Hari itu Via pulang lebih cepat dari biasa, karena Sean yang meminta. Khawatir melihat wajahnya yang pucat usai rapat berakhir. Via juga merasa tidak sehat sehingga dia menerima. Sesampainya di apartemen, Via berniat untuk masak, tetapi takut Sean memarahi karena bukannya berbaring malah sibuk membuat makan malam sendiri.
Bunyi dering ponsel pertanda pesan baru yang masuk membuat Via mengurungkan diri. Dia tahu pasti Sean yang mengirim. Pria itu bagai cenayang, tahu bagaimana kepala Via bekerja.
Jangan memasak apa-apa. Istirahat saja, akan kubawa makan malam dari luar.
-SR-
Sudut bibir Via mengukir senyum bahagia, mendapat perhatian Sean Reviano bagai dapat merengkuh bulan. Bahagianya bukan kepalang.
Setelah bersiap ritual skin care malam, Via memutuskan untuk tidur lebih dulu. Lama mata Via terpejam saat dia merasa sentuhan hangat dari kecupan bibir Sean di bahu, membuatnya membuka mata sembari mengulum senyum.
“Maaf membuatmu terjaga, tetapi ada baiknya kau makan lebih dulu sebelum lanjut tidur,” bisik Sean dengan menarik Via beranjak dari kasur.
Keduanya duduk di dapur, menikmati makan malam yang Sean beli tadi.
“Kau menginap malam ini?” tanya Via penuh harap, sedikit malu-malu.
Sean mengangguk, tak bersuara karena mulut penuh.
“Aku sangat khawatir, kau tampak pucat pasi. Apakah sudah baikan?”
Jemari Sean menggeser piring di meja. Dia berdiri lalu menghampiri Via yang enggan mengunyah. Makan malamnya juga tidak dilirik, hanya diputar-putar dengan sendok tanpa niat menghabisi.
Duduk keduanya yang tadi saling menghadap kini berubah posisi bersebelahan.
Sean mengambil alih sendok di tangan Via, lalu menyuapkan nasi serta lauk ke depan bibir ranumnya.
“Aaaa …,” gumam Sean hingga Via tertawa.
“Aku bisa makan sendiri,” ucap Via hendak mengambil alih situasi.
Sean mengelak, dan menolak Via yang protes. “Tidak, jika kubiarkan, kau hanya memainkan piring dan sendok. Bisa berjam-jam kita di sini.”
Wajah Via merona, mendapat tatapan hangat yang diberi oleh Sean. Pria itu sungguh perhatian. Dengan menekan malu, Via menerima suapan pertama, kedua, ketiga … hingga kosong tak bersisa.
“Tidurlah, aku akan menyusul setelah menyelesaikan sesuatu,” katanya sembari bangkit dari kursi, membersihkan sisa makan mereka, dan membereskan piring kotor di meja.
Via ikut beranjak dari sana. Melihat punggung Sean yang menghadap padanya, membuat kerongkongan Via terasa tercekat. Menelan rasa malu, Via mendekat dan melingkarkan kedua lengan pada pinggang Sean yang saat ini sedang membilas gelas, sedang kepala Via menyandar pada punggungnya yang bidang. Sesaat, Sean menghentikan aktivitas, tetapi melanjutkan kembali ketika keduanya memilih hanyut dalam diam. Suasana sekitar berubah syahdu, tatkala Sean bersenandung dengan suara rendah yang merdu.
Hidung Via menghirup aroma Sean dalam-dalam hingga mengisi paru-paru, sedang telinga merekam getar suara dan detak jantung Sean yang berirama. Hati Via berbisik sendu, mungkin ini waktu-waktu terakhir mereka bisa nikmati bersama. Sedikit apa pun, akan dia habiskan baik-baik.
……………………………………………………………
Pagi itu Via mendapati sebuket bunga di atas meja kerja. Beberapa rekan wanita berkumpul mengelilingi meja yang dia tempati satu tahun terakhir. Mereka ber oh-ah bersama, membayangkan dimulainya romantisme kantor di Luna Star. Segudang pertanyaan dilemparkan, yang Via jawab dengan senyuman.
“Ya ampun, aku tidak tahu jika kau punya pacar,” ucap Cece sembari memfoto buket di pelukan Via. “Buketnya besar sekali, pasti tidak murah.”
Hati Via membuncah bahagia. Kali pertama dia mendapat buket, dan dari inisial si pemberi, Sean Reviano adalah pelaku utama. Tidak hanya itu, sekotak sarapan juga duduk manis di meja, beserta sekardus kecil cemilan di sebelah.
Takut menjadi bahan gossip, Via membagikan makanan itu pada rekan kerja di sana.
“Ayo beri tahu siapa pacarmu Via, apakah dia karyawan di sini?”
“Tidak, dia bukan siapa-siapa. Kalian juga tidak akan kenal,” jawab Via menutupi rahasia.
Andai hubungannya dan Sean terbuka publik, mungkin dia tidak akan bersilat lidah. Sungguh berat tidak mengakui Sean sebagai kekasih perhatian.
Kejadian pagi itu ternyata belum selesai, siangnya Via mendapat kiriman makanan dari luar. Dengan pandangan bertanya dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Sean. Tidak biasanya, ada dua kejutan dalam satu hari. Di kantor pula. Sungguh, bukan seperti Sean yang biasa.
Via: Ada apa dengan kejutan buket dan makanan hari ini?
Tanya Via sembari pura-pura mengerjakan dokumen di komputer. Tidak lama kemudian, dia mendapat balasan.
Sean: Untuk merayakan satu tahun kita bersama, kau lupa?
Detak jantung Via berdebar-debar. Rona merah menjelar dari pipi hingga ke telinga.
Bagaimana bisa dia lupa hari penting seperti ini, bahkan tidak mengira Sean yang mengingat lebih dulu.
Via: Maaf, aku benar-benar lupa. Aku tidak menyiapkan kado, kau mau apa?
Sean: Tidak perlu. Kehadiranmu cukup.
Rasanya Via ingin melompat-lompat girang mendapat pesan Sean yang tanpa malu menggoda. Biasanya dia membalas tanpa memedulikan rayuan atau kata sejenis. Sungguh tidak seperti Sean yang biasa, membuat Via benar-benar bertanya.
“Via,” panggil Keiza yang datang dari arah luar.
“Ya?” jawab Via sembari menyembunyikan ponsel ke dalam saku celana.
“Anak-anak mengajak kita bergabung ke bar, kau mau ikut?”
Beberapa saat Via menimbang-nimbang, tetapi dia tidak ada janji dengan Sean hari ini. Biasanya Sean akan menghubungi bila mereka hendak bertemu di luar. Tetap saja, Via harus bertanya pada Sean dulu.
“Ehm … aku pikirkan dahulu, nanti aku kabari lagi,” jawab Via tidak langsung memastikan.
Keiza mengangguk dan keluar dari sana. Melihat rekan kerjanya menghilang dari pandangan, Via pun membalas pesan Sean sekaligus bertanya.
Via: Ucapanmu membuatku bahagia, terima kasih. Bila ada yang kau mau, katakan saja.
Sejenak Via menjeda ketikan di layar, menyusun kata untuk menanyakan adakah acara berdua.
Via: Oh iya, rekan kerja yang lain mengundangku ke bar. Apa kita ada rencana malam ini? Hanya memastikan apakah menolak atau menerima.
Tidak lama, dia mendapat balasan.
Sean: Pergilah, aku juga ada rapat dengan klien.
Entah mengapa Via merasa ada rasa kecewa, tetapi dia tahu tidak boleh serakah. Baru saja mendapat buket bunga dan kiriman makan siang, tidak seharusnya dia menuntut perhatian Sean juga. Pria itu memiliki kehidupan berbeda, ada perusahan yang bergantung pada bahunya.
………………………………………………………………..
Bar yang mereka kunjungi sangatlah ramai, membuat Via sedikit tidak nyaman. Dia hendak menghubungi Sean entah sudah ke berapa kali, tetapi jemarinya menggantung di udara tatkala menatap layar ponsel yang gelap.
“Sudah, pacarmu itu tidak akan marah. Lagi pula kita semua di sini kan hanya wanita,” goda Altha mendapati Via yang gelisah.
“Benar, pacarku juga tidak keberatan selama jalan dengan kita-kita,” tambah Cece yang asyik bermain dengan ponsel di tangan.
Melihat rekan yang lain gerah dengan gesture gelisahnya, Via memutuskan untuk lupa dan menikmati saja waktu yang ada. Bahkan, Sean tidak lagi mengirim pesan atau menghubungi, jadi rasanya tidak berdosa jika dia ambil bagian bersenang-senang.
Baru saja mereka semua pergi ke lantai dansa, saat Via merasakan tatapan panas berasal dari meja bar. Dia memutar kepala delapan puluh derajat, dan matanya bertabrak pandang dengan manik mata yang menggetarkan jiwa. Ada senyum samar di balik wajah rupawan Sean dari balik gelas di bibir sensualnya.
Tanpa kendali, Via membalas. Beberapa lama keduanya mengunci mata. Seolah hanya mereka saja di sana. Hiruk-pikuk sekitar musnah seketika, menyisakan suasana syahdu yang dibagi berdua.
“Bukankah itu Pak CEO,” ucap Cece dengan suara keras menyaingi music DJ.Beberapa kepala menoleh ke arah Sean yang duduk di bar bersama beberapa pria-pria asing.Altha membenarkan ketika dia melihat wajah-wajah familiar yang bersama CEO mereka.“Beliau ada rapat di salah satu tempat privat tak jauh dari sini, sepertinya mereka pindah ke bar untuk merayakan sesuatu,” jelas Altha menjawab beberapa wajah bertanya para rekan kerja.
Mata Via terbuka saat mendengar jam alaram berbunyi, dia meraba ke sisi sebelah dan merasa kecewa mendapati ranjang yang dingin pertanda Sean sudah pergi sejak tadi. Setelah membisukan alaram, Via pun duduk dengan posisi kepala menyandar sedang mata menatap nanar pada sisi ranjang sebelah kanan yang kosong.Jemari Via meraba kasur dimana biasanya Sean berbaring. Dia ingin pria itu berada di samping dan memeluk tubuhnya begitu terjaga. Jarang sekali mereka bangun bersama, biasanya Sean yang lebih dulu beranjak, meninggalkan Via sendiri.“Kapan kau benar-benar melihatku, tidak hanya sebagai wanita simpanan?” bisik Via dengan napas tercekat menahan tangis.Dia ingin sekali saja Sean mengakui keberadaannya
Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnya memilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.“Dari mana
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap