Mata Via terbuka saat mendengar jam alaram berbunyi, dia meraba ke sisi sebelah dan merasa kecewa mendapati ranjang yang dingin pertanda Sean sudah pergi sejak tadi. Setelah membisukan alaram, Via pun duduk dengan posisi kepala menyandar sedang mata menatap nanar pada sisi ranjang sebelah kanan yang kosong.
Jemari Via meraba kasur dimana biasanya Sean berbaring. Dia ingin pria itu berada di samping dan memeluk tubuhnya begitu terjaga. Jarang sekali mereka bangun bersama, biasanya Sean yang lebih dulu beranjak, meninggalkan Via sendiri.
“Kapan kau benar-benar melihatku, tidak hanya sebagai wanita simpanan?” bisik Via dengan napas tercekat menahan tangis.
Dia ingin sekali saja Sean mengakui keberadaannya. Mungkin tidak di kota ini, bisa di tempat lain dimana tidak seorang pun mengenal. Mereka bisa saja bersenang-senang di luar, layaknya pasangan biasa. Makan malam romantis di restoran bintang lima, berlarian di pantai, bermain ayunan di taman, menikmati liburan ke safari, berciuman di atas biang lala di taman bermain, atau paling sederhana ke bioskop dan belanja di supermarket saja.
Tetapi angan-angan hanyalah hayalan, Via tahu tidak mungkin terjadi. Sean bahkan tidak mau membawa hubungan ini lebih dari apa yang sudah disepakati, membuat Via murung kembali.
Dengan berat dia membawa tubuh menuju kamar mandi, memulai Sabtu pagi dengan memanjakan diri.
……………………………………………………….
Dering ponsel mengganggu konsentrasi Via yang sedang membaca sebuah novel picisan. Awalnya sebuah senyum menghiasi wajahnya, namun kemudian tertekuk ke bawah ketika melihat bukan nama Sean yang tertera di layar sebagai Caller ID.
“Halo Bibi,” jawab Via terdengar kecewa.
“Kenapa, kau tidak suka aku menghubungi?” tanya sang Bibi dari seberang.
Via berdehem, mengontrol suara. “Maaf, aku pikir temanku,” jawabnya setengah berbohong.
“Kau selalu saja menghindar setiap aku menghubungi, bahkan tidak sekali pun menanyakan kabar. Apa kau lupa memiliki keluarga yang masih hidup?” Bibi Azura selalu mengatakan hal-hal buruk setiap kali menghubungi Via, karena itu pula Via enggan menerima.
“Bukan begitu Bi, aku hanya sedang sibuk. Perusahaanku sedang mengerjakan banyak Event sekarang,” jelas Via tidak berbohong kali ini, walau dia memang tidak mau menghubungi lebih dulu.
“Lalu, aku tidak sibuk maksudnya? Bahkan tokoku juga sedang sibuk menghadapi musim panas tahun ini, sampai aku butuh tambahan tenaga!”
Via mengernyit mendengar suara Bibi Azura meninggi.
“Tidak seharusnya keluarga saling melupakan, anak muda. Tugasmu yang lebih dulu mengabari bukan sebaliknya. Atau kau tidak ingin menemuiku lagi, begitu? Apa karena kau bekerja di kota sekarang kau menjadi sombong?”
Via hendak mengakhiri sambungan begitu saja, tetapi itu hanya akan menyulut amarah sang Bibi. Kepalanya bahkan mulai berdenyut mendengar tuduhan demi tuduhan yang tidak jelas.
“Bibi, aku tidak …”
Belum selesai Via bicara, Bibi Azura pun menyela.
“Dengarkan aku dulu, kau memang tidak sopan dengan orang tua! Dimana rasa hormatmu? Susah payah kubesarkan tetapi tidak sekali pun kau peduli.”
Air mata menggenang di pelupuk mata, hendak jatuh mendengar Bibinya mengatakan hal-hal begitu. Via sadar diri Bibi Azura membesarkan dia di saat Ibunya tidak mampu karena sakit. Sebenarnya Via juga ingin membalas budi, tetapi sifat Bibi Azura yang suka mengucapkan kata-kata menyayat hati, membuat Via urung.
“Bibi, aku minta maaf. Lain kali aku akan menghubungi tanpa kau hubungi lebih dulu. Aku janji,” gumam Via terdengar bersalah.
Merasa puas maksudnya tersampaikan, Bibi Azura pun menggerutu dan merendahkan suara.
“Bagus, jadilah anak baik. Aku ini sudah tua, jika bukan kau yang memperhatikanku siapa lagi. Bahkan kau tidak perlu bekerja di kota. Aku sanggup mempekerjakanmu di toko. Hidup di kota itu susah.”
Via menulikan telinga. Sudah berapa kali Bibi Azura meminta dia untuk bekerja di toko keluarga, kemudian merendahkan pekerjaan Via di kota. Bahkan tanpa menyaring kata-kata, Bibi Azura menuduh Via melakukan hal tidak-tidak karena berhasil masuk ke sebuah perusahaan ternama. Sungguh sakit hatinya, tetapi dia hanya bisa melipat lidah, takut menyakiti Bibi Azura yang sudah tua.
“Baik Bibi, tetapi aku senang bekerja di sini,” kata Via berusaha sopan. Di seberang terdengar lagi gerutuan yang Via abaikan. “Apa bibi sudah makan?”
Pembicaraan setelahnya lebih seperti formalitas. Bagi Via, hidup bersama Bibi Azura sangatlah menyiksa, walau Bibinya bertekad kuat membiayai semua kebutuhan Via sedari remaja, hingga tanpa sadar membuat sang Bibi enggan menikah, yang menjadi beban tersendiri bagi Via. Beberapa kali Via menyalahkan diri, mungkin karena Via-lah Bibi Azura tidak pernah menikah, tetapi untung saja Bibi tidak pernah menyakiti Via dengan menyinggung perkataan mengarah ke sana sekali saja.
Setelah komunikasi berakhir, Via baru menyadari matahari sudah meninggi. Dia pun bergegas bersiap menuju supermarket untuk membeli kebutuhan dapur. Mata Via memandang layar ponsel yang mati, berharap Sean menghubungi, tetapi pria itu seakan lupa keberadaan Via, membuat dia tertunduk lesu saat melintasi pintu.
………………………………
Via memilih beberapa produk daging dan sayur. Dia mengirimkan pesan pada Sean mau dimasakan apa, tetapi tidak satu pun pesan yang dia kirim mendapat balasan, dilihat saja tidak. Semakin menambah kecewa. Setelah selesai memilih daging, Via beralih ke rak buah, tetapi matanya tertuju pada sosok Sean yang berdiri di dekat rak minuman dingin.
Senyum Via mengembang, senang dapat berpapasan di sana, dia hendak merapat, namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok wanita mendekati Sean yang terlihat sibuk memilih sesuatu.
Tidak pernah sebelumnya Via melihat wanita itu, membuat hati Via berdenyut nyeri. Bahkan wanita itu menyentuh bahu Sean dengan gesture familiar seakan mereka begitu dekat. Kini jantung Via ingin melompat, berdebar dengan irama menyakitkan. Apa lagi ketika Sean membalas senyum wanita itu dengan sensual, semakin menghunjam dada Via dengan ribuan belati.
Baru saja Via melangkah mundur untuk menyudahi sakit hati, saat tiba-tiba manajer operasional Luna Star, Daren Osbert, memeluk wanita itu dari belakang. Keduanya tampak tertawa dan mengabaikan Sean yang menggelengkan kepala, dan tanpa sengaja menoleh ke arah Via yang masih mematung tak jauh dari sana. Kilasan mata Sean tampak terkejut begitu mata mereka terkunci, tiba-tiba hati Via kembali berbunga begitu Sean melemparkan senyum tipis ke arahnya, membuat Via lega karena tadi hanyalah prasangka.
Langkah Sean hendak mengarah ke Via, namun terhenti saat menyadari mereka tidak lagi sendiri.
Via pun mengerti dan membalas Sean dengan senyum tipis yang sama sebelum berlalu ke arah sebaliknya, menjauhi mereka. Walau dipenuhi kecewa, Via tahu diri. Sean-lah yang pegang kendali hubungan keduanya. Bila pria itu bilang berakhir, maka chapter cinta mereka ditamatkan dengan paksa. Meski berat hati, Via memutuskan pulang untuk menenangkan diri.
Dalam perjalanan ponsel Via berbunyi, menandakan sebuah notifikasi baru saja masuk.
Masih dengan perasaan malas, Via membuka ponsel itu acuh lalu membaca pesan sekilas, namun hatinya berdebar melihat nama pengirim yang tertera.
Sean: Apa pun yang kau masak pasti akan kuhabiskan. Kuserahkan menu makan malam hari ini padamu, Cheff.
Katanya, membuat Via terkekeh mendapat panggilan Cheff solah menggoda.
Sean: Ngomong-ngomong, kau sangat cantik memakai dress kuning lemon. Apa itu baru? Sebelumnya aku tidak pernah melihatmu memakai dress itu.
Wajah Via bersemu merah, menyadari Sean memang selalu memerhatikan apa yang dia pakai dan hapal motif hampir seluruh baju di lemari.
Sean: Daren sedang merayakan ulang tahun dengan pacarnya, mereka mengajaku makan bersama, untung saja kau menanyakan menu hari ini, tadi nyaris saja aku terima.
Hati Via lega, karena tadi hanya salah sangka, dan senyum Via semakin lebar karena Sean lebih memilih bersama dia.
Sean: Jaga kesehatan, jangan terlalu lelah. Nanti kau sakit lagi.
Pesan-pesan tersebut dikirim berurutan dalam waktu berdekatan, membuat senyum Via mengembang tidak karuan. Bahkan suasana sekitar berubah merah muda mendapat pujian yang jarang diberikan. Entah mengapa, akhir-akhir ini Sean suka melontarkan pujian yang melambungkan Via ke udara. Setelah sampai di apartemen, Via pun membalas pesan-pesan itu satu per satu.
Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnya memilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.“Dari mana
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.
Reviano menatap layar ponsel berisikan teks dari orang tuanya yang menanyakan kapan dia akan pulang. Sejenak dia memandang karyawan yang sedang rapat bersama di ruang meeting. Dia memasukan kembali ponsel itu dan melirik ke arah Via yang sedang menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga.Mata Sean tidak bisa lepas memandangi wajah rupawan Via yang menunduk membaca laporan, tetapi logikanya menang selangkah hingga dia lega dapat memalingkan wajah.Sedikit berdehem, Sean mengumpulkan perhatian; “Sampai dimana kita tadi?”“Laporan rating dan review hotel kita di platform booking room, Pak. Saya rasa ….”Rapat kembali berlanjut, tetapi mata Sean tidak bisa menjeda pandang dari Via yang menjelaskan tentang laporan review Hotel Luna Star yang sedikit menurun dari bulan sebelumnya.Di tengah sesi Sean mendapati Via
Proyek yang diberikan oleh ayahnya, membuat Sean menunda kepulangan ke New York. Awalnya dia kesal karena harus menghabiskan waktu lebih lama di Blueberry dan Michigan. Untung saja Evelyn selalu menemani di saat dia bosan seharian menatap layar komputer.“Kau tidak ingin makan malam bersama?” tanya Evelyn yang berjalan di sebelah.Mereka menikmati udara sore di dekat taman yang tidak jauh dari rumah.“Bukankah setiap malam kita selalu makan malam bersama?” tanya Sean mengingat kembali sesi makan malam setiap hari. Jika bukan di acara gala, m
Melihat bangunan tua bercat cokelat di depannya, Via pun menoleh pada Disya yang jalan lebih dulu menuju halaman rumah pertanian tua di salah satu desa yang cukup jauh dari kota, terkesan terpencil dari keramaian. Sejauh mata memandang, Via hanya melihat satu dua rumah dengan model sama. Tidak hanya itu, sepanjang jalan ke sana Via menemukan beberapa kuda berkeliaran di halaman luas dikelilingi pagar putih dengan pohon apel tumbuh berjajar.“Apa kau yakin ini tempatnya?” tanya Via, menatap bangunan dengan cat dinding sebagian mengelupas.“Nana mewariskan rumah peternakan ini. Kau tahu aku tidak berasal dari keluarga kaya. Ini adalah satu-satunya harta yang kumiliki selain apartemen di New York.” Disya berhenti lalu menoleh pada Via yang masih mematung sejak ked