Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.
Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.
“Dari mana kau tahu bahwa mereka akan melakukan lamaran?” tanya Amber penasaran.
Altha sebagai sumber cerita menjelaskan; “Beberapa waktu lalu Pak CEO memesan cincin berlian dua karat. Kemarin cincin itu tiba, dan dia langsung membawanya di kantong celana. Wajahnya juga sangat sumringah, seperti orang sedang jatuh cinta. Apa namanya kalau bukan kabar gembira untuk sebuah lamaran?”
Semua wanita di meja serentak mendesah penuh kekaguman bercampur iri pada Evelyn Madini. Tidak sedikit yang ingin menggantikan posisi wanita model itu.
Perasaan Via semakin terguncang mendengar cincin berlian pesanan. Tidak mengira Sean akan berbuat sejauh itu tanpa mengakhiri hubungan sebelum berpindah hati. Dia mengira selamanya Sean akan melajang, seperti komitmennya sebelum affair mereka dimulai. Atau hanya dia saja yang polos menerima bahwa Sean Reviano tidak akan menikah pada orang berstatus sosial seperti dia. Benar bahwa hati mudah dibolak-balik. Lagi pula ini perkara romantisme politik kaum sosialita, dimana Sean hanya menikahi yang sekufu dengannya.
“Sudah, jangan disebar sesuatu yang belum benar kejelasannya,” kata Keiza mencoba mengakhiri. Baginya tidak baik membicarakan atasan di lingkungan kerja.
“Ini sudah pasti benar, tidak pernah Pak CEO tersenyum perkara cincin berlian. Berita di media juga mendukung alasan cincin itu,” ucap Altha membenarkan asumsi mereka.
“Tidak ada hubungannya dengan kita bila beliau menikah, biar saja jangan ditambah lagi.” Keiza tidak mau kalah. “Setiap hari Pak CEO jadi bahan pembicaraan, masih banyak topik menarik lainnya.”
Amber menyela dan tidak ingin ketinggalan; “Wajar jika menjadi objek pembicaraan, beliau sudah seperti selebritis dengan sorotan media.”
Via meletakkan tangan di paha Keiza, menahan rekannya untuk tidak membalas sesuatu yang tidak bisa dimenangkan.
“Kei, sepertinya aku lupa meminta data kalibrasi dari Hadley. Mungkin dia sudah kembali dari rapat, temani aku ke ruangannya.”
Keiza menahan lidah, dan mengangguk walau enggan beranjak. Benar juga, percuma mendebat bila lawan bicara sama batunya dengan dia.
Keduanya berpamitan dan meninggalkan kantin dengan perasaan berbeda.
…………………………………………………………………………..
Baru saja Via kembali ke apartemen sesaat setelah dia mendapat pesan dari Sean yang mengatakan dia baru saja berangkat menuju kampung halaman. Beberapa kali Via menghubungi, namun ponselnya tidak aktif. Besoknya di kantor dia tidak melihat Sean di lobby atau pun koridor seperti biasa. Barulah Via yakin mereka sudah tidak lagi berada di kota yang sama.
Tiga hari berlalu begitu saja, namun tidak sekali pun Sean mengabari. Dalam hati Via menyadari apalah dia yang hanya wanita rahasia pria itu. Bukan tugasnya memberi Via kabar setiap waktu, dan bukan hak Via menuntut diperhatikan. Hubungan mereka ada karena saling membutuhkan. Keterikatan fisik adalah sesuatu yang rapuh dan dapat goyah kapan saja.
Ini sudah hari ke tujuh, tetapi Sean tidak juga kembali. Bahkan secuil kabar sepertinya mustahil Via dapatkan. Sampai dia lelah mengutak-atik nomor Sean, menghubungi tanpa lelah siang malam yang hanya dijawab operator dengan suara ceria mengatakan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.
Baru saja Via duduk di kantin, sengaja mencari kursi kosong di sudut, saat tiba-tiba gerombolan ratu gossip mengerubungi mejanya. Entah apa yang membuat mereka menempel padanya, seakan kemana dia pergi gerombolan wanita itu ikut dengan sendiri.
“Kau dengar kabar pagi ini?” tanya Amber memulai gossip mereka.
“Kabar apa?” disambut oleh Altha, Cece dan lainnya.
“Pak CEO bergandengan dengan Evelyn di acara gala dinner malam tadi,” jawab Amber antusias.
Hati Via terbelah menjadi dua. Dadanya panas mendengar berita barusan.
“Mereka sudah sering bersama, lihat, bahkan dalam seminggu ini keduanya sudah menghadiri acara sebanyak tiga kali, ditambah dinner romantis berdua di salah satu restoran bintang lima. Lihatlah kemesraan yang keduanya tunjukkan saat dinner, ini foto yang diambil papparazi.” Seperti biasa Cece memamerkan layar ponselnya pada grup mereka.
Via menolak untuk melihat, dia tidak yakin hatinya yang patah dapat disatukan kembali, sesaat tadi dia mendengar retakan di hatinya yang tak lama lagi menjadi pecahan puing.
“Ya ampun serasi sekali!” seru mereka serentak.
Tanpa Via sadari tangannya mengepal, meremas rok span hitam yang dia kenakan.
“Apa kau tahu kapan Pak CEO akan kembali?” tanya Amber masih dengan pandangan mengagumi foto-foto Sean.
Altha mengangguk sembari menelan roti bakar. “Beliau bilang dua minggu lagi bila urusannya selesai. Katanya, dia bisa bekerja dari sana mengurus pekerjaan di sini.”
Kepala Via mendongak mendengar penjelasan itu. Hatinya berdebar hendak menanyakan sesuatu; “Kapan dia menghubungi?”
“Setiap hari dia menelepon ke kantor, jadi semua urusan di sini dapat dia selesaikan. Aku juga mengirimkan laporan melalui emailnya, ini sudah menjadi prosedur saat beliau absen.”
Via terhenyak mendengar itu. Selama ini dia mengira Sean benar-benar tidak ada waktu memegang ponsel, ternyata pria itu hanya tidak ada waktu untuk dirinya. Tetapi bagaimana bisa Sean menghubungi kantor bila nomornya tidak pernah aktif, membuat Via mencurigai Sean tidak hanya memiliki satu nomor. Matanya panas dibalut emosi sendu, tetapi menahan diri agar tidak ada yang curiga.
“CEO kita memang pekerja keras,” puji Amber yang kekagumannya semakin meningkat.
“Benar sekali, dia juga menanyakan kabar karyawan satu per satu. Aaaah, benar-benar CEO idaman,” kata Altha menambahkan.
Percakapan itu terus mengalir dimana topiknya tidak jauh-jauh dari sang CEO idaman. Sejak tadi Via hanya diam, menjadi tim pendengar yang hatinya sudah tidak berbentuk lagi seiring banyaknya informasi yang dia terima.
Begitu rombongan itu keluar dari kantin, Via menarik lengan Altha dan mencoba bersikap kasual.
“Aku ingin melaporkan sesuatu pada Pak CEO, apa boleh aku meminta nomornya?” Via memasang wajah datar layaknya professional. Menunjukkan bahwa itu hanya untuk kebutuhan pekerjaan.
Altha tidak langsung mengiyakan. Dia menimbang lebih dahulu sebelum memutuskan untuk memberi nomor tersebut.
“Nomornya 0…..”
Nomor baru itu terprogram ke ponsel Via, dan keduanya memutuskan berpisah begitu sampai di lobby. Via yang hatinya tidak tenang sejak jam makan siang akhirnya memutuskan ke toilet wanita.
Lama dia mengamati nomor ponsel yang tertera di layar. Bahunya tertunduk lesu ketika menyadari bahwa itu adalah nomor yang berbeda. Dia tidak berani memanggil, remuk redam hatinya mendapati kenyataan Sean sengaja mengabaikan keberadaannya.
Tampa terasa air matanya mengalir tak terbendung, dia terisak di atas dudukan toilet. Memikirkan cinta yang tidak berbalas, ditambah pemilik hatinya sedang berbahagia bersama wanita lain dan tidak sedikit pun memedulikannya. Menanyakan kabar saja tidak, mungkin dia juga tidak ada dalam kepala pria itu.
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet. Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam.“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati.“M
Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu