Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.
Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.
“Dari mana kau tahu bahwa mereka akan melakukan lamaran?” tanya Amber penasaran.
Altha sebagai sumber cerita menjelaskan; “Beberapa waktu lalu Pak CEO memesan cincin berlian dua karat. Kemarin cincin itu tiba, dan dia langsung membawanya di kantong celana. Wajahnya juga sangat sumringah, seperti orang sedang jatuh cinta. Apa namanya kalau bukan kabar gembira untuk sebuah lamaran?”
Semua wanita di meja serentak mendesah penuh kekaguman bercampur iri pada Evelyn Madini. Tidak sedikit yang ingin menggantikan posisi wanita model itu.
Perasaan Via semakin terguncang mendengar cincin berlian pesanan. Tidak mengira Sean akan berbuat sejauh itu tanpa mengakhiri hubungan sebelum berpindah hati. Dia mengira selamanya Sean akan melajang, seperti komitmennya sebelum affair mereka dimulai. Atau hanya dia saja yang polos menerima bahwa Sean Reviano tidak akan menikah pada orang berstatus sosial seperti dia. Benar bahwa hati mudah dibolak-balik. Lagi pula ini perkara romantisme politik kaum sosialita, dimana Sean hanya menikahi yang sekufu dengannya.
“Sudah, jangan disebar sesuatu yang belum benar kejelasannya,” kata Keiza mencoba mengakhiri. Baginya tidak baik membicarakan atasan di lingkungan kerja.
“Ini sudah pasti benar, tidak pernah Pak CEO tersenyum perkara cincin berlian. Berita di media juga mendukung alasan cincin itu,” ucap Altha membenarkan asumsi mereka.
“Tidak ada hubungannya dengan kita bila beliau menikah, biar saja jangan ditambah lagi.” Keiza tidak mau kalah. “Setiap hari Pak CEO jadi bahan pembicaraan, masih banyak topik menarik lainnya.”
Amber menyela dan tidak ingin ketinggalan; “Wajar jika menjadi objek pembicaraan, beliau sudah seperti selebritis dengan sorotan media.”
Via meletakkan tangan di paha Keiza, menahan rekannya untuk tidak membalas sesuatu yang tidak bisa dimenangkan.
“Kei, sepertinya aku lupa meminta data kalibrasi dari Hadley. Mungkin dia sudah kembali dari rapat, temani aku ke ruangannya.”
Keiza menahan lidah, dan mengangguk walau enggan beranjak. Benar juga, percuma mendebat bila lawan bicara sama batunya dengan dia.
Keduanya berpamitan dan meninggalkan kantin dengan perasaan berbeda.
…………………………………………………………………………..
Baru saja Via kembali ke apartemen sesaat setelah dia mendapat pesan dari Sean yang mengatakan dia baru saja berangkat menuju kampung halaman. Beberapa kali Via menghubungi, namun ponselnya tidak aktif. Besoknya di kantor dia tidak melihat Sean di lobby atau pun koridor seperti biasa. Barulah Via yakin mereka sudah tidak lagi berada di kota yang sama.
Tiga hari berlalu begitu saja, namun tidak sekali pun Sean mengabari. Dalam hati Via menyadari apalah dia yang hanya wanita rahasia pria itu. Bukan tugasnya memberi Via kabar setiap waktu, dan bukan hak Via menuntut diperhatikan. Hubungan mereka ada karena saling membutuhkan. Keterikatan fisik adalah sesuatu yang rapuh dan dapat goyah kapan saja.
Ini sudah hari ke tujuh, tetapi Sean tidak juga kembali. Bahkan secuil kabar sepertinya mustahil Via dapatkan. Sampai dia lelah mengutak-atik nomor Sean, menghubungi tanpa lelah siang malam yang hanya dijawab operator dengan suara ceria mengatakan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi.
Baru saja Via duduk di kantin, sengaja mencari kursi kosong di sudut, saat tiba-tiba gerombolan ratu gossip mengerubungi mejanya. Entah apa yang membuat mereka menempel padanya, seakan kemana dia pergi gerombolan wanita itu ikut dengan sendiri.
“Kau dengar kabar pagi ini?” tanya Amber memulai gossip mereka.
“Kabar apa?” disambut oleh Altha, Cece dan lainnya.
“Pak CEO bergandengan dengan Evelyn di acara gala dinner malam tadi,” jawab Amber antusias.
Hati Via terbelah menjadi dua. Dadanya panas mendengar berita barusan.
“Mereka sudah sering bersama, lihat, bahkan dalam seminggu ini keduanya sudah menghadiri acara sebanyak tiga kali, ditambah dinner romantis berdua di salah satu restoran bintang lima. Lihatlah kemesraan yang keduanya tunjukkan saat dinner, ini foto yang diambil papparazi.” Seperti biasa Cece memamerkan layar ponselnya pada grup mereka.
Via menolak untuk melihat, dia tidak yakin hatinya yang patah dapat disatukan kembali, sesaat tadi dia mendengar retakan di hatinya yang tak lama lagi menjadi pecahan puing.
“Ya ampun serasi sekali!” seru mereka serentak.
Tanpa Via sadari tangannya mengepal, meremas rok span hitam yang dia kenakan.
“Apa kau tahu kapan Pak CEO akan kembali?” tanya Amber masih dengan pandangan mengagumi foto-foto Sean.
Altha mengangguk sembari menelan roti bakar. “Beliau bilang dua minggu lagi bila urusannya selesai. Katanya, dia bisa bekerja dari sana mengurus pekerjaan di sini.”
Kepala Via mendongak mendengar penjelasan itu. Hatinya berdebar hendak menanyakan sesuatu; “Kapan dia menghubungi?”
“Setiap hari dia menelepon ke kantor, jadi semua urusan di sini dapat dia selesaikan. Aku juga mengirimkan laporan melalui emailnya, ini sudah menjadi prosedur saat beliau absen.”
Via terhenyak mendengar itu. Selama ini dia mengira Sean benar-benar tidak ada waktu memegang ponsel, ternyata pria itu hanya tidak ada waktu untuk dirinya. Tetapi bagaimana bisa Sean menghubungi kantor bila nomornya tidak pernah aktif, membuat Via mencurigai Sean tidak hanya memiliki satu nomor. Matanya panas dibalut emosi sendu, tetapi menahan diri agar tidak ada yang curiga.
“CEO kita memang pekerja keras,” puji Amber yang kekagumannya semakin meningkat.
“Benar sekali, dia juga menanyakan kabar karyawan satu per satu. Aaaah, benar-benar CEO idaman,” kata Altha menambahkan.
Percakapan itu terus mengalir dimana topiknya tidak jauh-jauh dari sang CEO idaman. Sejak tadi Via hanya diam, menjadi tim pendengar yang hatinya sudah tidak berbentuk lagi seiring banyaknya informasi yang dia terima.
Begitu rombongan itu keluar dari kantin, Via menarik lengan Altha dan mencoba bersikap kasual.
“Aku ingin melaporkan sesuatu pada Pak CEO, apa boleh aku meminta nomornya?” Via memasang wajah datar layaknya professional. Menunjukkan bahwa itu hanya untuk kebutuhan pekerjaan.
Altha tidak langsung mengiyakan. Dia menimbang lebih dahulu sebelum memutuskan untuk memberi nomor tersebut.
“Nomornya 0…..”
Nomor baru itu terprogram ke ponsel Via, dan keduanya memutuskan berpisah begitu sampai di lobby. Via yang hatinya tidak tenang sejak jam makan siang akhirnya memutuskan ke toilet wanita.
Lama dia mengamati nomor ponsel yang tertera di layar. Bahunya tertunduk lesu ketika menyadari bahwa itu adalah nomor yang berbeda. Dia tidak berani memanggil, remuk redam hatinya mendapati kenyataan Sean sengaja mengabaikan keberadaannya.
Tampa terasa air matanya mengalir tak terbendung, dia terisak di atas dudukan toilet. Memikirkan cinta yang tidak berbalas, ditambah pemilik hatinya sedang berbahagia bersama wanita lain dan tidak sedikit pun memedulikannya. Menanyakan kabar saja tidak, mungkin dia juga tidak ada dalam kepala pria itu.
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu.“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan maka
Begitu bangun dari tidur, Via langsung berlari ke toilet dan memuntahkan isi perut di closet. Tubuh Via terduduk di lantai saat tidak ada yang keluar. Lama dia berdiam sebelum akhirnya mencuci mulut dan wajah. Seluruh persendian terasa sakit, membuat Via ingin berbaring barang satu dua menit.Suara alaram membangunkan Via kembali, dia mengernyit heran mendapati waktu berlalu cepat. Rasanya dia hanya berbaring lima menit, tidak mengira sudah berlalu selama dua jam.“Via? Apa kau baik-baik saja?” tanya Willow yang mengetuk pintu dari luar.Via pun bangkit dari kasur dan memeriksa wajah yang masih sembab.“Aku akan keluar sebentar lagi,” jawab Via sembari berjalan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.Di ruang makan semua menu sarapan sudah tersaji di meja. Willow terlihat sibuk membersihkan wajan dan panic di westafel. Ada rasa bersalah melihat Willow bekerja sendiri, membuat Via sedikit tidak enak hati.“M
Apartemen yang baru saja Sean masuki terasa dingin. Tidak lagi tercium aroma mentega dan manis kue panggangan yang dulu pernah menjadi kenangan.Langkah Sean begitu berat saat melintasi ruang tengah. Sengaja dia tidak menghidupkan lampu dan membiarkan suasana menjadi suram.Untuk apa? Bukankah jejak Via sudah hilang sepenuhnya.Kaki Sean melangkah menuju kamar. Dia membaui udara, menghirup keharuman Via yang tersisa, tetapi indra penciumnya tidak menangkap apa-apa, menjadikan Sean kecewa. Matanya nanar menatap ranjang yang kosong.Sean berjalan mengitari ruangan yang pernah Via tempati. Tangan Sean menyentuh setiap benda yang mungkin terdapat sidik jari Via. Tidak luput pula permukaan kasur yang sepreinya baru saja diganti.Hatinya kecewa, karena hanya dingin yang Sean dapat dari setiap jamahan di sana. Sepertinya Daren benar; lupakan Via dan semua kenangan mereka.Tetapi, melupakan sosok Viania bukanlah hal mudah. Ada sesuatu pada gadis itu
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap