Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.
Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.
Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”
“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”
Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.
Di tengah sesi Sean mendapati Via yang melamun. Agar terlihat profesioanl tidak pilih kasih, Sean pun menegur.
“Via?” panggil Sean saat gadis itu mulai hilang fokus. “Viania Harper!” panggilnya lagi. Hingga paggilan ke tiga, gadis itu tetap tidak mengangkat wajah membuat Sean sedikit khawatir. Dengan wajah tenang seperti biasa, Sean memanggil Via terakhir kali karena dia tidak nyaman ketika mulai terdengar suara berbisik dari sekitar. “Via!”
Gadis itu tersentak, jelas terkaget karena tidak mendengarkan. Dia tertunduk malu, yang membuat Sean merasa sedikit bersalah.
“Via, dari tadi aku memanggilmu. Apa kau sakit?”
“Sejak tadi siang saya merasa kurang enak badan,” jawab gadis itu terlihat segan dan melanjutkan, “Maaf, sudah mengganggu konsentrasi Anda.”
Dengan keberadaan Via saja sudah cukup membuat Sean hilang konsentrasi, tetapi tentu dia tidak akan menjawab demikian.
“Tidak-tidak, jika memang sudah tidak kuat mengikuti rapat kamu bisa beristirahat.”
“Seperti sebelum-sebelumnya, mintalah izin jika merasa kurang sehat sebelum rapat dimulai.” Kini dia merasa khawatir walau Via berkata sebaliknya. Ekor mata Sean terus mengawasi Via yang tetap mengikuti rapat sembari dia membuka dokumen yang baru dijelaskan tadi. “Kembali ke rapat, aku ingin kita meningkatkan pelayanan Luna Star dan ….”
…………………………………………………………
Daren baru saja masuk ke dalam ruang kerja Sean di Luna Star. Sahabatnya itu mendekat sembari membawa tumpukan dokumen.
“Aku mendengar dari bibi kau akan pulang ke Blueberry Hill,” ujar Daren begitu menaruh tumpukan dokumen ke atas meja.
Sean terlihat enggan menjelaskan, namun pada akhirnya dia mengangguk saja.
“Ibu memintaku untuk pulang,” katanya. “Aku hanya sebentar di Blueberry, setelahnya aku akan ke Michigan untuk menyelesaikan proyek yang ayah beri dua tahun lalu.”
Wajah Daren tampak tertarik untuk ikut bergabung.
“Aku juga ingin ikut serta.”
Satu tatapan tajam dari Sean mampu membungkam mulut Daren yang tidak ada rem.
“Kau pikir aku mau mengerjakan proyek itu? Luna Star saja masih butuh bimbingan, ayah malah ingin membangun hotel baru di Michigan. Sudah kujelaskan untuk menunda dulu sampai Luna Star stabil, dia menolak mentah-mentah. Benar-benar keras kepala,” sungut Sean sembari membaca dokumen yang dibawa Daren satu per satu.
“Bukannya itu proyek taman bermain?” Kini Daren dibuat bingung dengan perubahan rencana. “Sejak kapan berubah menjadi hotel?”
Sean menutup dokumen yang dia baca dan menatap Daren kembali.
“Sejak Nicko Anderson mengumumkan akan membangun taman bermain tidak jauh dari lokasi taman bermain yang ayah rencanakan.”
Kali ini Sean tidak bisa menutupi rasa kesalnya. Wajah tenangnya yang biasa berubah keruh.
“Ya ampun, kau bisa membangun di tempat yang baru.”
“Tidak semudah itu, melakukan riset ulang hanya akan menambah biaya saja. Ditambah lagi aku tidak ingin berurusan dengan mafia.”
Mengingat bahwa Nicko Anderson bagian dari mafia Italia tentu bukanlah hal mudah, dan Sean tahu konsekuensinya bila berhadapan dengan orang-orang seperti mereka.
“Aku lapar, ayo kita makan keluar,” rengek Daren yang membuat Sean sakit kepala.
Sean meletak kembali dokumen yang nyaris dia tanda tangani, namun mengingat Daren yang rewel lebih menyebalkan dibanding menyelesaikan tumpukan dokumen itu, maka dia memutuskan untuk makan siang sebelum waktunya.
…………………………………………………….
“Kemana kau membawaku?” tanya Sean begitu mereka tiba di dekat pusat perbelanjaan.
“Toko roti favoritku, beberapa waktu lalu kau memakasa untuk diajak ke sini. Apa kau lupa?”
Mendengar kata toko roti, Sean pun keluar lebih dulu, membuat Daren terkekeh. Dia tidak mengerti mengapa sahabatnya suka sekali mengunjungi setiap toko roti di kota itu.
Lebih dulu Sean sampai di dalam toko tersebut, dia memerhatikan sekitar dengan seksama, layaknya tim penilai yang memerhatikan tiap detail bangunan.
“Hey, kita ke sini untuk membeli bukan menyelediki lubang di setiap dinding,” bisik Daren saat mereka dipelototi pria penjaga etalase.
Seakan tidak peduli, Sean mengedikan bahu sembari melanjutkan penilaian semula. Dia bahkan memerhatikan dengan rinci setiap menu yang dipajang. Melemparkan banyak pertanyaan tentang bahan dasar kue-kue di sana, membuat Daren merasa tidak enak hati dengan si penjaga.
“Kau mau beli atau sedang merancang bisnis baru?” Bagi Daren pertanyaan terakhir lebih masuk akal.
“Menurutmu berapa persentase keberhasilan bisnis toko roti sebesar ini?” tanya Sean tiba-tiba, Daren hendak menjawab saat Sean menjawab sendiri pertanyaan barusan. “Kurasa cukup menguntungkan dengan eksposur yang tepat. Lagi pula, dia juga tidak peduli dagangannya laku atau tidak.”
Kali ini Daren yang dibuat bingung.
“Siapa?”
Sean mengibas tangan ke udara, mengabaikan pertanyaan barusan lalu tanpa dosa memesan banyak kue yang terpajang di etalase. Nyaris keseluruhan sebagai sampel.
“Bilang saja kau tidak mau bercerita, jangan mengibaskan tanganmu dengan tidak sopan,” dengus Daren sembari memukul tangan Sean yang masih di udara.
Dengan tersenyum puas, Sean menatap Daren sembari menenteng belanjaan.
“Beritahu aku bila kau temukan toko yang baru,” katanya sambil berlalu meninggalkan Daren yang belum memesan apa pun.
……………………………………………………
Satu per satu Sean membalas pesan dari ibunya. Dia mengabari kapan akan tiba di Blueberry Hill.
Saat hendak keluar ruangan, ponselnya berbunyi. Dia mengira ibunya memanggil, tanpa melihat caller Id, Sean mengangkat panggilan tersebut.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Sean. Ini aku Eve. Aku dengar dari bibi kau akan pulang, kenapa tidak mengabari?” tanya Evelyn dengan suara manja seperti biasa.
Sean tertawa mendengarnya dan mengurungkan niat keluar dari ruangan.
“Maaf, kupikir kau sangat sibuk. Dua hari lagi aku akan pulang, kita bertemu di sana saja. Saat ini aku sangat sibuk Eve,” jelas Sean tidak ingin membuat bawahannya menunggu di ruang rapat. Dia melihat arloji yang menunjukan jadwal rapat segera dimulai. “Akan kuhubungi bila ada waktu,” tawar Sean yang disambut Evelyn dengan tidak terima.
“Apa tidak bisa menyuruh mereka menunggu? Rasanya lama sekali kita tidak berbicara,” sungut gadis itu dari seberang.
“Tidak bisa, Eve. Hargai waktu mereka, aku tidak bisa seenaknya membatalkan rapat hanya karena kau ingin berbicara.” Walau terdengar kasar, tetapi Sean tidak ingin Evelyn menjadi terbiasa.
Dari nada suara gadis itu, Sean dapat mendengarnya saat cemberut.
“Baiklah-baiklah CEO yang pengertian. Telepon aku saat kau ada waktu.”
Sean tertawa mendengar kelakar tersebut. Dia menyetujui sebelum akhirnya memutus sambungan.
Baru saja Sean membuka pintu saat sekretaris pribadinya tiba-tiba memanggil dengan suara ceria yang membuat Sean mengernyitkan dahi.
“Pak, ada paket yang baru saja datang!” seru wanita itu sembari berlari-lari kecil dengan sepatu hak tinggi yang membuat bising saat berbentur lantai.
Wajah Sean berubah sumringah ketika dia ingat cincin berlian pesanannya yang tiba hari ini. Tangannya cepat mengambil paket tersebut dari genggaman Altha yang terulur.
“Terima kasih,” ujarnya dengan senyum merekah sempurna, tanpa sadar membuat wanita di hadapannya terperangah dengan mata membulat.
Tidak sabar, Sean pun membuka kotak tersebut dan melihat cincin berlian yang dia design sendiri telah berwujud. Begitu elegan persis seperti yang dia bayangkan, bahkan jauh lebih sempurna dari gambar yang dia lukis. Langkahnya begitu ringan ketika menuju ruang rapat, sekali pun senyum tidak pudar mengukir wajah Sean yang rupawan hanya karena sebuah cincin dalam saku celana.
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet. Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam.“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati.“M
Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu
Musim dingin berlalu sangat cepat. Via bekerja di penginapan Cherry Blossom hampir dua minggu. Tidak terasa dia dapat beradaptasi di Moines dengan keramah-tamahan penduduk sekitar.Via merasa lega karena di Moines dia tidak mendengar berita tentang Sean, bahkan orang-orang di desa itu tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Bagi mereka selebriti hanya orang asing yang tidak pantas mendapat perhatian berlebih, tetapi Disya memiliki pikiran berbeda. Sahabatnya itu sering menghubungi Via dan terkadang mengangkat topik tentang Sean yang tentu saja tidak Via dengarkan.“Aku sudah bilang padamu untuk tidak mendiskusikan pria itu,” kata Via pada Disya yang di seberang sambungan.“Tapi kau juga harus tahu Via, pria ini adalah ayah dari anakmu. Jika saja kau tidak menahanku untuk menampar pria itu, Sean pasti akan kupermalukan di muka umum. Dia pantas mendapatkannya,” balas Disya yang terdengar marah.Via mengurut pelipisnya sembari menghe
Undangan berwarna gold yang sengaja Evelyn tinggalkan sebagai souvenir tergeletak di atas meja tanpa sekali pun Via sentuh. Mata Via memandang nanar setiap ukiran nama Sean di sana hingga hatinya nyeri melihat nama Evelyn Madini bersanding dalam satu frame yang sama.Sebulir air mata jatuh di pangkuan Via. Dengan wajah tertunduk, dia tersedu.“Ibu …,” tangis Via tidak tahu hendak memanggil siapa.Dia butuh sesuatu untuk menguatkan diri, dan hanya Ibu serta bayi dalam kandungan yang berada dalam pikiran.Menggugurkan bayi itu sama saja dengan membunuh Via, tetapi mempertahankan akan sama sulitnya. Sean dan Evelyn berasal dari keluarga kaya, hukum lebih berpihak pada mereka. Apalah Via yang hanya orang biasa, dengan satu cuitan saja di Ingram dapat menjadikannya sampah di masyarakat. Orang-orang akan berpikir bahwa dia penghancur hubungan Sean dan Evelyn. Mudah saja bagi Evelyn menghancurkan reputasi dan kehidupan Via hanya dengan ketikan
Willow terperanjat dari sofa saat melihat wajah Via yang pucat.“Via! Astaga, apa udara di luar dingin sekali? Kau tampak tidak sehat,” ucap Willow yang langsung menyongsong Via ke depan pintu.Tubuh Via lunglai hingga Willow menyangga Via agar tetap berdiri dengan membahu gadis itu menuju kamar dan membaringkannya.“Apa kau mau kubuatkan teh?” tanya Willow khawatir.Via hanya bergumam tanpa mengatakan apa-apa.“Tunggu sebentar,” kata Willow, beranjak menuju dapur.Dia menghubungi Asher begitu sampai di depan pantry.“Ada apa?” tanya Asher dari seberang.“Sepertinya Via sakit, apa dokter Ares bisa datang berkunjung ke sini?”Terdengar suara kunci dan pintu terbuka dari seberang sambungan begitu Asher mendengar ada kepanikan dari suara sepupunya.“Aku akan ke sana, tunggulah,” ucap Asher terdengar buru-buru. “Akan kubawa Ares, kurasa shif
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap