Via memperhatikan wajah Sean yang terlelap. Rasa cinta yang membuncah pada pria di hadapannya sudah tak lagi terbendung. Ingin dia mengucapkan tiga kata sakral yang pasti akan langsung mengakhiri hubungan mereka bila itu terucap. Berkali-kali dia menahan lidah dan menelan kata cinta hanya untuk mempertahankan hubungan tanpa masa depan mereka.
Gadis dua puluh empat tahun itu mengelus pipi Sean lembut. Hatinya bergetar kala kulit mereka saling bersentuh. Tangan mulusnya terhenti tatkala pria di hadapannya menggeliat karena sentuhan lembut jari-jemari yang dia beri, bahkan terdengar gumaman halus sisa-sisa kepuasan malam tadi.
Tak lepas mata Via memeta wajah Sean yang rupawan. Amat sempurna dengan rahang keras membentuk persegi dengan lesung membelah dagu. Dia dapat mengingat jelas dua lesung pipi yang menambah sempurna ketampanan pria itu.
Masih jelas dalam ingatan Via ketika pertama kali dia memasuki ruang interview, tidak sekali pun Sean mengangkat kepala ketika dua bawahannya menanyakan kualifikasi Via ketika melamar kerja kala itu. Bahkan dia sempat tersipu begitu beradu mata dengan HRD yang mewawancara ketika tertangkap basah mencuri pandang wajah rupawan Sean yang sempurna. Bahkan Via sempat bertanya seperti apa warna mata seorang Sean Reviano saat itu.
Biru, sebiru dalamnya samudra.
Kini mata itu terbuka, menatap sayu ke arahnya.
“Sudah puas memandangku?”
Tubuh Via bergetar mendengar suara maskulinnya. Tidak sekali pun Via bermimpi dapat mendengar suara serak bangun tidur Sean Reviano. Sekarang, dia puas mendengar suara itu setiap pagi.
“Aku tidak akan pernah puas,” jawab Via tanpa malu.
Sean terkekeh pelan dan mendaratkan kecupan di bibirnya.
“Jam berapa ini?” tanya Sean sembari menguap meregangkan tubuh.
Via melirik jam yang terletak di atas nakas tepat di samping Sean.
“Subuh, Jam lima,” jawab Via merasa enggan, karena sebentar lagi matahari akan terbit dan mereka berpisah melewati hari di kantor tanpa menunjukkan kemesraan sedikit saja.
Terkadang Via ingin mengutarakan isi hati, mengatakan dia keberatan dengan aturan hubungan yang Sean tetapkan sejak awal hubungan dimulai. Masih dia ingat saat itu Sean mengatakan; “No Commitment. No Pregnancy. No Wedding. Jika kau masih ingin memiliki affair denganku, hubungi nomor ini.”
Awalnya dia mengira hatinya pasti kuat, ternyata dia salah kira sekilo kapas tidaklah lebih ringan dari sekilo baja. Semakin hari dilewati bersama, beratnya semakin terasa.
“Masih ada dua jam lagi, jauh lebih cukup,” ucap Sean sembari menarik Via dalam pelukan dan memulai kecupan-kecupan panas hingga mereka terbuai hasrat yang tertunda.
………………………………………………………………..
Jam makan siang baru saja dimulai, tetapi percakapan akan tersiarnya berita pertunangan Sean Reviano dengan seorang model cantik menyebar dengan cepat. Ruang kantin karyawan Hotel Luna Star bising dengan bisik-bisik diskusi kabar pertunangan CEO muda mereka.
Awalnya Via menulikan telinga, tetapi percakapan di sekitar tidak lagi terbendung, bahkan sekretaris pribadi Sean yang bernama Altha paling bising di antara kumpulan itu. Malangnya, Via duduk berhadapan sehingga mau tidak mau harus mendengar pembicaraan.
“Pak Sean masih belum mengklarifikasi, tetapi dari apa yang aku baca itu bukan hoax. Mereka sering terlihat bersama di setiap acara,” kata Amber ikut menimpali.
“Iya, benar. Kemarin mereka juga terlihat makan berdua di Moon Café,” bahkan Reina juga tak mau ketinggalan.
“Katanya, mereka sudah dekat sejak kanak-kanak. Jadi, wajar saja bila mereka menikah. Evelyn kan putri konglomerat perusahaan ekspedisi, statusnya setara dengan Pak Sean.”
Tanpa Via sadari sendok yang dia pegang sejak tadi bentuknya sedikit berubah, bengkok karena lama ditekan.
“Ya ampun, lihat-lihat mereka benar-benar serasi….” Satu meja mencondongkan tubuh ke arah Cece yang mengayunkan ponsel ke udara, memamerkan foto kemesraan Sean dengan seorang wanita. Keduanya terlihat saling merangkul, berpose pada kamera dibalut baju mewah elegan usai menghadiri acara gala.
Sekilas Via melihat wanita yang berpasangan dengan Sean. Sungguh dia merasa insecure dengan tubuhnya yang tidak seramping dan setinggi itu. Bahkan make up yang dipoles ke wajah benar-benar sempurna, bersih terawat disentuh dokter spesialis kulit ratusan juta.
“Andaikan saja wajahku secantik dia dan berasal dari keluarga kaya, pastilah setengah masalahku selesai. Betapa iri memiliki paras sempurna,” desah Amber dengan mata berandai-andai.
Altha hanya tertawa mendengar pujian dari rekan kerjanya yang tak putus-putus pada wanita bernama Evelyn. Hanya senyum lemah tidak tulus terukir di wajah Via yang mulai lesu. Kini nafsu makannya hilang sudah, sangat susah dia menelan sisanya.
“Kau sedang sakit?” tanya Keiza yang duduk di sebelah. Sejak tadi dia tidak ikut hanyut dalam lautan kekaguman yang rekan kerjanya alami. Seakan imun sama seperti dirinya.
“Tiba-tiba perutku mulas,” jawab Via berpura-pura.
“Ya ampun kenapa diteruskan, pakai ini,” kata Kezia menatapnya simpati sembari menyodorkan minyak kayu putih.
“Terima kasih, nanti juga membaik,” ucap Via menerima.
“Apa kau percaya dengan berita yang beredar?” tanya Kezia tiba-tiba.
Via menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, semua bisa saja benar. Fakta bahwa mereka sangat dekat sudah cukup menjadi bukti.”
Kezia mendengus tidak setuju. Dia berkata; “Sebelum ada klarifikasi, berita yang beredar masih abu-abu.”
Malas memberi balasan, Via tertunduk ke meja. Dia ingin jam istirahat berlalu saja. Bahkan telinganya seolah memiliki kehendak sendiri, mendengarkan satu per satu percakapan di sekitar. Tanpa malu mencuri dengar, walau arahnya dua meja dari grupnya berkumpul.
Hatinya membisik, ada baiknya langsung bertanya daripada menduga. Tetapi kepalanya menolak hingga mata dan telinga seakan tuli serta buta logika.
……………………………………………………..
Rapat baru saja dimulai, tetapi Via ingin semua cepat berakhir. Mungkin tidur sebentar bisa membuatnya berfungsi kembali. Pikirannya melayang entah kemana, namun dia tersentak saat suara maskulin yang familiar memangil, membuat beberapa kepala memandang Via penuh tanya.
“Via, dari tadi aku memanggilmu. Apa kau sakit?” walau intonasinya terdengar biasa, Via masih dapat mendengar sekilas nada khawatir dari suara itu.
Berdehem sebelum bersuara, Via sedikit malu menjadi pusat perhatian.
“Sejak tadi siang saya merasa kurang enak badan,” jawabnya dan melanjutkan, “Maaf, sudah mengganggu konsentrasi Anda.”
“Tidak-tidak, jika memang sudah tidak kuat mengikuti rapat kamu bisa beristirahat.”
Sean dikenal sebagai pimpinan yang perhatian, walau terkadang dia sangat tegas dan disiplin, kesehatan karyawan selalu menjadi prioritas.
“Seperti sebelum-sebelumnya, mintalah izin jika merasa kurang sehat sebelum rapat dimulai,” ucap Sean sembari membuka dokumen yang dia jelaskan tadi. “Kembali ke rapat, aku ingin kita meningkatkan pelayanan Luna Star dan ….”
Rapat berlangsung lancar seperti biasa, namun Via yang tidak fokus mengalihkan perhatian pada sosok Sean yang duduk di bangku kebesaran. Dia terhanyut dalam buain suara Sean yang selalu dia dengar setiap malam ketika membisikkan kata manis dan lembut diranjang mereka yang panas. Bibir melengkung bagai bulan sabit itu tak luput dari perhatian.
Dalam benak, Via bertanya; berapa lama lagi dia bisa menikmati semua itu. Sampai kapan tangan kekar itu melingkari tubuhnya, dan melindunginya dari mimpi malam yang menghampiri. Bisakah dia menikmati sandaran lembut pada dada bidangnya yang selalu dibalut stelan jas hitam formal saat bekerja, atau mungkin ini adalah hari-hari terakhirnya menikmati semua. Sungguh, dia dilema. Bisa-bisa tidak ada pria yang dapat mengimbangi sosok Sean Reviano dalam hidup Viania.
Hari itu Via pulang lebih cepat dari biasa, karena Sean yang meminta. Khawatir melihat wajahnya yang pucat usai rapat berakhir. Via juga merasa tidak sehat sehingga dia menerima. Sesampainya di apartemen, Via berniat untuk masak, tetapi takut Sean memarahi karena bukannya berbaring malah sibuk membuat makan malam sendiri. Bunyi dering ponsel pertanda pesan baru yang masuk membuat Via mengurungkan diri. Dia tahu pasti Sean yang mengirim. Pria itu bagai cenayang, tahu bagaimana kepala Via bekerja. Jangan memasak apa-apa. Istirahat saja, akan kubawa makan malam dari luar. -SR- Sudut bibir Via mengu
“Bukankah itu Pak CEO,” ucap Cece dengan suara keras menyaingi music DJ.Beberapa kepala menoleh ke arah Sean yang duduk di bar bersama beberapa pria-pria asing.Altha membenarkan ketika dia melihat wajah-wajah familiar yang bersama CEO mereka.“Beliau ada rapat di salah satu tempat privat tak jauh dari sini, sepertinya mereka pindah ke bar untuk merayakan sesuatu,” jelas Altha menjawab beberapa wajah bertanya para rekan kerja.
Mata Via terbuka saat mendengar jam alaram berbunyi, dia meraba ke sisi sebelah dan merasa kecewa mendapati ranjang yang dingin pertanda Sean sudah pergi sejak tadi. Setelah membisukan alaram, Via pun duduk dengan posisi kepala menyandar sedang mata menatap nanar pada sisi ranjang sebelah kanan yang kosong.Jemari Via meraba kasur dimana biasanya Sean berbaring. Dia ingin pria itu berada di samping dan memeluk tubuhnya begitu terjaga. Jarang sekali mereka bangun bersama, biasanya Sean yang lebih dulu beranjak, meninggalkan Via sendiri.“Kapan kau benar-benar melihatku, tidak hanya sebagai wanita simpanan?” bisik Via dengan napas tercekat menahan tangis.Dia ingin sekali saja Sean mengakui keberadaannya
Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnya memilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Sore itu Via menanyakan apa yang ingin Sean makan, pria itu hanya mengatakan ingin makan ayam, sehingga Via memutuskan memasak sup. Hari ini Sean juga belum mengizinkan Via untuk kembali bekerja, sehingga dia mengisi kebosanan dengan melakukan apa saja. Tetapi saat tadi Via menonton drama di Televisi, lagi-lagi berita tentang Sean dan Evelyn memenuhi layar kaca, sehingga Via mematikan layar plasma tersebut dengan hati menahan tangis. Via menjadi trauma setiap kali melihat Televisi, karenanya dia memutuskan untuk tidak menyalakan benda dua puluh Sembilan inch tersebut hingga malam tiba.Setelah sup ayam buatannya matang, Via mendengar suara pintu yang dibuka. Tak lama setelahnya sosok Sean muncul dari arah ruang tengah. Pria itu tersenyum menatapnya yang masih kucel dibalut apron merah muda yang warnanya telah pudar.
Hari ini Sean tidak pulang ke apartemen. Pria itu beralasan karena dia hendak beberes koper di penthouse pribadinya yang tidak pernah sekali pun Via menginjakkan kaki. Sejak awal affair dimulai, Sean memberinya apartemen pribadi. Awalnya, pria itu mengunjungi hanya ketika butuh, lalu pergi lagi tanpa tidur bersama, kembali ke kediaman pribadi tanpa menunggu pagi. Namun seiring waktu pria itu menetap di sana bersamanya. Semula hanya menginap sehari dua hari, tanpa dirasa menjadi berbulan-bulan lamanya.Besok pria itu akan pergi kembali ke kampung halaman, mengunjungi kedua orang tua. Tetapi tidak hanya kunjungan biasa, saat makan siang di kantin Via juga mendengar bahwa wanita model bernama Evelyn Madini tinggal di kompleks yang sama dengan Sean. Desas-desus yang beredar membisikkan, bahwa kemungkinan sang CEO hendak mengadakan acara lamaran karena rumah kedua orang tua mereka bersebelahan.“Dari mana
Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.Tanpa bisa melepaskan mata dari
Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.