Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.
Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.
Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.
Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Kata-kata seperti KPI dan invest sesekali terdengar di telinganya, dan meskipun kedengarannya cukup familiar, Aleasha tidak dapat menangkap konteks atau makna sebenarnya dari percakapan mereka. Baginya, itu hanyalah sekumpulan kata yang berputar di udara, tanpa arti yang jelas atau relevan bagi dirinya.
Setengah jam terasa seperti waktu yang tak berujung bagi Aleasha, yang hanya bisa diam dan melihat ke sekeliling restoran yang tenang. Akhirnya, makanan yang mereka pesan tiba, dan Aleasha mulai menyantap seporsi nasi goreng dengan telur dan potongan sosis dalam keheningan. Sementara itu, Rio dan Celina masih terlibat dalam percakapan mereka, tanpa memberikan perhatian kepada Aleasha sama sekali. Mereka tampak asyik berdebat dan saling sahut dalam diskusi mereka, tanpa memperhatikan kehadiran Aleasha yang semakin terasa seperti pengamat di antara mereka. Aleasha hanya bisa mengisi waktunya dengan menikmati hidangan nasi gorengnya dan memperhatikan aktivitas di sekitar restoran.
Restoran yang dipilih oleh Javario untuk pertemuan mereka terletak di rooftop sebuah hotel, memberikan pemandangan indah dari orang-orang yang berlalu-lalang di bawahnya dan langit cerah yang memancarkan sinar matahari. Beruntung mereka duduk di bagian dalam restoran, sehingga mereka tidak perlu merasa terganggu oleh panasnya cuaca di luar.
Dalam atmosfer yang terasa begitu asing bagi Aleasha, Celina memulai percakapan tentang strategi pencarian investor. "Jadi, menurut gue enaknya kita cari angel investor dari luar aja biar nanti gue bantu pakai kenalan gue," ucapnya, menggambarkan rencana yang tampaknya sudah dipikirkan dengan matang.
Rio merespons dengan tanggapan yang lebih kritis, "Ya boleh, tapi concern gue itu ada di investor yang harusnya nggak cuma satu. Kita kan butuh banyak dana, nah setidaknya punya dua sampai tiga investor lah, biar aman," tambahnya, memperlihatkan pemikiran yang lebih strategis dan berorientasi pada keamanan investasi.
Aleasha, bagaimanapun, mendengarkan pembicaraan mereka dengan kepala yang berputar. Dia merasa sama sekali tidak memahami apa yang mereka bicarakan. Meskipun kedengarannya familiar, topik-topik seperti angel investor dan strategi investasi sepenuhnya melintas di atas kepalanya, meninggalkan dirinya dalam kebingungan yang semakin dalam.
Setelah setengah jam yang terasa begitu panjang, Aleasha merasakan rasa kenyang yang memenuhi perutnya. Dia telah menyantap makan siangnya dengan sepenuh hati, bahkan sudah menghabiskan minuman air mineral yang dipesannya. Sekarang, di saat hidangan sudah habis dan kebutuhan fisiknya terpenuhi, dia merasa kebingungan. Celina dan Rio masih terlibat dalam percakapan mereka yang sibuk, sementara Aleasha merasa seperti menjadi penonton di antara mereka.
"Mbak, Mas," panggil Aleasha, memberanikan diri untuk mengalihkan perhatian mereka. Meskipun dia telah duduk bersama dengan mereka selama beberapa waktu, namun terasa seolah-olah dia tidak ada bagi kedua teman sekaligus rekan kerjanya itu.
Panggilan Aleasha segera menghentikan obrolan Rio dan Celina. "Kenapa?" tanya Celina dengan nada yang masih santai, seolah tidak menyadari bahwa mereka telah mengabaikan Aleasha selama ini.
"Saya udah selesai makan. Mau pulang," ucap Aleasha dengan singkat.
Celina melirik ke arah piring kosong di hadapan Aleasha, menunjukkan bahwa dia telah selesai makan. Dengan cepat, Celina meletakkan sendok dan garpu serta menghentikan aktivitas makan mereka. Begitu juga dengan Rio, yang sekarang memusatkan perhatiannya pada Aleasha. Aleasha merasa sedikit gemetar saat menyadari bahwa dua orang yang sebelumnya tidak memperhatikannya tiba-tiba mengarahkan perhatiannya padanya.
"Kenapa, Mbak?" tanya Aleasha dengan rasa penasaran.
"Celina dan saya bertanya-tanya, apakah kamu benar-benar ingin kenal dengan kami?" tanya Rio, menunjukkan ketertarikannya pada kejadian ini.
Aleasha mengernyitkan dahinya, kebingungannya semakin bertambah. "Maksudnya?"
"Java bilang kamu ingin kenal dengan kami. Tapi dari tadi kamu cuma diam," kata Celina, menjelaskan situasi yang membuat mereka merasa bingung.
Kening Aleasha semakin berkerut, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Saya disuruh ke sini oleh Mas Roby, Mas Java ingin kita kenal. Saya nggak paham kenapa saya yang harus menginginkan untuk mengenal kalian dan memulai percakapan," ucapnya dengan jelas, mengekspresikan ketidakmengertian dan kebingungannya secara tegas.
Aleasha merasa bahwa dia tidak perlu menghargai teman-teman Javario yang tampaknya tidak menghargai kehadirannya. Rasanya seperti sebuah ironi bahwa mereka berharap Aleasha yang memulai percakapan duluan, padahal seharusnya mereka yang menyambut kedatangannya dengan hangat, mengingat dia adalah calon istri dari sahabat dan rekan kerja mereka. Aleasha merasa kecewa dan tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka yang terkesan tidak sopan dan tidak ramah.
“Kamu yakin akan menikah dengan Javario? dengan sikap dan omongan kamu yang childish begini?” tanya Celina dengan nada yang terkesan merendahkan Aleasha.
Mendengar celaan tersebut, Aleasha merasa ditantang, tetapi dia tidak ingin membiarkan dirinya dikalahkan begitu saja. “Kenapa? Mbak Celina masih belum move on dari Mas Java?” balas Aleasha dengan tajam, menantang balik Celina dengan pertanyaan yang mungkin bisa mengguncangnya.
Ini adalah pertemuan pertama mereka, dan Aleasha merasa bahwa dia sudah tidak cocok dengan dua teman Javario itu. Rasanya tidak ada titik temu antara dirinya yang mencoba menjalin hubungan baik dengan mereka, dan sikap mereka yang terkesan merendahkan dan menilainya dari awal. Meskipun perasaan tersebut mungkin terlalu dini untuk diungkapkan, namun Aleasha sudah merasa bahwa hubungan mereka tidak akan berjalan dengan mulus seperti yang diharapkan oleh Javario.
"Maksud kamu apa?" tanya Celina dengan nada tajam yang menunjukkan ketidaknyamanannya terhadap pertanyaan Aleasha.
Aleasha tidak gentar dan dengan tegas menjawab, "Mas Java udah cerita kok kalau Mbak Celina itu mantannya. Jadi, saya ngerasa wajar kalau Mbak Celina terlalu ikut campur urusan asmara Mas Java. Menurut saya, terserah Mas Java memilih pasangan yang seperti apa, bahkan Mas Java berhak untuk memilih pasangan yang childish seperti saya," ucapnya dengan lugas, menunjukkan bahwa dia tidak takut untuk menyampaikan pendapatnya.
Tidak puas dengan jawabannya, Aleasha melanjutkan, "Atau sebenarnya Mbak Celina sengaja mancing saya biar saya marah dan bilang ke Mas Java kalau calon istrinya bukan cuma childish, tapi juga bad attitude?" tuding Aleasha, mencoba membongkar motif di balik perilaku Celina yang terkesan tidak menghargai.
"Diam kamu!" pekik Celina.
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer