Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.
Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnyamemilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.
“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Melihat punggung Sean yang menghilang di balik pintu, membuat Via menghembuskan napas panjang. Tadinya dia pikir Sean tidak peduli dan pergi kerja meninggalkan Via sendiri, tetapi ternyata dia salah. Hatinya berbunga begitu Sean menghubungi manajer operasional bahwa dia cuti hari ini.
Beberapa saat kemudian Sean kembali ke kamar, tidak terlihat ponsel di tangan yang digantikan semangkuk bubur. Dia tersenyum pada Via lalu mendekat ke ranjang.
“Hari ini aku akan mengurusmu. Sudah kuminta Daren untuk menggantikanku di Luna Star sementara,” jelas Sean walau Via tidak bertanya. Akhir-akhir ini Sean sering melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan.
“Kau mau makan sendiri atau aku yang suapi?”
Melihat Sean hendak menyendok bubur, Via pun bangkit dan meminta mangkuk bubur tersebut.
“Aku suap ya,” bujuk Sean tiba-tiba.
Sesaat Via termangu, wajahnya pun merona. Mendapat tatapan Sean yang memohon Via juga tidak mau menolak. Satu suapan masuk ke dalam mulutnya, mengukirkan senyum di wajah Sean yang rupawan. Hingga suapan terakhir, Sean tetap seperti enggan meninggalkan.
“Kau mau melakukan apa hari ini?” tanya Via begitu Sean menaruh mangkuk kosong ke atas meja.
“Aku akan mengerjakan sesuatu di ruang tengah, kau istirahat saja. Nanti akan aku bangunkan begitu makan siang tiba,” ucapnya sembari mendaratkan kecupan di dahi Via yang berkerut. “Jangan cemberut, jika kau tidak sedang sakit, aku pasti tidak akan mau beranjak dari kasur.”
Setelah mendapat cubitan cinta yang Via beri, Sean pun keluar kamar sembari tertawa. Apa lagi wajah Via memerah bukan karena demam, melainkan godaan Sean barusan.
Beberapa jam kemudian, Via terbangun kembali, dan melirik jam di atas meja menunjukan pukul sebelas. Dia tidak sanggup untuk melanjutkan tidur kembali, sehingga memutuskan untuk bersih-bersih diri dan mencari Sean setelahnya.
Pria itu tampak sibuk di meja makan dengan tumpukan kertas di tangan serta laptop yang menyala di atas meja. Kepalanya terangkat begitu melihat kehadiran Via saat memasuki ruangan.
“Hey,” sapa Sean melihat wajah Via segar kembali sehabis istirahat yang cukup.
“Hey,” balas Via mendekat dan mendaratkan ciuman di pipi pria itu. “Kau sibuk sekali.”
Sean menggelengkan kepala, “Tidak juga. Hanya beberapa laporan yang masih bisa diperiksa lain kali. pekerjaanku baru saja selesai.” Dia berdiri sembari merapikan meja.
Via memeriksa kulkas dan hendak menyiapkan makan siang saat dia merasakan tangan Sean melingkari tubuhnya dari belakang.
“Tidak perlu memasak, aku akan memesankan sesuatu,” bisik Sean sembari meninggalkan kecupan demi kecupan di sepanjang leher hingga bahu.
Tubuh Via bergetar, menerima bibir Sean yang panas.
“Tapi aku ingin melakukan sesuatu. Diam saja membuatku bosan,” ucap Via di tengah cumbuan itu.
Sean pun menghela napas dan melepas pelukan. “Baiklah, aku akan membantu. Apa yang kau butuhkan?” tanyanya ikut memerhatikan isi kulkas di hadapan mereka.
Setelah memutuskan bahan-bahan yang akan digunakan, keduanya bekerja bersisian dengan suasana khidmat dan hening menyelimuti, hanya terdengar suara pisau di atas telenan, dan gemerisik air serta minyak pada wajan.
Setelah makanan siap dihidang, keduanya makan di ruang TV sembari menikmati film roman picisan yang Via plih. Sembari mengunyah, sesekali Sean mengomentari adegan demi adegan yang baginya tidak masuk akal.
“Lihat saja, mereka pasti putus,” katanya melihat pertengkaran pasangan di layar plasma.
Via tertawa saat prediksi Sean terbukti. “Kau lebih cocok jadi komentator.”
“Filmnya mudah ditebak, dan alurnya terlalu mainstream,” jawab Sean melihat ending yang tidak memuaskan. Sean merapatkan tubuh dengan Via begitu mereka menghabiskan makan siang, sedang tangannya mengelus lengan dan bahu gadis itu walau matanya fokus ke depan menyaksikan pertunjukan.
“Kau mau menonton film yang lain?” tawar Sean yang disetujui Via.
“Kau benar, filmnya tidak seru.”
Setelah berpindah channel, Via pun bersandar ke sofa dan merebahkan kepala pada bahu Sean yang bidang. Jemari lentiknya memainkan baju kaos pria itu dengan gerakan malas. Kali ini keduanya menonton film tentang seorang wanita desa yang meraih mimpi di kota besar. Setelah film berjalan setengah, Sean seakan tidak bisa diam untuk tidak bertanya.
“Kau pernah bilang ingin memiliki toko roti,” bisik Sean ketika Via mulai mengantuk hingga kelopak matanya setengah terpejam.
“Ya, dan kau sudah tahu ini sejak awal kita bertemu.” Via ingin tertawa mengingat kirman roti yang sangat banyak ke apartemen di awal-awal mereka menjalin hubungan.
“Apa kau masih menolak tawaranku?”
“Aku masih tidak ingin kau membantuku terus, toko roti ini adalah impianku dan aku ingin membangunnya dari keringatku sendiri, Sean.”
Beberapa kali Sean menawarkan maka sebanyak itu pula Via menolak. Baginya kehdiran Sean saja sudah cukup. Belum lama ini Via juga merasa terganggu dengan pemberitaan di media tentang wanita yang dikabarkan bertunangan dengannya, tetapi Via memilih diam daripada bertanya.
“Tidurlah, aku akan mebersihkan ini,” kata Sean mengakhiri pembicaraan.
Malamnya, Via terjaga dan mendapati Sean tidak ada di sebelah. Suara gumaman pria itu terdengar samar-samar dari arah ruang tengah. Setelah mencuci wajah, Via bermaksud untuk menyusul Sean, dan juga dia merasa lapar.
Begitu melintasi kamar, tanpa sengaja Via mendengar Sean mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Aku akan pulang beberapa hari lagi Eve, kita bisa bertemu di sana.”
Walau Sean tidak terdengar berbisik, tetapi Via merasa hatinya berdenyut bagai dicubit. Mendengar nama wanita lain yang menjadi pasangan Sean di setiap gossip ternyata membuat hati Via tidak kuat.
“Ya, akan kusampaikan pada Ibu. Kau pulang juga?”
Entah mengapa mendengar interaksi keduanya, semakin meyakinkan Via bahwa Sean dan Evelyn memiliki hubungan yang begitu dekat.
“Hmm … hmm … aku juga rindu padamu. Kabari aku bila kau sudah sampai.”
Hati Via bergetar mendengar nada Sean yang mengatakan rindu pada wanita lain. Selama ini pria itu tidak sekali pun mengucapkan kata-kata yang menunjukan perasaan seperti rindu, atau panggilan kecil; misalnya sayang, baby, atau sejenis. Hati Via terasa berdarah mendengar nada suara Sean yang rendah saat mengucapkan kata tersebut pada wanita di seberang.
Tahu diri akan posisinya, Via pun menguatkan diri, memasang senyum pura-pura berharap Sean tidak menyadari, serta mempersiapkan diri keluar kamar begitu Sean menyudahi panggilan telepon. Sengaja Via berjalan dengan menghentakan kaki, sedikit bersuara untuk memberi tahu keberadaannya.
“Hey,” sapa Sean melihat Via keluar kamar dengan wajah masih mengantuk.
“Hey, aku lapar,” jawab Via dengan senyum kecil sedikit dipaksa, berharap senyumnya terlihat natural di mata Sean.
“Aku memesankan makanan kesukaanmu. Ayo kutemani,” katanya dengan pandangan lembut yang tidak biasa.
Sesaat tadi Via merasa seolah mata Sean memancarkan cinta, tetapi dia menepis karena setelah mendengar cara pria itu berbicara dengan Evelyn, membuat Via tidak bisa mempercayai matanya sendiri.
Sean menuntun Via hingga ke ruang makan, keduanya menikmati makan malam dalam hening. Via yang penuh akan pikiran sendiri, sedang Sean entah memikirkan apa di sebelah.
Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.“Dari mana
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka