"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup.
Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi.
"Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya.
***
Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau.
Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah mereka berada di ujung jalan, memiliki desain minimalis namun tetap memberikan kesan kemewahan. Rumah tersebut terdiri dari dua lantai, dengan dominasi warna putih baik di bagian eksterior maupun interior.
Di bagian depan rumah, terdapat carport yang cukup besar untuk menampung dua mobil, serta sebuah taman kecil yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga. Begitu masuk ke dalam rumah, Aleasha tidak bisa menahan kagumnya. Interior rumah dipenuhi dengan perabotan yang elegan, didominasi oleh warna hitam dan putih yang kontras.
"Kamu suka?" tanya Javario sambil menatap Aleasha.
Aleasha memutar pandangannya ke seluruh ruangan, merasakan kepuasan yang mendalam. "Suka sekali. Rumah ini terlihat begitu mewah dan terang," jawabnya dengan jujur.
Senyum tipis terukir di wajah Javario mendengar jawaban itu. Ruangan yang didominasi oleh warna putih memberikan kesan terang dan luas, terutama dengan pencahayaan dari lampu-lampu berwarna putih yang tersebar di seluruh ruangan.
"Syukur kalau kamu suka. Kita tidak perlu mengganti perabotan lagi," ucap Javario sambil melangkah masuk ke dalam rumah sambil menarik koper miliknya.
Kata "kita" yang digunakan oleh Javario memicu sebuah pertanyaan di benak Aleasha. Apakah sudah waktunya untuk mereka berdua menyebut diri sebagai "kita"?
Aleasha melirik ke arah Javario, mencermati pria itu dengan seksama. Tatapan matanya mengisyaratkan ketenangan yang luar biasa, dan sikapnya yang berwibawa begitu terlihat jelas. Namun, bagi Aleasha, segalanya terasa berbeda. Dia merasa seperti terdampar di tengah lautan misteri yang belum terpecahkan, sementara Javario tampak begitu akrab dengan dunia baru yang mereka hadapi. Seperti seorang yang telah mengerti segalanya sebelumnya, pria itu nampaknya telah memahami setiap detil yang akan terjadi.
"Kalau kamu mau taruh beberapa barang di sini, nggak apa-apa. Saya udah siapin satu ruangan khusus untuk kerja. Di sana cuma boleh barang saya aja. Kamu bisa taruh barang kamu di kamar kita atau di tempat lain," ucap Javario dengan tenang.
Kata-kata itu langsung membuat Aleasha terperangah. "Kamar kita?!" gumamnya, ekspresinya campur aduk antara keterkejutan dan ketidakpercayaan.
Javario menatap Aleasha dengan tatapan tajam. "Kamu nggak mikir kalau kita bakal pisah kamar, 'kan? Jangan karena ini perjodohan lalu kamu akan berpikir seperti yang terjadi di film-film," tegurnya dengan nada tegas.
"Kita nggak akan pisah kamar. Ngapain saya nikah kalau ujungnya tidur sendiri juga?" sahut Aleasha dengan cepat, mencoba menenangkan dirinya sendiri dari kebingungan yang melanda.
Namun, ketika Javario mengungkapkan rencana mereka untuk berbagi kamar, Aleasha terdiam. Dia akan tidur di ranjang yang sama dengan Javario? Dengan orang yang baru saja ditemuinya hari ini? Rasanya begitu sulit dipercaya.
"Oh iya," ucap Javario sambil melangkah masuk ke dalam rumah, memecah keheningan yang terbentang di antara mereka.
Aleasha mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan Javario yang tampak sedikit serius. "Kenapa?" tanyanya, mencoba memahami lebih jauh tentang situasi yang mereka hadapi.
"Saya tahu ini bakal canggung. Tapi, kita akan berperan sebagai suami dan istri sungguhan. Saya nggak punya banyak waktu untuk meromantisasi berbagai hal. Banyak hal yang harus saya lakukan. Jadi, mungkin saya adalah tipe suami yang sedikit cuek," ucap Javario dengan jujur, mengungkapkan kejujurannya tanpa embel-embel.
Aleasha merasakan kebingungan menyelinap ke dalam dirinya, namun dia tidak memiliki opsi selain untuk mengangguk mengerti, menerima bahwa situasi ini memang akan menjadi sebuah tantangan yang harus mereka hadapi bersama.
Melihat Aleasha tampak agak terdiam, Javario mengangkat sebelah alisnya dengan sedikit keheranan. "Kok diem?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang terjalin di antara mereka.
Aleasha mendongakkan kepalanya dengan canggung, bibirnya bergetar saat dia menjawab, "Ke-kenapa?" suaranya tergagap, refleksi dari kegugupannya yang begitu terlihat jelas. Tatapan intens dari Javario membuatnya merasa seperti sedang di bawah sorotan, dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Dia masih belum terbiasa dengan tatapan tajam dari pria yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.
"Saya sudah cerita tentang diri saya. Seharusnya kamu juga bercerita tentang diri kamu," ucap Javario, memecahkan keheningan dengan suara yang tenang namun tegas.
Seketika, Aleasha tersadar akan maksud sebenarnya dari ucapan Javario tersebut. "A-aku nggak tahu. Aku belum pernah jadi istri. Sehari-hari juga aku hidupnya biasa aja. Aku orangnya juga nggak menuntut banyak, kok," jawabnya, mencoba menjelaskan dirinya dengan terbata-bata.
Javario menganggukkan kepala setuju. "Bagus. Berarti kita cocok. Saya juga nggak mau dituntut banyak hal. Tapi kamu tenang saja, saya akan selalu menjadi suami yang akan mencukupi kebutuhan kamu," katanya dengan penuh keyakinan, memberikan jaminan bahwa dia akan berada di sana untuk Aleasha dalam segala hal.
Pria itu kemudian berjalan perlahan menuju salah satu ruangan, menarik kopernya di belakangnya. "Ini ruangan khusus untuk kerja saya. Kamu juga bisa memilih kamar untuk bekerja atau belajar. Saya tidak akan mengganggu privasi kamu," lanjutnya, menunjukkan sikap pengertian dan kesediaannya untuk memberikan ruang bagi Aleasha dalam menjalani kehidupannya di tempat baru ini.
Aleasha memasuki salah satu ruangan yang masih kosong, mengamati sekelilingnya dengan cermat. Ruangan itu terletak cukup jauh dari bagian depan rumah, dekat dengan dapur. "Aku mau di sini," ucapnya dengan mantap, mencoba menentukan tempat yang paling cocok baginya.
Mendengar pilihan Aleasha, Javario mengernyitkan dahinya dengan sedikit keraguan. "Kamu yakin? Biasanya kamar di dekat dapur itu dibuat untuk kamar asisten rumah tangga," ujarnya, memberikan sebuah catatan yang mungkin belum terlintas dalam pikiran Aleasha.
Aleasha merasa sedikit tersipu, menyadari bahwa dia tidak menyadari hal itu sebelumnya. Dengan senyum yang malu-malu, dia memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut dan berjalan menuju kamar yang lain. Saat dia tiba di sebuah pintu ruangan yang letaknya persis di sebelah ruang kerja Javario, dia bertanya, "Kalau di sini?"
Javario mengangguk setuju. "Boleh. Asal kamu nggak berisik. Karena ruangan kamu bersebelahan sama ruangan saya," katanya dengan santai, memberikan persetujuannya dengan satu syarat sederhana.
Aleasha hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda pengertian. Dia tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang akan digunakan ruangan tersebut, jadi dia memilih untuk tidak terlalu khawatir. Hobi fotografinya mungkin bisa menemukan tempat di sana, dengan mungkin mencetak beberapa hasil jepretan dan memajangnya di dinding. Atau mungkin dia bisa membuat sebuah studio kecil pribadi. Pikiran-pikiran itu hanya akan dia pertimbangkan nanti.
Sementara itu, Javario mengarahkan langkahnya ke arah pintu terbesar di lantai pertama, terletak tepat setelah ruang tamu. "Ini kamar kita," ucapnya dengan bangga, menunjukkan ruangan yang akan mereka bagi sebagai tempat tinggal mereka berdua.
Lagi, Aleasha bergidik mendengarnya.
***
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Aleasha tidak gentar. Baginya, Celina hanyalah seorang asing yang menyebalkan. Gadis itu bahkan heran mengapa Javario bisa berteman dengan wanita seperti Celina, apalagi mengingat bahwa wanita di hadapannya itu adalah mantan Javario. "Duh, selera Mas Java nggak banget!" umpat Aleasha dalam hatinya, merasa kesal dengan situasi yang sedang dihadapinya. "Kayaknya saya di sini cuma buang-buang waktu. Jadi, saya pamit pulang," ucap Aleasha dengan tegas, bangkit dari tempat duduknya. Dia meninggalkan restoran itu tanpa menunggu reaksi dari Rio dan Celina. Aleasha benar-benar tidak mengerti mengapa Javario meminta dia untuk bertemu dengan dua temannya yang terasa begitu aneh dan tidak menyenangkan. Menurutnya, Javario seharusnya tidak perlu memperkenalkan mereka jika teman-temannya tersebut tidak mampu menghargai keberadaan Aleasha. Di jalan, Aleasha segera menghubungi Roby. Untungnya, Roby yang sedang dalam rapat online dengan Javario langsung merespons panggilan tersebut. "Halo?" sapa
Aleasha merasa seperti berada di tengah-tengah sebuah dunia yang asing baginya. Dua orang asing di hadapannya, Celina dan Rio, adalah sosok yang sepenuhnya tidak dikenal baginya. Selama perjalanan dari butik ke restoran, gadis itu berkali-kali menolak untuk bertemu dengan mereka.Baginya, mereka hanyalah dua orang yang tidak perlu dikenalkan, dua orang asing yang tidak relevan dalam kehidupannya. Meskipun mereka adalah rekan kerja Javario, itu tidak membuat mereka lebih dekat dengan Aleasha atau membuatnya merasa harus memperkenalkan diri.Dalam kebingungannya, Aleasha merenung, "Aku harus ngomong apa ini?" Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari cara untuk mengatasi kebingungan ini. Namun, hingga saat ini, dia hanya terdiam. Bahkan ketika dia bersuara, itu hanya untuk memesan makanan, tidak lebih dari itu.Selanjutnya, dia hanya diam, memperhatikan Celina dan Rio yang sibuk berdiskusi. Meskipun mereka tampak begitu terlibat dalam pembicaraan mereka, Aleasha bahkan tidak tahu dan t
Setelah pertemuan pertama mereka, Aleasha jarang bertemu dengan Javario. Informasi yang dia terima dari Roby menyebutkan bahwa Javario sibuk mengurus kepindahan perusahaan rintisannya, sementara keluarganya tengah sibuk mempersiapkan segala hal terkait pernikahan. Sementara itu, Aleasha sendiri sering kali harus pergi ke butik yang telah disiapkan oleh keluarga Aksata untuk urusan persiapan pernikahan.Setiap kali Aleasha mengunjungi butik yang dipilih oleh ibu Javario, dia tidak bisa membantu diri untuk memikirkan seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Selain hotel mewah bernama Ariana di Jogja, keluarga itu juga memiliki beberapa hotel cabang dengan nama yang sama, serta beberapa yang berbeda. Perbedaan ekonomi dan gaya hidup antara keluarga Anagata dan Aksata sangat jelas terlihat dari hal ini."Saya mau dikecilin lagi di bagian pinggangnya," ucap Roby, desainer busana yang bertanggung jawab atas gaun pernikahan Aleasha.Aleasha membulatkan matanya dengan sed
"Maksudnya gimana, Mas?" tanya Aleasha gugup. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang karena ucapan ambigu dari calon suaminya itu. Sedangkan Javario terlihat sangat santai dan tidak banyak bereaksi. "Saya cuma mau bilang itu," katanya sekenanya. *** Aleasha terpukau dengan pemandangan yang baru saja ditemuinya. Sebelum mencapai rumah baru mereka, dia melintasi gerbang utama kompleks yang terlihat begitu mewah dan modern. Pada sebuah pilar besar, terpampang jelas tulisan "Komplek Perumahan Ganesha", sebuah kompleks perumahan elit yang terletak di pinggiran kota. Di sekitar kompleks, terdapat berbagai fasilitas seperti klinik, taman bermain anak, dan minimarket. Jalanan di dalam kompleks terasa sangat mulus dan rindang, dihiasi dengan berbagai pepohonan. Rumah-rumah mewah berjejer rapi dengan desain yang bervariasi, menciptakan panorama yang memukau. Dalam kompleks tersebut terdapat empat blok rumah, dan rumah yang akan dihuni oleh Aleasha dan Javario terletak di blok 1. Rumah m
Setelah pertemuan tersebut, Roby berjanji untuk menjemput Aleasha esok hari untuk bertemu dengan Javario. Pria itu juga mengantar Aleasha pulang setelah menghabiskan seporsi spageti dan mengobrol berjam-jam tentang Javario dan keluarganya.“Gimana, Nak?” tanya Mateo.“Pak Richard ngomong apa aja ke kamu?” sambung Daisy.Aleasha menghela napas panjang. Di ruang tamunya itu, dia mengitarkan pandangan. Rumahnya tidak luas dan sangat sederhana. Hanya ada ruang tamu yang kecil dengan sofa lusuh, ruang makan yang merangkap dapur, dan dua kamar tidur. Sekarang dia sangat sadar bahwa keluarganya sangat sederhana.“Pak Richard langsung pergi pas ketemu. Nggak banyak ngobrolnya,” jawab Aleasha.“Terus? Kamu nggak bikin masalah, kan?” tanya Mateo memutuskan.Aleasha menggelengkan kepalanya, “Nggak kok, Yah. Besok aku ketemu sama anaknya Pak Richard.”“Kamu harus dandan yang cantik untuk besok,” ucap Daisy, “biar Ibu bantu.”Aleasha hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.“Ya udah, kalau gitu kit
Richard tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan banyak hal pada Aleasha. Setelah pertemuan singkat itu, Richard menyerahkan semuanya pada Aleasha dan Roby, sekretaris Javario yang sudah lebih dulu berada di Jogja. Roby yang akan membantu Aleasha dalam berbagai hal selama proses persiapan pernikahan. “Mbak Alea punya wedding dream?” tanya Roby. Aleasha masih di restoran yang sama dan duduk di bangku yang sama. Hanya saja orang yang berada di hadapannya berbeda. Richard sudah pergi bersama pria bertubuh tegap yang tadi mengantarnya ke restoran. Meninggalkannya dengan Roby, lelaki berkulit seputih susu yang baru saja dikenalnya. Aleasha bingung. Sebelumnya, dia tidak pernah berpikir akan menikah secepat ini. Dia menggelengkan kepalanya, “Saya bahkan nggak pernah mikirin tentang nikah, Mas,” ucapnya jujur. Mendengar itu, Roby sedikit mengernyitkan dahi, “Nggak pernah? Mbak Alea umurnya berapa?” “Dua puluh dua tahun. Saya baru lulus kuliah, Mas,” katanya. “Oh, berarti jarak del
Aleasha tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi. Kepalanya mendadak merasa sangat sakit dan pusing di saat bersamaan. Saat Mateo mengatakan bahwa dia adalah jaminan utang satu juta dollar keluarganya yang tidak bisa dibayar, Aleasha merasa bingung dan kecewa di saat yang sama.Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi objek jaminan utang. Di satu sisi, dia paham bahwa orang tuanya juga berada dalam kondisi terdesak. Benar kata Daisy, yang salah adalah keadaan. Jika keadaan tidak seperti itu, mungkin mereka bisa membayar utang pada Richard.“Ayah nggak jual kamu, Nak. Ini sudah menjadi salah satu perjanjian saat Ayah pinjam uang ke Pak Richard,” ucap Mateo mencoba menenangkan anak satu-satunya itu.“Terus apa? Ini maksudnya aku bakalan jadi babu di rumah mereka? Bakal jadi pembantu mereka? Atau apa, Yah?” desak Aleasha.Tentunya masih ada tersisa ruang untuk marah di hatinya. Dia tidak habis pikir akan bernasib seperti itu, seolah dijual oleh keluarganya sendiri.“Nggak, Nak. Kamu n
"Hah?! Berarti aku dijual?" tanya Aleasha sambil membelalakkan matanya. Mateo--ayah Aleasha, dan Daisy--ibu Aleasha mengelengkan kepalanya dengan cepat."Bukan dijual. Ini sudah seperti kesepakatan," ucap Mateo dengan tenang.Suara tenang Mateo tentu sangat tenang untuk seorang ayah yang baru saja menyuruh anaknya menikah karena perjanjian hutang.Aleasha berdiri dari kursinya, "Iya, kesepakatan buat ngejual aku, 'kan? Ayah sama Ibu udah gila?!" pekiknya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi apa yang dilakukan kedua orang tuanya juga tidak mencerminkan sebagai orang tua."Jangan kurang ajar sama orang tua," Mateo mengingatkan, "kami melakukan ini juga untuk menghidupi kamu sehingga bisa hidup dengan layak."Aleasha kembali duduk, dia menghela napas panjang dan mencoba untuk mengatur napasnya. "Ya udah, kalau gitu Ayah sama Ibu jelasin kenapa aku dijual kayak gini," ucapnya. Mateo mulai bercer