Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.
Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.
Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.
Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.
Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.
Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.
Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu
Musim dingin berlalu sangat cepat. Via bekerja di penginapan Cherry Blossom hampir dua minggu. Tidak terasa dia dapat beradaptasi di Moines dengan keramah-tamahan penduduk sekitar.Via merasa lega karena di Moines dia tidak mendengar berita tentang Sean, bahkan orang-orang di desa itu tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bagi mereka selebriti hanya orang asing yang tidak pantas mendapat perhatian berlebih, tetapi Disya memiliki pikiran berbeda. Sahabatnya itu sering menghubungi Via dan terkadang mengangkat topik tentang Sean yang tentu saja tidak Via dengarkan.“Aku sudah bilang padamu untuk tidak mendiskusikan pria itu,” kata Via pada Disya yang di seberang sambungan.“Tapi kau juga harus tahu Via, pria ini adalah ayah dari anakmu. Jika saja kau tidak menahanku untuk menampar pria itu, Sean pasti akan kupermalukan di muka umum. Dia pantas mendapatkannya,” balas Disya yang terdengar marah.Via mengurut pelipisnya sembari menghe
Undangan berwarna gold yang sengaja Evelyn tinggalkan sebagai souvenir tergeletak di atas meja tanpa sekali pun Via sentuh. Mata Via memandang nanar setiap ukiran nama Sean di sana hingga hatinya nyeri melihat nama Evelyn Madini bersanding dalam satu frame yang sama.Sebulir air mata jatuh di pangkuan Via. Dengan wajah tertunduk, dia tersedu.“Ibu …,” tangis Via tidak tahu hendak memanggil siapa.Dia butuh sesuatu untuk menguatkan diri, dan hanya Ibu serta bayi dalam kandungan yang berada dalam pikiran.Menggugurkan bayi itu sama saja dengan membunuh Via, tetapi mempertahankan akan sama sulitnya. Sean dan Evelyn berasal dari keluarga kaya, hukum lebih berpihak pada mereka. Apalah Via yang hanya orang biasa, dengan satu cuitan saja di Ingram dapat menjadikannya sampah di masyarakat. Orang-orang akan berpikir bahwa dia penghancur hubungan Sean dan Evelyn. Mudah saja bagi Evelyn menghancurkan reputasi dan kehidupan Via hanya dengan ketikan
Willow terperanjat dari sofa saat melihat wajah Via yang pucat.“Via! Astaga, apa udara di luar dingin sekali? Kau tampak tidak sehat,” ucap Willow yang langsung menyongsong Via ke depan pintu.Tubuh Via lunglai hingga Willow menyangga Via agar tetap berdiri dengan membahu gadis itu menuju kamar dan membaringkannya.“Apa kau mau kubuatkan teh?” tanya Willow khawatir.Via hanya bergumam tanpa mengatakan apa-apa.“Tunggu sebentar,” kata Willow, beranjak menuju dapur.Dia menghubungi Asher begitu sampai di depan pantry.“Ada apa?” tanya Asher dari seberang.“Sepertinya Via sakit, apa dokter Ares bisa datang berkunjung ke sini?”Terdengar suara kunci dan pintu terbuka dari seberang sambungan begitu Asher mendengar ada kepanikan dari suara sepupunya.“Aku akan ke sana, tunggulah,” ucap Asher terdengar buru-buru. “Akan kubawa Ares, kurasa shif
“Asher menyuruhmu untuk beristirahat di rumah. Kau tidak perlu ke Cherry Blossom beberapa hari,” kata Willow yang menyuguhkan makanan di sebelah ranjang Via.“Aku sudah baikan, Willow. Diam saja akan membuatku bosan,” tolak Via. Dia hendak beranjak, namun Willow menahannya.“Tidak … tidak … kau istirahatlah, banyak hal yang bisa dilakukan di rumah. Misalnya saja merajut,” saran Willow.Via menghela napas, dan melirik jam di atas nakas. Hari masih terlalu pagi. Bahkan matahari baru saja terbit dari peraduan.Melihat kekukuhan Willow yang terus menahan Via, akhirnya wanita itu pun mengalah.“Aku akan menemanimu sampai siang, karena ada sesuatu yang harus kuurus hari ini,” ujar Willow tampak enggan meninggalkan Via sendiri.Via mengulas senyum dan menepuk bahu Willow pelan. “Pergilah, aku sudah dewasa, kau tidak perlu khawatir.”Keduanya pun mengakhiri pembicaraan
Via menatap kartu nama di tangan setelah kepergian Willow yang memakai mustang hendak ke desa.Ragu-ragu Via menekan nomor Daren Osbert, menghubungi pria itu. Setelah berkutat dengan keputusannya, Via pun memutuskan untuk menekan tombol panggil.“Halo,” sapa pria itu dari seberang.Untuk sesaat Via diam sembari menggigit bibir.Di ujung sambungan, Daren menyadari bahwa Via-lah yang menghubungi tetapi dia menunggu wanita itu bersuara lebih dulu.Via berdehem dan menyapa Daren yang sejak tadi hanya diam.“Ini aku,” kata Via membuka percakapan. “Kau bisa datang ke sini.”“Baiklah,” jawab Daren dan memutus sambungan mereka.Setengah jam menunggu, Via pun melihat sebuah mobil memasuki halaman. Dia menanti dengan cemas saat Daren keluar dari mobil dan berjalan menuju teras.“Masuklah,” kata Via mempersilahkan.Keduanya kembali duduk berhadapan dengan posisi sep
Sean memandang diri di depan cermin. Dia mengenakan baju jas hitam slim fit yang tampak sempurna membalut tubuh. Pandangan Sean jatuh pada wajah yang baginya terasa asing. Bahkan mata yang memantul di balik cermin terlihat jauh dari raga.“Kau sangat tampan, sahabatku,” kata Daren yang masuk ke dalam kamar Sean.Pesta pertunangan Sean dan Evelyn diadakan di salah satu property keluarga Reviano, tidak jauh dari New York.Sean berbalik menatap sahabatnya.“Bisakah kau membuatku tidak sadarkan diri sekarang?” tanya Sean dengan wajah datar.Awalnya Daren tertawa, mengira Sean bercanda, tetapi mulutnya mengatup ketika menyadari tidak ada perubahan ekspresi di wajah Sean yang menatap kosong ke depan.“Kau tidak bercanda,” gumam Daren. Pria itu masuk ke dalam ruangan dan menatap Sean khawatir. “Menikahi Evelyn tidak seburuk itu, Sean.”Melihat wajah Sean yang tanpa senyuman, hati Daren tercubit
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa Via sudah berada di Moines lebih dari satu bulan. Saat ini usia kandungannya sudah memasuki tiga bulan. Asher dan Willow meminta Via untuk memeriksakan kehamilan ke dokter begitu masuk ke-trimester ke dua.Siang itu, mustang yang Via kendarai berhenti di depan parkiran supermarket Moines. Terdapat dua supermarket di desa tersebut, tetapi hanya tempat ini yang memiliki persediaan paling lengkap sehingga Willow mengajak Via ke sana.“Apa kau sudah menghubungi dokter yang direkomendasikan Dokter Ares?” tanya Willow begitu mereka keluar dari mobil.Via menggelengkan kepala.“Bagaimana kalau minggu depan? Aku yang akan membuatkan janji dengan dokter itu,” kata Willow menyarankan.“Baiklah, aku serahkan padamu,” jawab Via setuju, dia bahkan terlihat tidak begitu antusias, membuat Willow merasa sedih.Kedua wanita itu keluar dari mobil dan memasuki supermarket lalu memilih
Seorang papparazi berada di motel yang dulu ditempati oleh Evelyn. Papparazi itu menunjukan hasil tangkapan kamera pada rekannya melalui sebuah pembicaraan di telepon.“Lihat-lah, aku tidak bohong saat melihat ada kejanggalan dengan pertunangan keduanya,” jelas Hilda, seorang papparazi yang mendedikasikan diri untuk meliput semua kegiatan Evelyn Madini.“Itu hanya pertemuan biasa, kedua wanita itu mungkin saja hanya teman lama,” kata seorang pria dari seberang sambungan.Hilda mendengus kesal dan meminta rekannya untuk kembali melihat foto-foto yang dia kirim.“Coba lihat baik-baik, jelas sekali keduanya sedang membicarakan sebuah kontrak perjanjian tutup mulut, dan aneh sekali bila Evelyn memberikan Check berisi jutaan dollar pada wanita ini.”Hilda melihat kembali foto-foto yang dia dapat beberapa waktu lalu. Untungnya Cherry Blossom memiliki dinding transparan yang terbuat dari kaca sehingga dia bisa leluasa m