlihat tidak berkelas dan tidak memperlihatkan lekukan tubuh Aleasha dengan baik. Tentu saja, instruksi tersebut sesuai dengan referensi yang diinginkan oleh Javario. Pria itu ingin Aleasha tampil lebih dewasa dan memikat, mungkin sebagai upaya untuk menyeimbangkan dirinya.
"Baik, Tuan," ucap wanita yang sedari tadi mencatat apa saja yang perlu direvisi dari bagian gaun tersebut, menunjukkan ketaatannya pada instruksi Roby.
Seandainya Aleasha adalah desainer dari gaun itu, dia pasti akan sangat marah pada Roby. Semua perubahan ini sama saja dengan merancang gaun baru untuknya. Begitu banyak yang harus direvisi dan dipangkas. Aleasha merasakan ketidaknyamanan melihat bagaimana tubuhnya akan terekspose begitu banyak dalam gaun yang direncanakan oleh Roby.
Namun, meskipun dia tidak menyukai ide tersebut, Aleasha menyadari bahwa dia tidak dalam posisi untuk memprotes. Bayangan hutang satu juta dolar masih menghantui pikirannya, membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang sulit untuk melawan.
Setelah serangkaian komentar dan revisi dari Roby, Aleasha kembali masuk ke bilik ganti dan melepas gaunnya dengan perasaan yang campur aduk. "Kita akan selesaikan ini dalam tiga hari, jadi Anda harus kembali lagi dalam tiga hari," ucap wanita itu, memberikan jadwal untuk pertemuan berikutnya.
Aleasha hanya menganggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun. Dia merasa frustrasi dengan semua perubahan yang harus dilakukan pada gaunnya, tetapi dia memilih untuk menahan diri. Setiap protes yang ingin dia sampaikan terasa begitu tidak penting di saat ini. Dia telah bertekad untuk menjalani pernikahan ini dengan sikap kooperatif, demi kebahagiaan orang tuanya.
Setelah meninggalkan bilik ganti, Aleasha bertemu kembali dengan Roby. Meskipun dia mencoba untuk menyembunyikan rasa ketidaknyamanannya, ekspresi kesalnya tidak bisa disembunyikan dengan baik. "Mbak Alea kenapa?" tanya Roby, mencoba memahami perubahan ekspresi wajah Aleasha.
Pertanyaan itu membuat Aleasha semakin cemberut. Dia merasa kesal bahwa Roby tidak bisa mengerti perasaannya. Bagaimana mungkin Roby tidak menyadari bahwa Aleasha sedang kesal padanya? Dengan seenaknya, Roby terus memberikan instruksi dan revisi untuk gaunnya, tanpa memperhatikan bagaimana perasaan Aleasha. Padahal, gaun awal yang dipilihnya telah membuat Aleasha jatuh hati. Namun, itu semua hanya terdengar seperti keluhan sepele di tengah kesibukan perencanaan pernikahan yang sedang berlangsung.
"Nggak apa-apa," jawab Aleasha singkat, mencoba menutupi kebingungannya.
"Oh iya, tadi Mas Java bilang Mbak Alea harus makan dulu sebelum pulang. Saya akan antar Mbak Alea ke restoran yang sudah dipilih oleh Mas Java," kata Roby sambil membimbing Aleasha menuju parkiran mobil.
Aleasha mengernyitkan dahinya dengan kebingungan. "Kenapa dia harus memilih restorannya? Aku bisa makan di rumah nanti," katanya dengan sedikit keberatan.
Roby dengan sabar membukakan pintu mobil untuk calon majikannya itu. "Mas Java ingin Mbak Alea menikmati makanan kesukaannya hari ini. Dia ingin Mbak Alea tahu apa makanan yang dia sukai," ucap Roby dengan penuh penjelasan.
Aleasha merenung sejenak, menyadari bahwa dia tidak pernah bisa menebak apa yang sebenarnya ada di pikiran Javario. Meskipun mereka jarang bertemu atau berkomunikasi setelah pertemuan pertama, Javario selalu mengatur segalanya melalui Roby. Bahkan urusan makan pun harus dipilihkan oleh Javario. Pikirannya melayang pada pertanyaan tentang apa yang sebenarnya diinginkan Javario dari pernikahan ini.
"Mas Java kapan ke Jogja, Mas?" tanya Aleasha, mencoba memancing informasi lebih lanjut.
Roby dengan ramah mempersilakan Aleasha masuk ke dalam mobil. Dia kemudian mengitari mobil tersebut untuk duduk di bangku pengemudi. "Mas Java mungkin akan ke Jogja di hari pernikahan. Karena Mas Java tidak bisa memperkenalkan dirinya dan kebiasaannya secara langsung. Jadi, Mbak Alea ikuti saja perintah dari Mas Java. Dengan begitu, Mbak Alea akan tahu seperti apa sebenarnya Mas Java," jelasnya.
Aleasha merasa semakin bingung dengan tingkah laku Javario. Di satu sisi, dia menekankan bahwa pernikahan mereka akan berjalan seperti pernikahan biasa, tapi di sisi lain, Javario selalu menggunakan Roby sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Aleasha. Bahkan, dia belum pernah mengirimkan pesan kepada Aleasha. Aleasha bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya kehidupan rumah tangga yang diinginkan oleh Javario?
Roby melajukan mobilnya dengan hati-hati saat mereka meninggalkan area parkiran butik mewah tersebut. Beberapa saat kemudian, mobil memasuki Jalan Kaliurang yang ramai, di mana jalanan tetap sesak meskipun siang hari telah tiba. Aleasha menghela napas dengan pandangan yang tertuju pada hiruk pikuk jalanan di luar jendela, mencoba meredakan kegelisahannya.
"Oh, iya, Mbak Alea," panggil Roby, memecah keheningan di antara mereka.
Aleasha menoleh ke arahnya dengan sedikit keheranan. "Kenapa, Mas?" tanyanya, ingin mengetahui alasan Roby memanggilnya.
"Mas Java bilang kalau dia akan ke Jogja di hari pernikahannya, tapi Mbak Celina dan Mas Rio sedang berada di Jogja sekarang untuk mengurus kepindahan perusahaan mereka. Di restoran nanti, Mbak Alea akan makan bersama mereka," ucap Roby, memberikan penjelasan tentang rencana makan siang Aleasha.
Sontak, Aleasha merasa terkejut. "Aku bakal makan siang sama mereka?" tanyanya dengan ekspresi tidak percaya.
Roby mengangguk. "Ini permintaan Mas Java sendiri, Mbak. Dia juga ingin Mbak Alea mengenal teman sekaligus partner bisnisnya," kata laki-laki itu dengan santai, mencoba meredakan kekagetan Aleasha.
Namun, Aleasha merasakan keberatan yang mendalam. "Nggak! Aku nggak mau!" ucapnya dengan tegas, menunjukkan penolakannya secara gamblang.
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer