Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.
Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.
Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
“Via, oh … Via,” isak Disya sembari mengelus wajah sahabatnya yang sembab.
Mata Via menatap kosong ke tembok, air matanya kering, hanya ada sisa-sisa jejak tangis tadi.
“Dia tidak menginginkanku,” bisik Via dengan suara serak dan rendah. “Dia tidak menginginkan bayi ini.”
“Oh .. Via.” Disya tidak tahu harus mengatakan apa, hanya bisa ikut merasakan penderitaan sahabatnya. Lama keduanya duduk di lantai, tenggelam dalam kesedihan yang sama.
“Apa yang harus kulakukan?”
Pertanyaan tersebut lebih terdengar seperti orang putus asa bukan mencari jawaban.
“Bagaimana kalau kita liburan saja, dan menenangkan diri jauh dari kota,” kata Disya berusaha terdengar tegar. Dia menarik Via untuk berdiri dari tempat semula dan membawa gadis itu menuju kamar.
Via berbaring di atas kasur, dan membiarkan Disya melakukan apa saja tanpa sekali pun menoleh pada sahabatnya itu.
Disya hendak menelepon nomor Sean yang tertera di ponsel, sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak melakukannya karena hanya akan menambah lebar luka saja. Sehingga tanpa sadar dia mematikan ponsel tersebut lalu menyimpannya di laci.
Disya memutuskan untuk bergabung di kasur bersama Via dan memeluk sahabatnya yang dalam keadaan seperti jiwa dan raga terpisah. Keduanya diam tanpa sedikit pun suara hingga tertidur demi menutup hari itu.
………………………………………………………….
Via memasuki ruang atasannya di Luna Star. Pria di hadapannya menatap Via dengan tatapan bingung ketika gadis itu menyerahkan surat pengunduran diri secara tiba-tiba.
“Kau ingin keluar? Apa kau yakin?” tanya Hadley.
Via mengulas senyum tipis, senyuman yang tidak sampai ke mata. Wajah gadis itu terlihat sembab, walau sudah ditutupi make up, tetap saja jelas terlihat. Apa lagi gesture tubuhnya yang tidak seceria biasa.
“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Maaf mengundurkan diri tiba-tiba, tetapi ini hanya alasan pribadi bukan sesuatu yang berasal dari perusahaan,” ucap Via dengan suara rendah sedikit tertunduk.
Hadley menghela napas dengan bahu sedikit menekuk ke bawah. Dia pun mengangguk tanpa bisa menahan Via yang tekatnya bulat.
“Kuharap kau bisa menunggu sampai CEO pulang, tetapi sepertinya aku tidak bisa menahanmu lebih lama lagi. Jadi, baiklah. Lapor ke HRD sebelum membereskan barang-barangmu. Hand over semua dokumen dan pekerjaanmu pada Keiza sebelum pergi,” jelas Hadley sembari mengizinkan Via untuk keluar ruangan.
Gadis itu berterima kasih sebelum beranjak pergi.
Saat membereskan barang-barang di meja kerja, Keiza berlari mendekat dan menatap Via bingung sedikit kecewa.
“Ada apa? Mengapa kau keluar?” tanya Keiza dengan nada sedikit panik.
“Alasan pribadi yang tidak bisa kujelaskan,” jawab Via masih sibuk memasukkan barang-barang yang bukan milik hotel ke dalam kardus.
“Lalu bagaimana denganku? Tanpa dirimu aku tidak bisa melakukan apa-apa.” Keiza menahan tangan Via yang hendak memasukkan figura ke kotak.
“Via, jangan seperti ini. Kumohon jangan pergi, siapa lagi yang akan menemaniku makan siang.” Tanpa malu Keiza menangis sembari menggengam lengan Via yang tergantung di udara.
Rasa sedih meliputi Via. Tadinya dia pikir tidak lagi ada emosi dalam jiwanya yang berantakan menjadi kepingan, tetapi ternyata dia masih memiliki simpati dan kesedihan.
“Maaf kan aku,” bisik Via dengan sebutir air mata luruh di pipi kiri. Dia menaruh figuranya dan menarik Keiza dalam pelukan. Berpikir bahwa mungkin ini adalah kali terakhir dia melihat rekan kerja yang benar-benar peduli padanya. “Tapi aku tidak bisa berada di Hotel ini lagi, kau harus bisa sendiri. Aku yakin karirmu akan cemerlang nanti, bahkan kau bisa mengambil posisiku.”
Pelukan Keiza semakin erat. Kedunya hanya berpelukan sebentar sebelum akhirnya Via memutuskan untuk sudah dan pamit keluar pada rekannya yang lain dengan mata berkaca-kaca meninggalkan Luna Star. Di luar gedung, dia menatap bangunan tinggi menjulang tersebut. Mengingat kembali masa-masa awal kepolosannya. Betapa naïf dia bermimpi bisa membuat Sean Reviano jatuh cinta dan menjadikannya prioritas.
Pria itu tidak beda dengan pria lain yang hanya mencari tubuh hangat sebagai teman tidur. Mulutnya teramat manis hingga Via tertipu kehangatan yang dia tunjukan. Semua itu tidak lebih adalah lakon yang pria itu jalankan sebagai aktor berbakat, hingga Via tanpa sadar menyerahkan hatinya utuh.
Via menunduk berjalan meninggalkan Luna Star, berharap ini kali terakhir dia mendengar nama Sean Reviano, lalu menghapus ingatan pria itu dari kepala dan hatinya yang masih tidak sepaham.
…………………………………..
Disya membantu Via membereskan baju-bajunya ke dalam koper. Mereka bekerja dalam hening sembari merapikan peralatan pribadi Via yang tidak ingin dia tinggalkan. Dua jam setelahnya tidak ada satu pun jejak barang-barang Via pernah mengisi apartemen mewah tersebut. Semuanya terlihat rapi sama seperti pertama kali Via menginjakan kaki di sana.
Ingatan Via membawa dia pada kenangan saat awal Sean membawanya ke sana sembari menciuminya tanpa henti seolah dia tidak pernah puas menyentuh. Tangannya yang hangat tidak pernah jauh dari tubuh Via, bahkan sengaja Sean berlama-lama di apartemen sebelum akhirnya berangkat kerja.
Begitu banyak kenangan manis di apartemen yang bukanlah milik Via pribadi, namun kini apartemen itu terlihat suram setelah diisi luka semalam. Via menggenggam erat gagang pintu sebelum keluar. Suara pintu tertutup seakan mengakhiri hubungannya dengan Sean dan menutup rapat kenangan mereka dalam ruangan yang kini terasa asing bagi Via. Dengan langkah berat sembari menarik napas, Via merelakan semua, melepas sesuatu yang bukanlah miliknya.
Seperti yang Sean katakan saat mengajaknya pindak ke apartemen.
“Tempat ini adalah rumah sementara untukmu, tinggallah di sini jadi aku bisa mengunjungi kapan saja.”
Ya, apartemen itu hanya sementara. Kini Via mengerti maksud Sean. Sebelumnya dia begitu tuli, tidak sekali pun mencerna perkataan pria itu. Merasa diri bagai Cinderella. Kenyataannya dia tidak lebih dari wanita simpanan. Betapa naïf.
Disya menarik tangan Via yang masih mematung di depan pintu apartemen, memandanginya penuh keengganan.
“Ayo Via, jemputan sudah tiba,” ucap Disya hati-hati sembari menarik sahabatnya menjauh dari tempat penuh kenangan itu.
Via berjalan auto pilot, dengan kepala penuh ingatan yang diputar berulang, walau pada akhirnya dia mengikuti Disya yang menuntunnya hingga ke lift, meninggalkan semua hal yang dia pikir adalah masa depan semu.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet. Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam.“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati.“M
Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu
Musim dingin berlalu sangat cepat. Via bekerja di penginapan Cherry Blossom hampir dua minggu. Tidak terasa dia dapat beradaptasi di Moines dengan keramah-tamahan penduduk sekitar.Via merasa lega karena di Moines dia tidak mendengar berita tentang Sean, bahkan orang-orang di desa itu tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bagi mereka selebriti hanya orang asing yang tidak pantas mendapat perhatian berlebih, tetapi Disya memiliki pikiran berbeda. Sahabatnya itu sering menghubungi Via dan terkadang mengangkat topik tentang Sean yang tentu saja tidak Via dengarkan.“Aku sudah bilang padamu untuk tidak mendiskusikan pria itu,” kata Via pada Disya yang di seberang sambungan.“Tapi kau juga harus tahu Via, pria ini adalah ayah dari anakmu. Jika saja kau tidak menahanku untuk menampar pria itu, Sean pasti akan kupermalukan di muka umum. Dia pantas mendapatkannya,” balas Disya yang terdengar marah.Via mengurut pelipisnya sembari menghe
Undangan berwarna gold yang sengaja Evelyn tinggalkan sebagai souvenir tergeletak di atas meja tanpa sekali pun Via sentuh. Mata Via memandang nanar setiap ukiran nama Sean di sana hingga hatinya nyeri melihat nama Evelyn Madini bersanding dalam satu frame yang sama.Sebulir air mata jatuh di pangkuan Via. Dengan wajah tertunduk, dia tersedu.“Ibu …,” tangis Via tidak tahu hendak memanggil siapa.Dia butuh sesuatu untuk menguatkan diri, dan hanya Ibu serta bayi dalam kandungan yang berada dalam pikiran.Menggugurkan bayi itu sama saja dengan membunuh Via, tetapi mempertahankan akan sama sulitnya. Sean dan Evelyn berasal dari keluarga kaya, hukum lebih berpihak pada mereka. Apalah Via yang hanya orang biasa, dengan satu cuitan saja di Ingram dapat menjadikannya sampah di masyarakat. Orang-orang akan berpikir bahwa dia penghancur hubungan Sean dan Evelyn. Mudah saja bagi Evelyn menghancurkan reputasi dan kehidupan Via hanya dengan ketikan