Willow terperanjat dari sofa saat melihat wajah Via yang pucat.
“Via! Astaga, apa udara di luar dingin sekali? Kau tampak tidak sehat,” ucap Willow yang langsung menyongsong Via ke depan pintu.
Tubuh Via lunglai hingga Willow menyangga Via agar tetap berdiri dengan membahu gadis itu menuju kamar dan membaringkannya.
“Apa kau mau kubuatkan teh?” tanya Willow khawatir.
Via hanya bergumam tanpa mengatakan apa-apa.
“Tunggu sebentar,” kata Willow, beranjak menuju dapur.
Dia menghubungi Asher begitu sampai di depan pantry.
“Ada apa?” tanya Asher dari seberang.
“Sepertinya Via sakit, apa dokter Ares bisa datang berkunjung ke sini?”
Terdengar suara kunci dan pintu terbuka dari seberang sambungan begitu Asher mendengar ada kepanikan dari suara sepupunya.
“Aku akan ke sana, tunggulah,” ucap Asher terdengar buru-buru. “Akan kubawa Ares, kurasa shif
“Asher menyuruhmu untuk beristirahat di rumah. Kau tidak perlu ke Cherry Blossom beberapa hari,” kata Willow yang menyuguhkan makanan di sebelah ranjang Via.“Aku sudah baikan, Willow. Diam saja akan membuatku bosan,” tolak Via. Dia hendak beranjak, namun Willow menahannya.“Tidak … tidak … kau istirahatlah, banyak hal yang bisa dilakukan di rumah. Misalnya saja merajut,” saran Willow.Via menghela napas, dan melirik jam di atas nakas. Hari masih terlalu pagi. Bahkan matahari baru saja terbit dari peraduan.Melihat kekukuhan Willow yang terus menahan Via, akhirnya wanita itu pun mengalah.“Aku akan menemanimu sampai siang, karena ada sesuatu yang harus kuurus hari ini,” ujar Willow tampak enggan meninggalkan Via sendiri.Via mengulas senyum dan menepuk bahu Willow pelan. “Pergilah, aku sudah dewasa, kau tidak perlu khawatir.”Keduanya pun mengakhiri pembicaraan
Via menatap kartu nama di tangan setelah kepergian Willow yang memakai mustang hendak ke desa.Ragu-ragu Via menekan nomor Daren Osbert, menghubungi pria itu. Setelah berkutat dengan keputusannya, Via pun memutuskan untuk menekan tombol panggil.“Halo,” sapa pria itu dari seberang.Untuk sesaat Via diam sembari menggigit bibir.Di ujung sambungan, Daren menyadari bahwa Via-lah yang menghubungi tetapi dia menunggu wanita itu bersuara lebih dulu.Via berdehem dan menyapa Daren yang sejak tadi hanya diam.“Ini aku,” kata Via membuka percakapan. “Kau bisa datang ke sini.”“Baiklah,” jawab Daren dan memutus sambungan mereka.Setengah jam menunggu, Via pun melihat sebuah mobil memasuki halaman. Dia menanti dengan cemas saat Daren keluar dari mobil dan berjalan menuju teras.“Masuklah,” kata Via mempersilahkan.Keduanya kembali duduk berhadapan dengan posisi sep
Sean memandang diri di depan cermin. Dia mengenakan baju jas hitam slim fit yang tampak sempurna membalut tubuh. Pandangan Sean jatuh pada wajah yang baginya terasa asing. Bahkan mata yang memantul di balik cermin terlihat jauh dari raga.“Kau sangat tampan, sahabatku,” kata Daren yang masuk ke dalam kamar Sean.Pesta pertunangan Sean dan Evelyn diadakan di salah satu property keluarga Reviano, tidak jauh dari New York.Sean berbalik menatap sahabatnya.“Bisakah kau membuatku tidak sadarkan diri sekarang?” tanya Sean dengan wajah datar.Awalnya Daren tertawa, mengira Sean bercanda, tetapi mulutnya mengatup ketika menyadari tidak ada perubahan ekspresi di wajah Sean yang menatap kosong ke depan.“Kau tidak bercanda,” gumam Daren. Pria itu masuk ke dalam ruangan dan menatap Sean khawatir. “Menikahi Evelyn tidak seburuk itu, Sean.”Melihat wajah Sean yang tanpa senyuman, hati Daren tercubit
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa Via sudah berada di Moines lebih dari satu bulan. Saat ini usia kandungannya sudah memasuki tiga bulan. Asher dan Willow meminta Via untuk memeriksakan kehamilan ke dokter begitu masuk ke-trimester ke dua.Siang itu, mustang yang Via kendarai berhenti di depan parkiran supermarket Moines. Terdapat dua supermarket di desa tersebut, tetapi hanya tempat ini yang memiliki persediaan paling lengkap sehingga Willow mengajak Via ke sana.“Apa kau sudah menghubungi dokter yang direkomendasikan Dokter Ares?” tanya Willow begitu mereka keluar dari mobil.Via menggelengkan kepala.“Bagaimana kalau minggu depan? Aku yang akan membuatkan janji dengan dokter itu,” kata Willow menyarankan.“Baiklah, aku serahkan padamu,” jawab Via setuju, dia bahkan terlihat tidak begitu antusias, membuat Willow merasa sedih.Kedua wanita itu keluar dari mobil dan memasuki supermarket lalu memilih
Seorang papparazi berada di motel yang dulu ditempati oleh Evelyn. Papparazi itu menunjukan hasil tangkapan kamera pada rekannya melalui sebuah pembicaraan di telepon.“Lihat-lah, aku tidak bohong saat melihat ada kejanggalan dengan pertunangan keduanya,” jelas Hilda, seorang papparazi yang mendedikasikan diri untuk meliput semua kegiatan Evelyn Madini.“Itu hanya pertemuan biasa, kedua wanita itu mungkin saja hanya teman lama,” kata seorang pria dari seberang sambungan.Hilda mendengus kesal dan meminta rekannya untuk kembali melihat foto-foto yang dia kirim.“Coba lihat baik-baik, jelas sekali keduanya sedang membicarakan sebuah kontrak perjanjian tutup mulut, dan aneh sekali bila Evelyn memberikan Check berisi jutaan dollar pada wanita ini.”Hilda melihat kembali foto-foto yang dia dapat beberapa waktu lalu. Untungnya Cherry Blossom memiliki dinding transparan yang terbuat dari kaca sehingga dia bisa leluasa m
Bibi Azura membutuhkan perawatan intensif selama seminggu, membuat Via tidak bisa kembali ke Moines secepatnya.“Maaf kan aku, Bibi belum bisa pulang dan tidak ada yang merawat. Sepertinya aku tidak lagi bisa bekerja di Cherry Blossom,” kata Via dengan nada meminta maaf.“Jangan berkata seperti itu. Kau tidak salah, Via. Kembalilah ke Cherry Blossom, akan selalu ada tempat untukmu di sini,” jelas Asher yang mendengarkan Via dari seberang sambungan.Melihat Bibi Azura dengan mesin penunjang kehidupan, Via pun menelan saliva berat.“Terima kasih,” bisiknya parau.Setelah sambungan terputus, Via diam di kursi sembari memperhatikan dada Bibi Azura yang naik turun, menandakan ada kehidupan di tubuh renta wanita itu. Rasa bersalah merayap ke hati Via, merasa tidak berbakti pada wanita yang membesarkan sejak dia kecil.“Maaf kan aku Bibi,” gumam Via dengan suara serak. Dia mengelus lengan Bibinya yang
Sean menatap pemandangan di luar jendela yang membingkai ruang kerja. Postur tubuhnya terlihat kaku dengan mata gelap bagai badai emosi menyelimuti wajah yang rupawan. Satu tangannya menggenggam ponsel sedang tangan yang bebas tersembunyi di balik saku. Tampak raut tidak sabar berkejaran di sekitar aura pria itu.Ponsel dalam genggaman Sean berdering. Dia menunggu hingga dering ke-tiga sebelum menjawab dan menyapa pria di seberang sambungan.“Ah, Mr. Reviano yang terhormat!” sapa suara yang berasal dari ponsel dalam genggaman. “Ada apa kau menghubungi? Tidak biasanya,” sindir suara tersebut.Sean menahan gemeretak gigi. Ini-lah alasan mengapa dia tidak ingin berurusan dengan manusia kebal hukum. Orang-orang itu selalu merasa lebih tinggi derajatnya dibanding mereka yang patuh peraturan dan membayar pajak teratur.“Aku menginginkan bantuanmu,” kata Sean dengan intonasi menahan marah yang dipupuk sejak pembicaraan dengan
Beberapa Hari lalu …Sean berdiri di depan sebuah penginapan dengan papan besar di atasnya bertuliskan Cherry Blossom. Dari tempat Sean berdiri, dia bisa melihat ke dalam ruang tunggu tempat itu. Sekali lagi Sean melihat alamat yang dikirim si pria misterius. Benar tertulis nama Cherry Blossom beserta nama jalan dan denah lokasi, sesuai dengan tempat Sean berdiri saat ini.Dia berjalan masuk ke dalam. Terdengar suara lonceng dari atas pintu begitu kakinya melangkah memasuki lobby. Seorang pria muda mengangkat kepala saat mendengar suara nyaring lonceng yang berbunyi, pertanda pengunjung melewati pintu.“Selamat datang di Cherry Blossom,” ucap pria itu dengan wajah tersenyum menyambut kedatangan Sean.Sebuah rasa asing mencubit hati Sean ketika melihat pria tampan yang berdiri di hadapan. Sebuah bayangan Via selalu bersama pria itu selama ini, membuat wajah Sean datar seketika. Tatapan tajam tidak lepas dilemparkan pada pria itu, menimbu