“Bukankah itu Pak CEO,” ucap Cece dengan suara keras menyaingi music DJ.
Beberapa kepala menoleh ke arah Sean yang duduk di bar bersama beberapa pria-pria asing.
Altha membenarkan ketika dia melihat wajah-wajah familiar yang bersama CEO mereka.
“Beliau ada rapat di salah satu tempat privat tak jauh dari sini, sepertinya mereka pindah ke bar untuk merayakan sesuatu,” jelas Altha menjawab beberapa wajah bertanya para rekan kerja.
“Astaga, kumpulan pria-pria maskulin itu benar-benar luar biasa. Lihat saja, nyaris seluruh wanita tidak lepas memandang ke sana,” timpal Reina mengedarkan pandangan ke sekitar.
Altha dan lainnya melanjutkan dansa, sedang Via memilih sudah. Dia enggan di hadapan Sean yang pasti memerhatikan dari bar.
“Aku balik ke sofa,” ucap Via yang hanya mendapat anggukan dari rekan lain.
Dia bergabung dengan Keiza yang tidak bergabung di lantai dansa bersama mereka.
“Kau capek?” tanya Keiza sembari menyodorkan segelas minuman.
Kepala Via menggeleng pelan. “Tidak, hanya tidak enak badan. Apa ada air putih?” tanya Via menolak gelas yang disodorkan.
Setelah menengguk setengah botol mineral, sebuah bayangan dari sosok Sean menutupi cahaya di sekitar Via dan Keiza. Keduanya mendongak bersama, mendapati Sean berdiri di hadapan mereka. Bahkan mata Via membulat begitu pula Keiza dengan rahang menganga. Tidak mengira bos mereka mendekat.
“Kulihat kalian tampak bersenang-senang,” kata Sean tanpa menunjukan ketertarikan pada Via yang duduk gelisah.
Menjawab pertanyaan Sean, Keiza berdehem dan mengangguk iya.
“Boleh aku bergabung? Beberapa klien berpencar entah kemana.” Tunjuk Sean pada meja bar yang ditinggal pergi kumpulan pria tampan tadi.
“Oh, silahkan, Pak CEO,” jawab Keiza terdengar gugup.
Sean memilih duduk di antara dua wanita tersebut. Dia membuka percakapan ringan pada keduanya. Via yang tidak tahan menunduk, mendengarkan seksama tanpa ikut terlibat. Beberapa kali terdengar intonasi Keiza yang berubah menjadi lebih berani saat berdiskui tentang apa saja.
“Kudengar kau lulusan terbaik di jurusanmu saat kuliah,” puji Sean pada Keiza yang merona.
“Tidak, berita tersebut hanya melebih-lebihkan, masih banyak yang harus saya pelajari,” jawab Keiza mencoba merendah. “Via bahkan jauh lebih berbakat. Dia sangat cekatan, aku beruntung satu divisi dengannya.”
Mendapat lemparan pujian dari Keiza untuk mengalihkan perhatian, Via pun melotot pada gadis itu. Kini, balik Via yang menjadi bahan pembicaran.
“Kau benar, beberapa kali Via menyelematkan Luna Star dengan ide-ide brilian,” puji Sean sembari menyorotkan manik mata birunya pada Via yang menahan napas.
Ada kupu-kupu berterbangan di perut dan dada, membuat Via tersipu-sipu.
Kedua orang itu merubah topik entah ke berapa kali, lalu tiba-tiba saja jantung Via berpacu begitu merasa tangan Sean merambat naik ke atas lengannya kemudian menautkan jari-jemari mereka di bawah meja jauh dari pandangan sekitar.
Seolah tidak terjadi apa-apa, Sean berbicara panjang lebar pada Keiza, sedang ibu jarinya mengelus halus jemari Via yang mulus. Kepala Via tertunduk, menyembunyikan senyum saat dia merasa kehangatan sentuhan dari Sean merambat hingga ke dada. Mata Via melirik sekitar, takut bila salah satu rekan kerja mendapati mereka sembunyi-sembunyi di bawah meja. Untung saja, suasana ramai mengalihkan perhatian siapa pun di sana.
…………………………………………………………….
“Kalian bisa pulang sendiri? Aku bisa menyuruh beberapa orang untuk mengantar ke alamat masing-masing,” ucap Sean menawarkan.
Altha, Cece, Reina dan yang lain menatap Sean penuh puja. Mata mereka tidak henti mengagumi sosok Sean yang rupawan dan baik hati hingga mau menawarkan tumpangan. Namun, rasa segan mengalahkan segalanya. Mereka juga tahu batasan, sehingga menolak dengan halus.
“Tidak perlu, Pak CEO. Kami bisa pulang masing-masing,” jawab Reina sedikit tersipu dapat berdekatan dan berbicara kasual dengan sang CEO.
Cece juga tidak mau ketinggalan, dia ingin mendapat perhatian. “Saya dan Altha memesan taxi saja. Tidak perlu repot mengantar kami berdua.”
Keiza dan Altha ikut mengkonfirmasi.
Freya bahkan malu-malu ikut menolak. “Saudara saya akan menjemput, jadi tidak perlu Pak CEO.”
Senyum yang Sean tebar memikat hati wanita di sana, hingga terdengar suara-suara tercekat, membuat Via ingin memutar bola mata. Rekan kerjanya terlihat seperti sedang bertemu selebriti impian dan hendak meminta tanda-tangan, bahkan beberapa mencoba merapat walau jalan di depan bar begitu lebar.
Setelah memastikan semuanya memiliki tumpangan pulang dengan aman, Sean pun menatap Via yang sejak tadi tidak bersuara.
“Kalau begitu aku akan mengantarmu,” kata Sean terus terang, membuat Via mengernyit, menatap satu-satu wajah rekan kerja yang mungkin saja curiga, tetapi tampaknya tidak ada yang memberi mereka perhatian. Menganggap wajar Sean menawarkan diri pada Via karena hanya dia yang rumahnya paling jauh. Hati Via menjadi lega, hingga dia menjawab dengan anggukan saja.
Satu per satu kumpulan itu berpencar menuju tujuan masing-masing.
Di dalam mobil Sean dan Via tidak berbicara. Tautan tangan mereka cukup mengkomunikasikan perasaan satu sama lain. Suasana mobil itu terasa syahdu diiringi alunan musik mengalunkan melodi cinta yang lembut penuh haru.
Begitu mobil berhenti di parkiran, Sean turun dan membuka pintu Via lalu membantunya turun, menjaga keseimbangan kaki Via yang dibalut sepatu berheels tinggi.
“Kau ikut masuk?” tanya Via penuh harap.
“Hari ini aku akan menginap,” jawabnya menuntun Via menuju lift.
Melihat suasana hati Sean, Via tahu pria itu menginginkan tubuhnya malam ini. Hati Via mengembang, senang menerima kehadiran Sean di tengah gossip yang menyebar. Bahkan pria itu masih memperlakukannya sama, seakan tidak ada yang berubah. Tapi tetap saja Via masih gelisah sebelum ada penjelasan dari Sean.
Hati Via meminta untuk bersabar. Membisik kata menenangkan, karena Sean masihlah Sean yang selalu bersamanya setiap malam.
“Bagaimana bisa kau sampai ke bar?” Via heran menemukan Sean di bar tadi.
“Kau bilang ingin ke bar, jadi aku mengajak rekan bisnis ke sana setelah rapat usai,” jawab Sean seolah yang dilakukannya biasa, padahal dari sudut pandang Via, membuat gadis itu berbunga-bunga, karena Sean seolah tidak ingin Via ke bar tanpa dirinya.
“Kita bisa ke sana berdua saja,” ucap Via tanpa sadar, hingga dia mengatup bibir dan mengutuk diri karena mereka tidak boleh ke publik berdua saja seperti perjanjian.
Sean tertegun, dan hanya menggumam tidak jelas, membuat hati Via kecewa kembali.
“Kau ingin makan apa?” tanya Sean mengalihkan pembicaraan.
“Aku sudah makan sebelum ke bar, kalau kau masih lapar aku bisa masakan sesuatu.”
“Tidak … tidak, aku juga sudah makan saat rapat tadi.”
Keduanya memasuki apartemen, begitu pintu di belakang mereka tertutup, Sean langsung menyerang bibir Via hingga gadis itu terkesiap, lalu mengunci tubuh feminine-nya ke dinding sedang kedua tangan Sean yang besar meraba tubuh Via yang tidak siap.
“Dari tadi aku menahan diri, kau terlihat cantik sekali malam ini,” bisik Sean di sela sesi cumbuan mereka. dia mengerang dan menggendong Via menuju kamar.
Mata Via terbuka saat mendengar jam alaram berbunyi, dia meraba ke sisi sebelah dan merasa kecewa mendapati ranjang yang dingin pertanda Sean sudah pergi sejak tadi. Setelah membisukan alaram, Via pun duduk dengan posisi kepala menyandar sedang mata menatap nanar pada sisi ranjang sebelah kanan yang kosong.Jemari Via meraba kasur dimana biasanya Sean berbaring. Dia ingin pria itu berada di samping dan memeluk tubuhnya begitu terjaga. Jarang sekali mereka bangun bersama, biasanya Sean yang lebih dulu beranjak, meninggalkan Via sendiri.“Kapan kau benar-benar melihatku, tidak hanya sebagai wanita simpanan?” bisik Via dengan napas tercekat menahan tangis.Dia ingin sekali saja Sean mengakui keberadaannya
Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnya memilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.“Dari mana
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap