Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.
“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.
“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet. Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam.“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati.“M
Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu
Musim dingin berlalu sangat cepat. Via bekerja di penginapan Cherry Blossom hampir dua minggu. Tidak terasa dia dapat beradaptasi di Moines dengan keramah-tamahan penduduk sekitar.Via merasa lega karena di Moines dia tidak mendengar berita tentang Sean, bahkan orang-orang di desa itu tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bagi mereka selebriti hanya orang asing yang tidak pantas mendapat perhatian berlebih, tetapi Disya memiliki pikiran berbeda. Sahabatnya itu sering menghubungi Via dan terkadang mengangkat topik tentang Sean yang tentu saja tidak Via dengarkan.“Aku sudah bilang padamu untuk tidak mendiskusikan pria itu,” kata Via pada Disya yang di seberang sambungan.“Tapi kau juga harus tahu Via, pria ini adalah ayah dari anakmu. Jika saja kau tidak menahanku untuk menampar pria itu, Sean pasti akan kupermalukan di muka umum. Dia pantas mendapatkannya,” balas Disya yang terdengar marah.Via mengurut pelipisnya sembari menghe
Undangan berwarna gold yang sengaja Evelyn tinggalkan sebagai souvenir tergeletak di atas meja tanpa sekali pun Via sentuh. Mata Via memandang nanar setiap ukiran nama Sean di sana hingga hatinya nyeri melihat nama Evelyn Madini bersanding dalam satu frame yang sama.Sebulir air mata jatuh di pangkuan Via. Dengan wajah tertunduk, dia tersedu.“Ibu …,” tangis Via tidak tahu hendak memanggil siapa.Dia butuh sesuatu untuk menguatkan diri, dan hanya Ibu serta bayi dalam kandungan yang berada dalam pikiran.Menggugurkan bayi itu sama saja dengan membunuh Via, tetapi mempertahankan akan sama sulitnya. Sean dan Evelyn berasal dari keluarga kaya, hukum lebih berpihak pada mereka. Apalah Via yang hanya orang biasa, dengan satu cuitan saja di Ingram dapat menjadikannya sampah di masyarakat. Orang-orang akan berpikir bahwa dia penghancur hubungan Sean dan Evelyn. Mudah saja bagi Evelyn menghancurkan reputasi dan kehidupan Via hanya dengan ketikan
Willow terperanjat dari sofa saat melihat wajah Via yang pucat.“Via! Astaga, apa udara di luar dingin sekali? Kau tampak tidak sehat,” ucap Willow yang langsung menyongsong Via ke depan pintu.Tubuh Via lunglai hingga Willow menyangga Via agar tetap berdiri dengan membahu gadis itu menuju kamar dan membaringkannya.“Apa kau mau kubuatkan teh?” tanya Willow khawatir.Via hanya bergumam tanpa mengatakan apa-apa.“Tunggu sebentar,” kata Willow, beranjak menuju dapur.Dia menghubungi Asher begitu sampai di depan pantry.“Ada apa?” tanya Asher dari seberang.“Sepertinya Via sakit, apa dokter Ares bisa datang berkunjung ke sini?”Terdengar suara kunci dan pintu terbuka dari seberang sambungan begitu Asher mendengar ada kepanikan dari suara sepupunya.“Aku akan ke sana, tunggulah,” ucap Asher terdengar buru-buru. “Akan kubawa Ares, kurasa shif
“Asher menyuruhmu untuk beristirahat di rumah. Kau tidak perlu ke Cherry Blossom beberapa hari,” kata Willow yang menyuguhkan makanan di sebelah ranjang Via.“Aku sudah baikan, Willow. Diam saja akan membuatku bosan,” tolak Via. Dia hendak beranjak, namun Willow menahannya.“Tidak … tidak … kau istirahatlah, banyak hal yang bisa dilakukan di rumah. Misalnya saja merajut,” saran Willow.Via menghela napas, dan melirik jam di atas nakas. Hari masih terlalu pagi. Bahkan matahari baru saja terbit dari peraduan.Melihat kekukuhan Willow yang terus menahan Via, akhirnya wanita itu pun mengalah.“Aku akan menemanimu sampai siang, karena ada sesuatu yang harus kuurus hari ini,” ujar Willow tampak enggan meninggalkan Via sendiri.Via mengulas senyum dan menepuk bahu Willow pelan. “Pergilah, aku sudah dewasa, kau tidak perlu khawatir.”Keduanya pun mengakhiri pembicaraan
Via menatap kartu nama di tangan setelah kepergian Willow yang memakai mustang hendak ke desa.Ragu-ragu Via menekan nomor Daren Osbert, menghubungi pria itu. Setelah berkutat dengan keputusannya, Via pun memutuskan untuk menekan tombol panggil.“Halo,” sapa pria itu dari seberang.Untuk sesaat Via diam sembari menggigit bibir.Di ujung sambungan, Daren menyadari bahwa Via-lah yang menghubungi tetapi dia menunggu wanita itu bersuara lebih dulu.Via berdehem dan menyapa Daren yang sejak tadi hanya diam.“Ini aku,” kata Via membuka percakapan. “Kau bisa datang ke sini.”“Baiklah,” jawab Daren dan memutus sambungan mereka.Setengah jam menunggu, Via pun melihat sebuah mobil memasuki halaman. Dia menanti dengan cemas saat Daren keluar dari mobil dan berjalan menuju teras.“Masuklah,” kata Via mempersilahkan.Keduanya kembali duduk berhadapan dengan posisi sep