Via menatap kartu nama di tangan setelah kepergian Willow yang memakai mustang hendak ke desa.
Ragu-ragu Via menekan nomor Daren Osbert, menghubungi pria itu. Setelah berkutat dengan keputusannya, Via pun memutuskan untuk menekan tombol panggil.
“Halo,” sapa pria itu dari seberang.
Untuk sesaat Via diam sembari menggigit bibir.
Di ujung sambungan, Daren menyadari bahwa Via-lah yang menghubungi tetapi dia menunggu wanita itu bersuara lebih dulu.
Via berdehem dan menyapa Daren yang sejak tadi hanya diam.
“Ini aku,” kata Via membuka percakapan. “Kau bisa datang ke sini.”
“Baiklah,” jawab Daren dan memutus sambungan mereka.
Setengah jam menunggu, Via pun melihat sebuah mobil memasuki halaman. Dia menanti dengan cemas saat Daren keluar dari mobil dan berjalan menuju teras.
“Masuklah,” kata Via mempersilahkan.
Keduanya kembali duduk berhadapan dengan posisi sep
Sean memandang diri di depan cermin. Dia mengenakan baju jas hitam slim fit yang tampak sempurna membalut tubuh. Pandangan Sean jatuh pada wajah yang baginya terasa asing. Bahkan mata yang memantul di balik cermin terlihat jauh dari raga.“Kau sangat tampan, sahabatku,” kata Daren yang masuk ke dalam kamar Sean.Pesta pertunangan Sean dan Evelyn diadakan di salah satu property keluarga Reviano, tidak jauh dari New York.Sean berbalik menatap sahabatnya.“Bisakah kau membuatku tidak sadarkan diri sekarang?” tanya Sean dengan wajah datar.Awalnya Daren tertawa, mengira Sean bercanda, tetapi mulutnya mengatup ketika menyadari tidak ada perubahan ekspresi di wajah Sean yang menatap kosong ke depan.“Kau tidak bercanda,” gumam Daren. Pria itu masuk ke dalam ruangan dan menatap Sean khawatir. “Menikahi Evelyn tidak seburuk itu, Sean.”Melihat wajah Sean yang tanpa senyuman, hati Daren tercubit
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa Via sudah berada di Moines lebih dari satu bulan. Saat ini usia kandungannya sudah memasuki tiga bulan. Asher dan Willow meminta Via untuk memeriksakan kehamilan ke dokter begitu masuk ke-trimester ke dua.Siang itu, mustang yang Via kendarai berhenti di depan parkiran supermarket Moines. Terdapat dua supermarket di desa tersebut, tetapi hanya tempat ini yang memiliki persediaan paling lengkap sehingga Willow mengajak Via ke sana.“Apa kau sudah menghubungi dokter yang direkomendasikan Dokter Ares?” tanya Willow begitu mereka keluar dari mobil.Via menggelengkan kepala.“Bagaimana kalau minggu depan? Aku yang akan membuatkan janji dengan dokter itu,” kata Willow menyarankan.“Baiklah, aku serahkan padamu,” jawab Via setuju, dia bahkan terlihat tidak begitu antusias, membuat Willow merasa sedih.Kedua wanita itu keluar dari mobil dan memasuki supermarket lalu memilih
Seorang papparazi berada di motel yang dulu ditempati oleh Evelyn. Papparazi itu menunjukan hasil tangkapan kamera pada rekannya melalui sebuah pembicaraan di telepon.“Lihat-lah, aku tidak bohong saat melihat ada kejanggalan dengan pertunangan keduanya,” jelas Hilda, seorang papparazi yang mendedikasikan diri untuk meliput semua kegiatan Evelyn Madini.“Itu hanya pertemuan biasa, kedua wanita itu mungkin saja hanya teman lama,” kata seorang pria dari seberang sambungan.Hilda mendengus kesal dan meminta rekannya untuk kembali melihat foto-foto yang dia kirim.“Coba lihat baik-baik, jelas sekali keduanya sedang membicarakan sebuah kontrak perjanjian tutup mulut, dan aneh sekali bila Evelyn memberikan Check berisi jutaan dollar pada wanita ini.”Hilda melihat kembali foto-foto yang dia dapat beberapa waktu lalu. Untungnya Cherry Blossom memiliki dinding transparan yang terbuat dari kaca sehingga dia bisa leluasa m
Bibi Azura membutuhkan perawatan intensif selama seminggu, membuat Via tidak bisa kembali ke Moines secepatnya.“Maaf kan aku, Bibi belum bisa pulang dan tidak ada yang merawat. Sepertinya aku tidak lagi bisa bekerja di Cherry Blossom,” kata Via dengan nada meminta maaf.“Jangan berkata seperti itu. Kau tidak salah, Via. Kembalilah ke Cherry Blossom, akan selalu ada tempat untukmu di sini,” jelas Asher yang mendengarkan Via dari seberang sambungan.Melihat Bibi Azura dengan mesin penunjang kehidupan, Via pun menelan saliva berat.“Terima kasih,” bisiknya parau.Setelah sambungan terputus, Via diam di kursi sembari memperhatikan dada Bibi Azura yang naik turun, menandakan ada kehidupan di tubuh renta wanita itu. Rasa bersalah merayap ke hati Via, merasa tidak berbakti pada wanita yang membesarkan sejak dia kecil.“Maaf kan aku Bibi,” gumam Via dengan suara serak. Dia mengelus lengan Bibinya yang
Sean menatap pemandangan di luar jendela yang membingkai ruang kerja. Postur tubuhnya terlihat kaku dengan mata gelap bagai badai emosi menyelimuti wajah yang rupawan. Satu tangannya menggenggam ponsel sedang tangan yang bebas tersembunyi di balik saku. Tampak raut tidak sabar berkejaran di sekitar aura pria itu.Ponsel dalam genggaman Sean berdering. Dia menunggu hingga dering ke-tiga sebelum menjawab dan menyapa pria di seberang sambungan.“Ah, Mr. Reviano yang terhormat!” sapa suara yang berasal dari ponsel dalam genggaman. “Ada apa kau menghubungi? Tidak biasanya,” sindir suara tersebut.Sean menahan gemeretak gigi. Ini-lah alasan mengapa dia tidak ingin berurusan dengan manusia kebal hukum. Orang-orang itu selalu merasa lebih tinggi derajatnya dibanding mereka yang patuh peraturan dan membayar pajak teratur.“Aku menginginkan bantuanmu,” kata Sean dengan intonasi menahan marah yang dipupuk sejak pembicaraan dengan
Beberapa Hari lalu …Sean berdiri di depan sebuah penginapan dengan papan besar di atasnya bertuliskan Cherry Blossom. Dari tempat Sean berdiri, dia bisa melihat ke dalam ruang tunggu tempat itu. Sekali lagi Sean melihat alamat yang dikirim si pria misterius. Benar tertulis nama Cherry Blossom beserta nama jalan dan denah lokasi, sesuai dengan tempat Sean berdiri saat ini.Dia berjalan masuk ke dalam. Terdengar suara lonceng dari atas pintu begitu kakinya melangkah memasuki lobby. Seorang pria muda mengangkat kepala saat mendengar suara nyaring lonceng yang berbunyi, pertanda pengunjung melewati pintu.“Selamat datang di Cherry Blossom,” ucap pria itu dengan wajah tersenyum menyambut kedatangan Sean.Sebuah rasa asing mencubit hati Sean ketika melihat pria tampan yang berdiri di hadapan. Sebuah bayangan Via selalu bersama pria itu selama ini, membuat wajah Sean datar seketika. Tatapan tajam tidak lepas dilemparkan pada pria itu, menimbu
Beberapa Hari lalu …Daren baru saja keluar dari ruangan saat dia melihat Sean yang berjalan terburu-buru, dan berhenti di depannya begitu mereka bersisian jalan.“Aku tidak bisa menghadiri rapat, ada hal yang harus kukerjakan di luar. Kutitipkan semua jadwal padamu, Altha akan memberimu jadwal dan detail rapat yang kutinggalkan,” jelas Sean terdengar tergesa, membuat Daren melihat curiga, karena sahabatnya tidak pernah bersikap seperti ini.“Ada apa?” tanya Daren dengan nada khawatir.Sean hendak mengatakan sesuatu tetapi bibirnya mengatup kembali.“Tidak ada, aku hanya butuh waktu beberapa hari sebelum kembali bekerja. Selesaikan saja rapat bersama perwakilan dari perusahaan Sanrio. Semua data yang kau butuhkan ada pada Altha,” ucap Sean sembari menepuk pundak Daren sebelum beranjak pergi.“Kemana kau akan pergi?” tanya Daren masih tidak puas dengan penjelasan barusan.&ld
Suara langkah kaki di lorong membangunkan Via. Mata wanita itu terbuka perlahan. Masih dalam pengaruh kantuk, Via melirik sekitar dan menyadari bahwa dia tertidur di kursi tunggu. Matanya menatap heran pada jas hitam yang menyelimuti. Ada gurat kebingungan di wajah begitu dia menyentuh jas yang familiar dengan aroma sangat dikenal.Jari lentik Via meraba permukaan jas itu hati-hati, hingga dadanya mengembang seketika, mengalirkan desiran darah hingga menyebar ke tubuh. Tanpa dapat menahan diri, Via memeluk jas itu erat sedang air mata mulai berkumpul di pelupuk.Kepalanya terangkat saat mendengar suara deheman dari sebelah. Mata Via membulat seketika, mendapati sosok yang dia rindu hadir di sana.Cukup lama keduanya tertegun, lidah kelu tak mampu berkata-kata. Saat sadar menguasai kembali, Via melempar jas di tangan begitu dia berdiri tiba-tiba, nyaris terhuyung kehilangan keseimbangan.Tangan Sean bergerak cepat menahan Via yang hendak terjatuh. Mereka t
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap