Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan.
“Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby.
Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya.
Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur.
Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?”
“Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya.
“Oh, berarti jarak delapan tahun sama Mas Java,” ucap Roby.
Aleasha langsung terbelalak, “Delapan tahun?!” tanyanya dengan pekik yang tertahan.
Roby menganggukkan kepalanya, “Iya. Delapan tahun.”
“Berarti sekarang umurnya anak Pak Richard itu tiga puluh tahun dong?” tanya Aleasha lagi. Dia masih tidak percaya jika orang yang akan menikah dengannya jauh lebih tua dari usianya.
Lagi, Roby menganggukkan kepalanya, “Anak Pak Richard itu punya nama. Namanya Javario, kamu bisa panggil dia Mas Java. Mulai biasakan diri kamu untuk manggil nama itu. Karena itu adalah nama calon suami kamu.”
Calon suami. Dua kata itu cukup membuat Aleasha merinding sekaligus merasa seperti berada di alam mimpi. Tidak nyata. Apakah dia benar akan menikah?
“Oh, sebelum ngomongin pernikahan, mungkin Mas Roby bisa kasih tahu aku tentang Mas Java dan keluarganya. Aku sama sekali nggak tahu tentan keluarga Aksata. Yang aku tahu cuma mereka adalah keluarga orang kaya dan keluarga aku punya utang sama mereka,” ucap Aleasha.
Roby menganggukkan kepalanya, “Saya harus mulai dari mana dulu?” tanyanya.
“Terserah. Yang penting bisa bikin saya ngerti sama keluarga ini.”
“Oke,” sahut Roby.
Roby meneguk air mineral yang ada di meja sebelum mulai bercerita tentang keluarga Aksata. “Saya akan cerita tentang keluarga Aksata dulu secara keseluruhan. Pertama, mereka punya banyak bisnis di berbagai industri, mulai dari skala besar hingga kecil. Mereka juga punya banyak perusahaan yang induknya ada di Amerika dan Australia,” ucap Roby mulai bercerita.
“Keluarga Aksata sebenarnya orang asli Indonesia. Tapi, Pak Richard kuliah di Australia dan menetap di sana, sedangkan adiknya Leon kuliah di Amerika dan menetap juga di sana. Jadi, selama tinggal di sana, mereka bikin perusahaan sendiri. Dan setelah ayah mereka meninggal, perusahan di Amerika sama Australia itu digabung dengan perusahaan yang ada di Indonesia. Pak Richard harus pulang ke Indonesia untuk memimpin perusahan raksasa itu,” lanjutnya.
Aleasha mengangukkan kepala, merasa paham dengan apa yang Roby sampaikan. “Terus?” tanyanya.
“Pak Richard punya dua anak, Javario dan Jena, adik Mas Java. Mas Java sempat tinggal di Australia sebelum akhirnya ikut pindah ke Jakarta. Sedangkan Jena sampai sekarang masih sekolah di Australia dan tinggal dengan istri Pak Richard, Bu Mia. Sedangkan keluarga Pak Leon sampai sekarang masih di Amerika dan menjalankan perusahaan di sana.”
Dengan pelan Aleasha mencoba untuk mengingat satu persatu nama anggota keluarga Aksata. Sebetulnya nama itu tidak sulit untuk diingat, hanya saja karena masih asing, Aleasha sedikit bingung.
“Nah, di Jakarta Mas Java memegang salah satu bisnis keluarga Aksata, Hotel Ariana yang ada di Jakarta adalah salah satunya. Nah, Hotel Ariana di Jogja ini juga akan dikelola oleh Javario setelah nikah sama kamu,” ucapnya.
Aleasha sedikit tercekat. Nikah? Kenapa dia menjadi sangat sensitif dengan kata itu. Setiap Roby menyebutnya, rasanya dia langsung bergidik ngeri. Apa dia sebenarnya belum siap untuk menikah?
“Sebenarnya, keluarga Aksata punya bisnis apa aja, Mas?”
“Banyak. Saya juga nggak begitu hapal karena saya kerja hanya untuk Mas Java. Setahu saya, dulu waktu di Australia, Mas Java bekerja di fashion industry. Dia juga sering ngadain event fashion show untuk pamerin beberapa baju buatan perusahaan mereka. Nah, kalau di Indonesia, Mas Java lebih banyak pegang hotel karena sebenarnya dia memang kuliah di bidang hotel dan hospitality,” jawab Roby.
Aleasha menganggukkan kepalanya, “Terus? Apalagi yang harus saya tahu, Mas?”
“Kalau kamu pengen tahu tentang bisnis mereka, nanti mungkin bisa langsung tanya Mas Java,” ucap Roby, “sekarang saya akan cerita tentang pribadinya calon suami kamu.”
Lagi. Aleasha berjengit mendengarnya. Dia benar-benar belum terbiasa dengan hal ini. Semua ini masih sangat mendadak dan baru baginya.
“Mas Java orangnya workaholic. Dari kuliah dia udah sambil kerja di perusahaan Pak Richard. Dia juga pendiam dan punya sedikit teman. Salah satu temannya yang paling dekat sama dia cuma Mas Rio, teman dia sejak kecil. Selain itu juga ada Mbak Celina. Setahu saya, Mas Java pernah pacaran sama Mbak Celina waktu mereka SMA. Tapi, setelah putus mereka tetap berteman dengan baik.”
Celina. Aleasha merasa dia harus mengingat nama itu dengan baik. Jika dia benar akan menikah dengan Javario, nama itu pasti akan disebut paling kurang sekali dalam hubungan mereka. Dan mungkin Aleasha juga akan bertemu langsung dengan Celina di sebuah kesempatan.
“Nah, sekarang Mas Java juga sibuk banget karena dari tahun lalu dia, Mas Rio, dan Mbak Celina juga bikin startup. Jadi, Mas Java yang gila kerja makin gila sekarang,” kata Rio sambil tertawa.
Aleasha ikut terkekeh. Dia mulai bisa membayangkan rumah tangganya akan sangat datar karena Javario adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja.
“Mereka juga bakal pindah ke Jogja karena setelah menikah Mas Java akan tinggal di sini sama kamu. Jadi, sekarang mereka sedang mengurus izin usaha di Jogja,” terang Roby.
“Tinggal di Jogja? Kenapa?”
“Karena sebenarnya Mas Java pengen keluar dari rumah. Pak Richard orangnya cukup menuntut dan bikin Mas Java kadang capek sendiri ngadepinnya. Jadinya, dia milih buat di Jogja aja. Mas Rio dan Mbak Celina juga setuju buat pindah. Jadi, nanti rumah kalian akan ada di satu komplek yang sama.”
“Bentar, Mas,” ucap Aleasha mencoba untuk mencerna apa yang baru saja Roby ucapkan.
“Kenapa, Mbak?” tanya Roby.
“Ini berarti nanti setelah nikah, saya bakalan satu komplek perumahan sama mantannya Mas Java?”
Roby menganggukkan kepalanya, “Benar. Mbak Alea nggak usah khawatir. Hubungan Mas Java dan Mbak Celina udah berakhir lama. Mereka juga udah sama-sama move on dan sekarang berteman baik. Jadi, kamu nggak perlu khawatir.”
Aleasha mengerjapkan matanya beberapa kali. Masih tidak percaya dengan hal tersebut. Apakah dia bisa diterima oleh teman-teman Javario? Tunggu, pertanyaan pertama harusnya adalah apakah Javario bisa menerimannya?
“Dan tenang aja, Mbak. Mas Java juga nggak pernah macem-macem kok sama Mbak Celina,” goda Roby sembari tersenyum jahil.
Mendengar itu, wajah Aleasha sontak memanas. “Apaan sih, Mas. Kok malah bahas gituan.”
“Oh iya. Ada satu hal yang penting untuk saya sampaikan tentang Mas Java," ucap Roby tiba-tiba.
Aleasha mengernyitkan dahinya. "Apa, Mas?"
"Mas Java lebih suka cewek yang liar, Mbak."
"Liar?"
***
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer