Menjadi pasien ternyata sama sekali tidak menyenangkan. Pergerakan dibatasi karena selang infus menempel di tangan kiri, sesekali darah naik jika Aksa banyak bergerak. Aktivitasnya pun terganggu, bahkan untuk sekedar mandi atau hanya mengeluarkan sisa-sisa metabolisme di dalam tubuhnya pun sulit. Dua hari Aksa dirawat di rumah sakit, ketika mendengar kata; BLPL, Aksa pun lega. Malam itu juga Aksa meminta dipulangkan. Setelah dibantu Savira menyelesaikan proses administrasi, laki-laki itu diantar pulang menggunakan mobil Savira. Sepanjang perjalanan yang dingin, karena Aksa lebih banyak diam, meskipun beberapa kali Savira menawarkan beberapa hal yang mungkin dibutuhkan, seperti; makan. "Aku masih kenyang.” "Terakhir kamu makan waktu siang tadi, Sa. Itu pun nggak habis. Kamu harus banyak-banyak makan biar cepet sehat, kamu dokter, harusnya paham." Savira banyak bicara, suara yang dua hari ini selalu meramaikan suasana di sekitarnya. "Nanti aku bisa makan, gampang tinggal pesan
"Tap—." "Jangan menciptakan alasan untuk kembali membuatku marah, Laraa," geram Aksa rendah, tapi terdengar menakutkan. Aksa berjalan mengambil ponsel yang sejak tadi berdenting, memfokuskan otaknya menjawab pesan mamanya. Ia bersyukur, meskipun terlihat terpaksa, Lara kembali mendudukan tubuhnya di sofa ruang tengah, tempat di mana tadi rapat digelar. Wanita itu menyibukan diri dengan tugas, membuat rangkuman hasil rapat dengan keahlian sepuluh jari yang sudah terasah. Me : Aku usahakan datang ke rumah, setelah urusan pekerjaan selesai. Dia sendiri sadar, jawaban itu terlalu sulit untuk direalisasikan. Aksa masih membutuhkan waktu untuk datang menemui kedua orangtuanya. Selesai menjawab pesan, Aksa mengunci pandangan lurus ke arah Lara, wanita yang justru menjadi pusat perhatiannya sejak masuk ke ruangan ini. Bunyi tombol kunci pintu diaktifkan terdengar jelas ditengah sepi, merubah suasana menjadi lebih mencekam, lebih menakutkan daripada pembahasan kasus hukum rumah s
"Jelaskan," tuntut Aksa. Laki-laki itu melempar ponsel dalam genggamannya ke sofa. Tak takut jika lemparan itu meleset, ponsel Lara bisa hancur menjadi kepingan. Lara berjengit kaget, matanya membulat ketika tiba-tiba Aksa kembali berjalan mendekat, dengan manik mata tajam mengunci netranya. "Jangan mendekat," cegah Lara. Kedua tangan berada di depan tubuh. Tetapi bukannya mendengar, laki-laki itu justru semakin geram. Aksa menarik tubuh Lara, melingkarkan tangannya di sekitar pinggang wanita itu. Aksa melekatkan tubuh keduanya, memaksa Lara menatap ke bola mata hazel miliknya yang tengah menggelap. "Apa saja yang kamu lakukan bersama laki-laki itu?" tanya Aksa, tangan besarnya mengunci wajah Lara. "Tidak ada." "Jangan berani berbohong padaku, Laraa!" Jemari Aksa bergerak menyusur turun, melingkari leher Lara yang terbuka, menyapa kulit yang lama tak tersentuh. Tangan Aksa menekan memberi siksaan. "Katakan, ceritakan semuanya, sedetail-detailnya. Aku mau tau semuanya." Wajah Lar
"Dokter Aksa, bagian legal ingin bertemu, apa dokter ada waktu?" Suara Dewi di intercom membawa harap. Aksa sempat teralihkan, sebentar, sebelum akhirnya kembali mengunci pandang ke arahnya. Wanita itu beranjak dari sofa, memperbaiki penampilannya yang sempat kusut di beberapa sisi. "Dokter mau saya bagaimana?" tanya Lara memberanikan diri. Otaknya terlalu rumit mengurai pemikiran Aksa yang membingungkan. Apa yang laki-laki itu inginkan darinya? Apa yang harus ia lakukan? "Dokter, maaf, bagian legal ingin bertemu untuk konsultasi sebelum bertemu pasien yang berkasus hukum." Kedua mata Aksa terpejam pekat. "Pergilah," usir Aksa. Ia memutar badan dan berjalan ke arah meja kerja-nya. Aksa menekan tombol kunci, menjawab pesan Dewi dan meminta bagian legal masuk ke ruangan. Aksa mendudukkan tubuhnya, memutar kursi membelakangi Lara. "Pergilah, sebelum kita berdua kembali mengacau." Menekan gemuruh di dada, Lara menjalankan perintah Aksa, mengambil ponsel dan laptop di sofa. "
Cukup lama Lara membiarkan Aksa bergelung dalam tangis, melepas sebanyak-banyaknya yang ia ingin. Tangan Lara bergerak mengambil tangan Aksa untuk digenggam, mengusap lembut menenangkan. Kali ini, tangan itu tak lagi mencengkeram kuat, justru Lara melingkarkan tangan Aksa memeluk tubuhnya, membagi kehangatan. "Aku seorang pesakitan, Lara. Rumah yang kujaga berantakan," ucap Aksa ditengah usahanya merapatkan tubuh. Tak lagi kuasa menahan kesedihan yang sama, Lara memutar tubuh, menemukan mata laki-laki itu yang menyimpan ribuan luka. Tanpa perlu diminta, Lara mengeratkan pelukan keduanya, membiarkan Aksa kembali melepaskan tangis dalam dekapannya. *** Tidak hanya staf bagian legal dan Lara, tetapi masalah besar tengah mengancam saat Savira masuk ke ruangannya, menatapnya tajam dengan kedua tangan menyilang di dada. "Tante Halimah sedang sakit, dia mikirin kamu dan kamu justru menolak datang hanya karena urusan pekerjaan?!" cecar Savira, sesaat setelah berdiri di depan meja
Seperti terdengar suara petir menyambar, menggelegar di tengah usahanya untuk tetap tenang. Aksa mencengkeram kuat potret laki-laki itu di tangannya, menatap kosong ke sisi arah lain. "Demi menjaga nama baik keluarga, menjaga Mama, papamu tetap melanjutkan rencana pernikahan kami, memberi nama Al-Fayaadh di belakang namamu," tambah Bu Halimah. Wanita itu menarik tubuh Aksa yang kaku, memeluk erat anaknya, satu-satunya yang tersisa dari laki-laki yang ia cintai. "Maafkan Mama, maafkan Papa." Pelukan di tubuh Aksa menguat. "Kesalahan papamu hanya satu, dia jatuh cinta di saat yang tidak tepat, dia menyakitimu dengan kenangan buruk perselingkuhan yang salah." "Mama tahu dengan perselingkuhan Papa?" Bu Halimah mengangguk mengiyakan. "Tetapi Mama memilih menutup mata, laki-laki itu sudah memberikan kasih sayang yang luar biasa untuk kita, papamu berhak bahagia dengan pilihannya." "Lalu bagaimana dengan Mama?" Bu Halimah mengurai pelukan, ia merangkum wajah anaknya yang suda
Aksa berjalan mondar-mandir, di depan ruang praktik Savira di lantai dua. Memakai kemeja berwarna navy dan celana bahan sepulang kerja, Aksa menunggu jam praktik Savira berakhir. Rumah sakit Al-Fayaadh termasuk ke dalam salah satu rumah sakit swasta terbesar di Jakarta, berdiri di atas tanah seluas lebih dari dua hektar, di tengah kota Jakarta. Tidak terlalu aneh jika rumah sakit masih ramai di hampir jam tujuh malam. Banyak dokter spesialis praktek yang memilih membuka jam di malam hari, selain karena lebih fleksibel, juga karena keterbatasan waktu pasien di pagi hari saat bekerja. "Selamat malam, dr. Aksa." "Selamat malam, dok." Sapaan karyawan rumah sakit beberapa kali dijawab hangat, Aksa pun tersenyum ramah, menolak tawaran suster poli untuk pindah di doctor lounge. Sebagai seorang direktur utama, Aksa juga ingin sesekali butuh melihat jalannya pelayanan. Sudah lebih dari tiga puluh menit Aksa menunggu, tetapi pasien yang mengantre tak kunjung surut. Beberapa kali ia me
"Maksudnya?" Dahi Aksa mengerut, mencoba mengolah pertanyaan Savira menjadi sebuah informasi yang bisa diserap. "Aku nggak paham," tambah Aksa akhirnya, setelah hitungan menit berusaha menjawab pertanyaan Savira. Malam sudah larut, ditambah lapar, tubuhnya membutuhkan asupan nutrisi untuk melakukan beberapa fungsi, termasuk berfikir dan menjawab pertanyaan Savira. "Abaikan saja, ini sudah malam, tidak usah membahas hal-hal yang berat." Setelah cukup lama menunggu, pesanan keduanya datang. Pelayan restaurant mengucapkan 'selamat makan' menggunakan bahasa Jepang yang tak Aksa pahami. Berbeda dengan Savira yang menjawab lancar. Maklum, lebih dari dua tahun wanita itu tinggal di negara sana. Makan malam yang terlalu singkat, karena baik Savira dan Aksa menghabiskan makan malam dalam waktu yang cepat. Keduanya sedang diburu waktu, karena ingin segera sampai di rumah lalu mengistirahatkan badan yang lelah. "Sepertinya aku benar-benar lapar," aku Aksa. Laki-laki itu mengelap ping
Mata Aksa terpejam mendengar kalimat Lara, menyusup ngilu yang pelan-pelan menjalar dari dada ke ujung syaraf nadi di seluruh tubuhnya. Rasa yang berusaha ditekan, justru kembali diungkit di bawah langit jingga sore yang seharusnya romantis. "Dok ..." panggil Lara sekali lagi. "Permintaanmu terlalu sulit, Lara." "Cuma satu." "Tapi itu adalah hal tersulit untuk kukabulkan." Wajah Aksa memias, sudut matanya berkerut menahan sesak. Laki-laki itu memalingkan muka, mengalihkan perhatian dari Lara, ketika saat ini wanita itu berubah menjadi sosok yang menyakiti. "Aku tidak bisa." "Dan dokter baru saja berjanji untuk mengabulkan permintaanku." Aksa mengisi kekosongan dada dengan oksigen sebanyak mungkin, mengurai gelisah, menekan rasa sedih yang datang. Adalah hal yang paling ia takuti, kehilangan istrinya. Seorang wanita yang arti kehadirannya terlalu besar, bahkan hanya sekedar membayangkan kehidupannya tanpa Lara pun Aksa tak bisa. "Aku akan selalu mencintaimu," ucapnya li
Two years later Seorang wanita dan laki-laki duduk memandang hamparan laut berwarna biru, di bawah langit yang indah, di bibir pantai. Kedua tangan mereka saling menggenggam, si wanita duduk di atas kursi roda, sedang si laki-laki duduk beralaskan pasir pantai yang putih. Tubuh si laki-laki basah, bertelanjang dada dengan pasir yang menempel di beberapa bagian tubuh laki-laki itu. Senyum terpatri di kedua wajah yang tidak menatap ke arah sama, pandangan si wanita mengunci ke arah laki-laki di sampingnya, sedang laki-laki itu justru mematri netranya ke arah ombak kecil-kecil yang menggulung di bibir pantai. "Aku menemukan dua pemandangan terindahku sore ini," sela si wanita, menarik perhatian laki-laki di sebelahnya. Tersenyum tipis, Aksa mengalihkan perhatian dari pantai ke istrinya yang sedang menatap ke arahnya. "Apa itu? Aku ingin tau." "Pantai dan kamu." Rayuan amatir yang terdengar basi, tetapi sukses membuat laki-lakinya melengkungkan bibir, tersenyum malu-malu. Laki
Dua hari setelah menikah, Lara diperbolehkan pulang. Bagas yang baru saja mengecek kondisi Lara sudah cukup yakin wanita itu layak dipulangkan, dengan beberapa terapi terjadwal yang nantinya harus dipatuhi wanita itu. "By the way, selamat atas pernikahan kalian berdua," ucap Bagas ditengah kunjungannya. "Thank's." "Kalian berdua—, terlihat serasi bersama," tambah laki-laki itu lagi, kalimat yang justru terdengar janggal diucapkan seorang Bagas Ganendra. "Gue cabut dulu, masih ada beberapa pasien yang butuh divisit." Bagas langsung meninggalkan ruang rawat inap Lara, tetapi Aksa mengejar lalu menahan laki-laki itu di depan pintu luar ruang rawat inap. "Kenapa?" tanya Bagas, menemukan Aksa yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada yang mau gue tanyain." "Lara sudah baik, bisa beraktivitas seperti biasa," jawab Bagas, bahkan saat Aksa belum menyampaikan pertanyaannya. "Aktivitas seperti biasa, kalau—, buat 'itu' boleh kan, Gas?" tanya Aksa ragu, jujur saja dia khawatir
Lara kembali mengeratkan pelukan, menggelengkan kepala berkali-kali menolak kalimat yang terucap dari bibir laki-laki itu. Ayah tidak menjaga Lara, karena fokus dengan penyembuhan ibu, dan Lara sebagai anak perempuan memang harus bisa menggantikan posisi ayahnya menjaga Lira. "Maafkan, Lara ya, Pak. Lara justru jauh, ndak bisa jaga Bapak yang sudah sepuh. Membebankan masa muda Lira untuk ikut menjaga ibu." Tak lagi ada yang bisa menahan, tangis keduanya lepas di tengah malam diantara sepi yang menyengat. Ayah dan anak tengah berjuang melawan kesedihan masing-masing. Keesokan pagi, Lara bangun dengan suasana yang berbeda. Beberapa kursi tambahan sudah disiapkan, ada hiasan bunga asli yang terpajang menghiasi ruang rawat inap Lara. "Hey, kamu tidurnya lelap banget, Yank. Aku nggak tega mau bangunin," sapa Aksa, di sela usaha Lara mendudukan tubuh. Wanita itu masih bingung menatap sekitar, ada beberapa orang yang ia kenal sedang berkumpul di ruang rawat inapnya. "Nggak usah d
"Kenapa Bapak—, melihat Lara seperti itu?" tanya Lara pelan. Matanya yang hendak terpejam kembali terbuka lebar. Lara yang terbangun di sela tidur lelapnya menemukan ayah-nya yang masih terjaga, duduk di kursi penunggu di samping ranjang, menatap Lara tanpa sedikitpun kantuk datang. "Pak ..." "Anak Bapak ayu," puji Pak Darmo. Lara berdecak, tersenyum tipis sambil mengalihkan perhatian. "Anak Bapak ayu, luwes, dan ... apa lagi ya? Bingung Bapak." Laki-laki paruh baya itu tersenyum hambar, bibirnya terangkat naik tetapi berbanding terbalik dengan matanya yang justru meloloskan air mata. "Bapak bangga—, punya anak seperti Lara." "Yaa, namanya anak sendiri, pasti selalu dipuji kan, Pak?" Lara pun sama, matanya membasah, padahal topik utama pembahasan keduanya malam ini sama sekali bukan tentang kesedihan. Sore tadi, ayah Lara sampai di Jakarta dan langsung ke rumah sakit. Laki-laki itu ke datang bersama Lira dan Pakdhe Ratno yang akan menjadi saksi pernikahan. Menemukan Lara
Malam semakin larut, Aksa juga butuh istirahat agar esok tenaganya kembali utuh. Sebelum beranjak pergi, Aksa sempat merasakan gerak tangan Lara yang tiba-tiba. Laki-laki itu menahan langkah, memusatkan perhatiannya ke arah jari Lara yang kali ini masih tak berubah posisi. Cukup lama Aksa diam berdiri kaku, lalu menyerah saat merasa bahwa apa yang baru saja ia lihat hanyalah ilusi. "Aku butuh tidur," gumam Aksa. Laki-laki itu terlampau lelah, dan terlalu berharap banyak Lara segera sadar. Aksa sering bermimpi wanita itu kembali berada di sisinya, mengerucut sebal ke arahnya. Demi Tuhan, menemukan wajah cemberut Lara lebih indah daripada melihat wanita itu yang terbujur lemas tak sadarkan diri. Di ruang suite rawat inap, ada satu ranjang penunggu yang setiap hari Aksa gunakan untuk tidur. Laki-laki itu baru saja menyiapkan selimut sebelum tiba-tiba suara lirih kembali menarik perhatian laki-laki itu ke tengah ruangan. "Bu ..." Suara lirih Lara memanggil ibunya. Aksa berjal
Aku menciptakan objek yang bisa kubenci, kujadikan tempat untuk meluapkan keputusasaan. Aku butuh tempat untuk melepas semua kekecewaanku pada takdir, tetapi tanpa sadar, justru dia-lah tempatku menemukan kehidupan. Seandainya penyesalan bisa mengembalikan waktu, aku pasti banyak-banyak merayu Tuhan untuk kembali membawaku di pertemuan pertama. Tetapi sayang, penyesalan ini sama sekali tidak berarti. Aku menyerah, di penghujung waktu yang sudah berbatas. *** "Bagaimana kabar, Lara?" Seorang wanita paruh baya berdiri di belakang Aksa. "Lara baik, Lara kuat, Ma." Satu tangan wanita itu terulur ke bahu Aksa, menyalurkan kehangatan memberi kekuatan. Wanita itu sadar, apa yang sedang dialami anak laki-lakinya saat ini tidak-lah mudah. Jatuh cinta, lalu kembali diuji setelah bersama. "Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Lara." Aksa tersenyum masam, senyum yang digunakan hanya sebatas untuk menjaga kesopanan. Senyum yang tidak benar-benar ada, karena perasaannya sudah dipenuh
"Lo bohong kan, Gas? Katakan kalau apa yang lo ucapin itu cuma omong kosong," mohon Aksa, tapi Bagas hanya diam. "Lebih baik, gue tau lo deket sama Lara sebagai seorang laki-laki dan perempuan, ketimbang tau kalian dekat karena Lara sebagai pasien dan lo sebagai dokter-nya." Kalimat itu diucapkan dengan bibir bergetar, ada ketakutan yang kentara di setiap kalimat yang keluar dari bibir Aksa. "Sorry, Sa. Gue mengatakan apa yang benar-benar terjadi," tambah laki-laki itu pasti. Dada Aksa sesak, tubuhnya yang kuat sama sekali tak bisa menopang dirinya sendiri. Laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya di kursi penunggu, membelakangi Bagas yang masih terpaku. Cukup lama mata laki-laki itu terpejam kuat, disaat kesedihan terlalu sulit ditekan. Selama ini, Aksa merasa dia-lah satu-satunya laki-laki yang paling mengenal Lara, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, atau mungkin? Dia adalah satu-satunya orang yang tidak dilibatkan dalam masalah yang sedang Lara hada
Tiga hal yang paling ditakuti dalam hidup; rasa sakit, kematian dan kehilangan. Namun, tiga hal itu yang paling banyak ditemui dalam lembaran cerita manusia, tentang rasa sakit dan saling menyakiti, tentang lahir lalu mati, dan— tentang menemukan lalu kehilangan. Tidak ada cara untuk menghindar, kapanpun dan dengan cara bagaimana. Semua berporos pada takdir Tuhan yang terikat di setiap manusia yang lahir dan bernafas di dunia. Di sebuah ruangan putih luas dengan properti mewah yang sama sekali tidak mengurangi ketegangan di dalamnya. Kesedihan teramat mendominasi, dibalut dalam gelapnya malam yang semakin menyengat sepi. Aksa masih bertahan, duduk di kursi penunggu samping bed perawatan Lara, sudah lebih dari dua puluh empat jam wanita itu tidak sadarkan diri, sudah dua kolf transfusi darah yang masuk ke dalam tubuh wanita itu, tetapi Lara tak kunjung membuka mata, masih setia beristirahat dalam tidurnya yang lelap. Selama satu hari yang sama, Aksa tidak meninggalkan kamar rawa